Busana Hindu

16 Jan 2023
Busana Hindu

Ingat betul waktu itu hari Kamis di minggu ketiga mengawali dinas di tempat baru, Balai Diklat Keagamaan Provinsi Bali, saya memakai busana khas Bali lengkap dengan udeng dan kemben atau sarung sewek (jarik). Sebenarnya dua barang inilah (udeng dan kemben) yang benar-benar baru karena baju yang saya padukan untuk bagian atas adalah busana seragam lama yang ketika saya menjadi guru di SMP Negeri 2 Kebomas Gresik dan kebetulan warnanya selaras dengan warna udeng dan kemben yang saya peroleh di Bali yaitu agak kecoklatan.

Banyak candaan ketika saya mengenakan busana khas Bali pada pagi itu. Ada yang berseloroh, "wah bapak persis Cokorda.” Namun, beberapa kawan yang lain justru mengatakan, "sejak Balai Diklat Keagamaan Denpasar ini berdiri, baru bapak sebagai pimpinan yang memakai busana adat khas Bali.” Dari raut wajah teman-teman Bali saya melihat sangat gembira dan ceria serta banyak yang mengajak berfoto karena kebetulan setiap hari Kamis kami harus menggunakan seragam busana adat. Foto bersama kami makin serasi karena saya didampingi para pegawai perempuan yang mengenakan kebaya dan kemben lengkap dengan senteng yang diikatkan pada bagian pinggang.

Namun, ada juga yang melihat saya dengan tatapan heran dan mungkin aneh, kenapa saya harus menggunakan busana seperti itu yang tidak pernah dipakai pimpinan sebelum saya. Untuk memecahkan keheranan itu maka saya sampaikan bahwa busana ini budaya bukan agama, karena penganut agama Hindu di India busananya tidak seperti umat Hindu di Bali dan kenapa kalau kita memakai busana jas dengan celana lengkap dengan dasinya orang tidak mengatakan itu busana Kristen, karena umumnya busana terhormat dan pantas yang digunakan jemaat atau para pendeta saat ke gereja adalah jas.

Ketika diskusi dengan teman-teman di Balai Diklat Keagamaan Denpasar yang beragama Hindu dalam kasta yang berbeda-beda tentang fenomena perkembangan busana masyarakat Hindu di Bali ketika beribadah, dari perbincangan dengan teman-taman itu ternyata jawabnya sama, yaitu semakin hari penggunaan busana masyarakat Hindu Bali ketika beribadah semakin hari semakin baik dan semakin menunjukkan ciri khas Bali, karena pada jaman dulu, masyarakat yang beribadah (pergi ke pura), baik pria atau wanita, tidak harus ada busana khusus seperti sekarang ini.

Dijelaskan pula di jaman lampau, udeng khas Bali tidak menjadi sesuatu yang penting ketika pria Bali beribadah. Demikian juga sarung (kemben) rangkap dua bagi busana pria dengan penggunaan yang bagian dalam lebih rendah dibandingkan sarung yang kedua atau sarung lilitan paling luar, termasuk adanya ikat pinggang dari kain seperti selendang tidak biasa digunakan ketika ke pura. Demikian pula untuk busana wanita yang sekarang ini begitu indah dan seragam model potongan kebaya dilengkapi dengan jarik (kemben) serta senteng yaitu selendang yang diikatkan melingkar di pinggang. Ringkasnya, pada jaman dahulu masyarakat Bali pergi ke pura (beribadah) tidak ada busana khusus seperti sekarang ini.

Masih sering ditemui pendapat yang menganggap urusan busana otomatis urusan agama dalam artian yang sangat rigid sebagaimana dalam perbincangan busana adat Bali. Padahal kalau dibahas lebih detail busana adat Bali bagian atas (baju) yang dikenakan pria potongannya baju safari sebagaimana seragam yang biasa dipakai guru, perangkat desa atau pegawai pangreh praja (lebih mirip baju dinas) tapi biasanya berlengan pendek. Sedangkan untuk busana atas wanita potongannya kebaya yang telah umum dipakai sebagai busana nasional wanita Indonesia bahkan baju ini juga kerap digunakan para santri wanita (Bu Nyai/tokoh agama Islam perempuan) jaman dulu. Cuma bedanya bagian kepala dilengkapi dengan kerudung.

Jika busana itu otomatis menunjukkan agama, lalu kenapa kita tidak mengatakan baju koko atau dalam masyarakat Jawa dikenal dengan baju takwa (takwo) dengan baju Khonghucu, sebutannya saja baju koko sedangkan koko artinya kakak laki-laki dalam masyarakat Tionghoa dan yang paling khas dari potongan baju ini adalah bentuk kra lehernya, maka ada yang menyebut dengan baju bentuk leher cina atau kra shanghai, dan meskipun ada ungkapan Shanghai atau Cina tapi telah beratus-ratus tahun masyarakat di Nusantara ini menggunakannya tanpa menghubungkan dengan agama.

Begitu juga dengan busana yang dikenakan para biksu, andaikan busana biksu tidak dilengkapi busana berjahit pada bagian dalamnya tentunya kita akan ingat dengan baju (kain) ihram yang dikenakan di tanah suci yang sama-sama dengan dililitkan ketika mengenakannya dan yang pasti benar-benar berbeda adalah warnanya saja. Kalau kita mau bahas lebih detail lagi busana yang dikenakan para biksu Budha memiliki banyak kesamaan dengan baju sari yang digunakan kaum wanita India. Namun, bedanya baju sari memiliki aneka warna dan bunga-bunga; sedangkan baju biksu hanya satu warna dan tanpa bunga-bunga.

Kenapa busana biksu potongannya seperti baju sari, tentu saja jawabnya karena agama Budha lahir di India dan seperti itulah busana masyarakat India ketika agama Budha lahir dan berkembang, sehingga susah untuk benar-benar memisahkan hubungan antara agama dan budaya. Maka, bisa dikatakan busana yang tidak jarang digunakan sebagai penunjuk atribut kesalehan dari agama-agama itu adalah busana yang biasanya digunakan oleh masyarakat dimana agama itu lahir atau berkembang.

Namun, bila ada segmentasi kelompok tertentu yang mengklaim bahwa jubah merupakan baju yang tidak saja menjadi identitas kelompoknya tapi lebih dari itu menunjukkan kesalehan kelompoknya saja, pendapat ini juga kurang arif karena kelompok yang lain juga memberikan nilai yang sama pada jubah. Contohnya, bagi masyarakat Islam, Katolik, Kristen maupun Khonghucu juga menjadikan jubah ini sebagai busana yang memiliki sakralitas dalam keyakinan agama mereka masing-masing.

Maka, dalam konteks busana adat Bali ini, kendatipun agama Hindu yang ada di Bali berasal dari India dengan aneka tradisi dan budaya India tentunya, namun ada hal yang cukup menarik di masyarakat Bali yaitu menjadi Hindu tidak otomatis menjadi India. Justru yang terjadi, menjadi Hindu maka semakin cinta Nusantara dan bangga dengan aneka pernak-pernik budaya dan tradisinya. Demikian juga terjadi di Jawa, semakin Islam maka semakin cinta dengan Nusantara. Dengan ber-Islam, maka tidak harus membuang balangkon Jawa dan ikat kepala Sunda. Yang dapat disaksikan justru ber-Islam semakin indah.     

Penulis: Muchammad Toha
Editor: Sri Hendriani/Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI