IBADAH HAJI MENURUT ORANG JAWA; Studi Kasus di Kecamatan Banjarsari Kotamadya Surakarta

26 Feb 2007
IBADAH HAJI MENURUT ORANG JAWA;  Studi Kasus di Kecamatan Banjarsari Kotamadya Surakarta

IBADAH HAJI MENURUT ORANG JAWA;

Studi Kasus di Kecamatan Banjarsari Kotamadya Surakarta

Drs. H. Abd. Aziz Al-Bone
54 halaman

Departemen Agama RI
Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Jakarta
Tahun 1993/1994


Melaksanakan ibadah haji adalah suatu tindakan (act) keagamaan yang melibatkan komitmen dan pengalaman pelakunya. Sebagai bagian dari sistem kepercayaan yang lebih luas, yaitu ajaran Islam, ibadah haji memang memiliki dimensinya yang murni dan abadi, yaitu ajaran wahyu yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah. Namun ketika ajaran yang murni dan abadi ini terlibat dengan proses sejarah manusia dalam bentuk komitmen dan pengalaman-pengalaman pelakunya, maka sistem kepercayaan itu tidak lagi statis, dan bahkan mengalami pemekaran sehingga tidak lagi bulat utuh. Berbagai aspek sosial budaya telah menyertai realitas historis pelaksanaan ibadah haji.

Dari informan jamaah haji terungkap bahwa pada umumnya dorongan naik haji mereka peroleh dari orang tua sejak kecil di mana orang tua suka mendorong agar anak-anaknya dapat menunaikan ibadah haji, minimal sekali seumur hidup. Mereka juga cukup mengerti bahwa ibadah haji itu wajib bagi yang mampu, karena itu kewajiban memberi nafkah keluarga dan pendidikan anak lebih utama. Demikian juga kewajiban sosial terhadap sarana pendidikan, sarana ibadah dan sosial lainnya. Dan bila memang mampu baru wajib mendahulukan kewajiban haji.

Pelatihan haji yang diselenggarakan bagi calon jamaah diikuti oleh calon jamaah melalui dua tahap, yaitu tahap dasar yang dilaksanakan oleh persaudaraan haji dan tingkat penataran dilaksanakan oleh Kandepag Surakarta. Selain dari itu jamaah sudah mempersiapkan diri dengan membaca buku-buku manasik haji dan berusaha menghafal doa-doanya. Di samping itu persiapan fisik dan mental sudah mulai diadakan. Tidak saja berkaitan penghayatan dan pengalaman manasik, bahkan sudah siap bertekad untuk merubah mental dan sikap ke arah yang lebih baik.

Adapun beberapa saran yang perlu diperhatikan adalah:
1.    TPHD terlihat oleh orang awam yang kurang memahami agama terutama manasik haji sehingga sulit diharapkan dapat berfungsi sebagai pembimbing haji. Apalagi kemampuan bahasa Arab atau Inggris tidak ada, sehingga dirasakan hanya sebagai jamaah haji biasa saja. 
2.    TPIH juga sudah dianggap mampu, tapi tidak difungsikan oleh jamaah karena kuran kreatif dan inisiatif. Oleh arena itu TPIH tidak bersikap menunggu tapi dekat dengan jamaah dan siap melayani jamaah.
3.    Bahsis perlu koordinasi yang jelas sehingga tidak mencekik jamaah haji sewaktu berada di Saudi Arabia atau sewaktu akan pulang. Bahsis jelas tidak bisa dihindarkan, untuk itu perlu penanganan yang terkoordinir, tidak seenaknya ketua rombongan atau ketua regu.***

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI