Gagasan Teknokratik Pembangunan Keagamaan

2 Des 2019
Gagasan Teknokratik Pembangunan Keagamaan

Muhamad Murtadlo,

Peneliti Badan Litbang Kementerian Agama

Walaupun sempat terhenti beberapa saat, karena Presiden Joko Widodo sempat membuat statemen bahwa “tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi Presiden dan Wakil Presiden,” penyusunan Renstra Kementerian Agama 2010-2024 akhirnya dilanjutkan kembali. Tim penyusunan Renstra Kementerian Agama sempat mencari tahu apa pesan yang dimaksud Pak Presiden. Setelah dicermati, ternyata visi  yang telah dipersiapkan selama ini sudah linier bahkan sangat sudah sejalan dengan gagasan Presiden memerangi intoleransi beragama dan membuat nilai tambah pembangunan agama. Yang jelas draft usulan visi  kementerian Agama merupakan turunan tugas dan fungsi kementerian Agama, yaitu membantu Presiden dalam pembangunan di bidang agama. 

Sebelum Kabinet Presiden Joko Widodo jilid kedua dilantik, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengeluarkan peraturan No. 5 tahun 2019 yang menghendaki penyusunan rancangan pembangunan semua kementerian dan lembaga negara ke depan menggunakan pendekatan teknokratik. Tuntutan ini harus diterjemahkan dalam dokumen renstra 2020-2024 masing-masing kementerian yang akan menjadi acuan kerja menteri kabinet kerja jilid dua. Permasalahannya bagaimana rancangan teknokratik itu diterjemahkan dalam pembangunan bidang keagamaan yang menjadi tanggung jawab menteri agama nanti.

Biro Perencanaan Kementerian Agama hari-hari ini disibukkan dengan usaha merumuskan rancangan teknokratik pembangunan keagamaan lima tahun ke depan. Kebetulan penulis menjadi salah satu anggota tim penyusunan renstra tersebut. Diakui bahwa menerjemahkan rancangan teknokratik di bidang pembangunan keagamaan menjadi tantangan baru bagi kementerian ini. Selama ini, Kementerian Agama lebih dipahami sebagai lembaga negara yang fokus memberikan layanan keagamaan (religion service) dan menjaga kerukunan umat beragama. Dengan tuntutan rancangan teknokratik, maka kementerian ini perlu merumuskan konsep-konsep kunci  tertentu dan merumuskan pengukuran keberhasilannya. 

Tuntutan rancangan teknokratik pembangunan di bidang keagamaan, menurut penulis menarik untuk dikaji. Banyak praktisi keagamaan terhenyak dengan kata teknokratik ini dikaitkan dengan bidang keagamaan. Apakah masalah keagamaan bisa didekati dengan kacamata teknokratik. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pendekatan teknokrasi di satu sisi memang ideal dan rasional, namun di sisi lain ditengarahi banyak mengabaikan aspek non tehnis lain. Ibarat menggunakan kacamata kuda, rencana diimplementasikan dengan visi yang lurus kedepan namun kurang memperhatikan dunia sekeliling.

Tulisan ini mencoba memaknai secara positif dari pendekatan teknokratik ini. Pilihan ini didasarkan pertimbangan bahwa pemerintah wajib melakukan pembangunan yang terukur keberhasilannya. Tuntutan keterukuran  pembangunan juga berlaku di bidang keagamaan. Sekalipun bidang keagamaan diakui lebih banyak hal yang bersifat non tehnis karena bidang itu menyangkut masalah privat, pilihan dan kenyamanan pemeluknya. Namun, karena pembangunan nasional harus mampu memadukan semua aspek kehidupan bangsa, maka tuntutan rancangan teknokratik ini perlu juga diimplementasikan dalam pembangunan di bidang keagamaan. 

Kata ‘teknokratik’ merupakan kata sifat dari ‘teknokrasi’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata teknokratik tidak ditemukan, yang ada makna kata teknokrasi. Kamus  tersebut memaknai teknokrasi dengan pemerintahan yang dijalankan oleh teknokrat atau  pengelolaan kehidupan masyarakat yang dilakukan oleh para teknisi. rancangan teknokratif berarti rancangan pembangunan pemerintahan teknokrasi. Perencanaan teknokratik mendorong gagasan-gagasan logis melalui nalar yang menuntut hasil yang dapat dipastikan, cenderung mekanistis melalui prediksi, mendorong rencana jangka panjang yang deterministik (Djunaedi, 2012).

Permen PPN No 5 (2019) pasal 1 mendefinisikan rancangan teknokratik adalah perencanaan yang dilakukan dengan menggunakan metode dan kerangka berfikir ilmiah untuk menganalisis kondisi obyektif dengan mempertimbangkan beberapa skenario pembangunan selama periode rencana berikutnya. Ini berarti rancangan pembangunan yang disusun oleh kementerian atau lembaga neagara harus menggunakan konsep-konsep yang jelas dan terukur.

Merespon tuntutan rancangan teknokratik itu, penulis merasa perlu menyebutkan ada tiga masalah utama kehidupan di bidang keagamaan di Indonesia. Ketiga masalah ini nampaknya yang ingin dijawab tim penyusunan renstra Kementerian Agama, walau tidak secara eksplisit menyebutkan ketiga masalah ini atau bahkan menyebut lebih dari sekedar tiga persoalan berikut. Pertama, terkait budi pekerti (baca: akhlak). Ini masalah laten yang menjadi tugas Menteri Agama untuk memjawabnya. Saat ini masih banyak praktik kehidupan pemeluk agama yang masih jauh dari akhlak ideal orang beragama dan itu merugikan kehidupan berbangsa, seperti praktik korupsi ketika memegang jabatan atau posisi tertentu, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, mengorbankan orang lain untuk kepentingan pribadi dan semua prilaku yang tidak dibenarkan oleh agama. Prilaku demikian disebabkan karena kurangnya pemahaman, ketaatan individu terhadap agamanya.

Kedua, ancaman intoleransi, radikalisme bahkan terorisme dalam kehidupan keagamaan dan implikasinya pada kehidupan berbangsa. Masalah kedua ini, yang nampaknya hari ini hendaknya menjadi prioritas utama yang dipesankan Presiden Joko Widodo terhadap Menteri Agama yang Baru. Ancaman intoleransi ini, menurut hemat penulis tercipta akibat semakin canggihnya media dalam menfasiltasi berkembangnya paham-paham transnasional yang bersifat merugikan bagi bangsa. Keadaan ini diperparah dengan keadilan sosial yang belum sepenuhnya tercapai, kesenjangan ekonomi masyarakat yang semakin menganga dan penegakan hukum yang belum memenuhi rasa keadilan. Hal demikian menyebabkan beberapa orang yang mengaku taat beragama merasa tidak salah melakukan sesuatu tindakan anarkistik atas nama agama dengan sikap intoleran, radikal bahkan teror. 

Ketiga, lemahnya daya saing umat beragama. Kesemarakan di bidang agama seperti daftar antri haji yang panjang, ramainya tempat ibadah, pertumbuhan tinggi lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan tinggi keagamaan (seperti UIN, STAKN, STAHN, STABN) ternyata belum berkorelasi kuat dengan pembentukan karakter anak bangsa. Umat masing-masing agama masih miskin kompetensi apalagi daya saing. Akibatnya umat secara kolektif masih banyak yang tertinggal, menganggur dan miskin. Pekerjaan besar  ini yang nampaknya menjadi agenda lembaga Diklat Kementerian Agama untuk menjawabnya.

 Menghadapi ketiga masalah itu, Kementerian Agama merumuskan visi teknokratik dalam renstra 2020-2014, yaitu mewujudkan  “Masyarakat Indonesia yang saleh, moderat, cerdas dan unggul.” Visi saleh terkait dengan  pembangunan budi pekerti, visi moderat terkait dengan pembangunan agama   mengantisipasi ancaman intoleransi dan terorisme, visi cerdas dan unggul terkait dengan pembangunan daya saing. Selanjutnya visi-visi itu dirumuskan beberapa konsep pengukuran keberhasilannya.

Masyarakat Indonesia yang saleh diwujudkan dengan pembangunan kesalehan. Ada tiga konsep kunci pengukuran dalam pembangunan hal ini, yaitu: pertama, meningkatnya usaha pemahaman dan ketaatan beragama, ini terkait penyediaan  kitab suci, buku agama, penyuluh agama hingga terpenuhinya kebutuhan rumah ibadah secara proporsional sesuai jumlah umat beragama;   kedua, meningkatnya kualitas layanan keagamaan terkait  layanan administrasi keagamaan, layanan Kantor Urusan Agama (KUA), layanan penyelenggaraan perjalanan ibadah seperti haji dan umroh, layanan jaminan produk halal;  ketiga, meningkatnya potensi filantropi atau ekonomi keagamaan, ini terkait dengan naiknya kepedulian umat terhadap sesama melalui donasi, zakat, wakaf, infak.

Masyarakat Indonesia yang moderat diwujudkan dengan pembangunan moderasi beragama. Keberhasilan pembangunan di bidang ini dirumuskan tiga konsep pengukuran, yaitu:  pertama, meningkatnya literasi kebangsaan. Nazarudin Umar pernah menyatakan bahwa munculnya prilaku intoleransi dan terorisme karena tidak berimbangnya bahan bacaan keagamaan yang dibaca umat antara narasi agama dan narasi kearifan lokal, termasuk berbangsa;  kedua, Menurunnya prilaku kekerasan atas nama agama; ketiga,  meningkatnya kearifan lokal terkait budaya, tradisi serta seni.

Masyarakat Indonesia yang cerdas dan unggul diwujudkan dengan pembangunan pendidikan agama dan keagamaan. Pengukuran keberhasilan di bidang ini menggunakan parameter:  pertama, meningkatnya kualitas mutu pendidikan agama dan keagamaan. Kkeberhasilan mutu di jenjang pendidikan dasar dan menengah tidak cukup diukur dengan capaian hasil ujian negara, tetapi juga masuk dalam capaian indeks tertentu seperti indeks Pisa, sedangkan di pendidikan tinggi diukur dengan tingkat publikasi jurnal ilmiah, citasi dan lahirnya pengakuan paten;  kedua, meningkatnya pemerataan dan akses  pendidikan agama dan keagamaan; Ketiga, meningkatnya karakter peserta didik. []

Murtadlo/diad

Sumber foto: google.com

 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI