Jihad yang Disalahpahami

24 Des 2014
Jihad yang Disalahpahami

leh Abd. Rahman Mas’ud

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Empat Menteri Agama yang tergabung dalam MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) menyatakan menolak penggunaan terminologi “jihad” untuk kepentingan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Pernyataan ini dihasilkan saat Pertemuan MABIMS yang diselenggarakan di Bali, 3 Desember 2014.

Mengakhiri pertemuan MABIMS ke-16, forum MABIMS menyampaikan beberapa butir pernyataan sikap. Selain menolak penggunaan terminologi “jihad” untuk kepentingan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme, forum ini juga menolak segala bentuk ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Hal lainnya mengutuk segala bentuk kejahatan kemanusiaan atas nama Islam yang berakibat pada hilangnya nyawa, cacat fisik, trauma psikis, dan pemiskinan secara ekonomi. Menolak penggunaan cara-cara kelompok ekstrimis, radikalis, dan teroris untuk menanggulangi kasus ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Kemudian MABIMS juga mengimbau kepada setiap orang, terutama kalangan generasi muda, untuk tidak bergabung dengan gerakan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Memang kenyataannya, tidak sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa “jihad” identik dengan perang. Karena faham ini sering terlontarkan dari mimbar ke mimbar, ilmuwan dan media Barat sering mengidentikkan “jihad” dengan kekerasan, violence. Fenomena inilah yang mendorong pemerintah AS pernah memasang spionasi kamera di beberapa masjid dan Islamic Center di AS. Apalagi “Jihad” ini dihubungkan dengan upaya garis keras umat Islam Timur Tengahmelawan hegemoni Barat dan kebrutalan penguasa Israel. Fenomena ini menjadikan imej Islam di mata dunia Barat menjadi sah untuk dipandang sebagai “agama jihad” atau “agama kekerasan.”

Belum lagi peristiwa-peristiwa kerusuhan dan kekerasan di Indonesia. Ini semua jelas telah membawa daftar panjang yang semakin memperkuat kesan dan stereotype dunia Barat atas dunia Islam. Meskipun sudah dibubarkan, paling tidak di Indonesia pernah eksis Laskar Jihad, sebuah gerakan yang ditakuti khususnya oleh turis Mancanegara karena gerakansweeping mereka.

Sebetulnya kasus-kasus kekerasan di Indonesia dan Timur Tengah, jika diteliti lebih cermat belum sebanding dengan warna Islam itu sendiri yang penuh dengan kedamaian. Artinya, wajah Islam dan dunia Islam secara umum tetap lebih dominan menampakkan pemandangan peace dari pada violence. Bahkan bisa diteorikan, jika sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim maka non-Muslim di negara tersebut pasti aman, terlindungi dan dijamin kedamaian kehidupan sosio-relijius mereka. Hal ini bisa dipahami karena Nabi Muhammad saw, sebagai role model memilih jalanpeace (damai) dari kekerasan. Dengan kata lain, ajaran dasar Islam menawarkan kedamaian dari peperangan. Tidak diragukan lagi pemimpin Muslim telah membentuk jalan pikiran dan perilaku pengikutnya dimana saja dan sampai kapanpun. Di kalangan kaum Muslim, Muhammad dikenal luas sebagai seorang pendidik. Untuk dapat dipahami secara lebih baik pada poin ini, Dr. James E. Royster dari Cleveland State University, yang telah melakukan riset intensif tentang peran Muhammad sebagai seorang guru, teladan, dan manusia ideal, membahas kesan-kesan kaum Muslim terhadap Nabi mereka. Pada pengantar hasil penelitiannya, ia menyatakan bahwa mungkin tidak ada seorangpun dalam sejarah manusia yang lebih banyak diikuti dari pada Nabi-nya umat Islam (Muhammad). Kenyataan yang seringkali dilupakan oleh orang-orang non-Muslim ini, harus dipahami dalam rangka menilai secara tepat pengaruh Muhammad diantara mereka yang mengakuinya sebagai seorang Nabi. Bagi Royster, Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya. Kesimpulannya yang tidak kalah penting perlu dicermati:

Muhammad as teacher, exemplar and ideal man fulfills in Islam a role that can hardly be overestimated. From him hundreds of millions of Muslim derive both meaning for personal existence and means for character development and spiritual achievement. In terms of continuing influence Muhammad, the prophet of Islam, must be placed high on the list of those who have shaped the world. Surely it would be markedly different had he not been.[1]

Kutipan Royster di sini menunjukkan bahwa Muhammad sebagai seorang guru tidak hanya bagi generasi masanya saja, namun juga bagi seluruh kaum Muslim pada masa sekarang. Dengan kata lain, sang Guru itu adalah Muhammad, dan murid-muridnya adalah seluruh kaum Muslim di dunia Islam. Ketika itu Muhammad merupakan seorang guru yang aktual bagi para Sahabatnya, bagi kaum Muslim berikutnya beliau menjadi seorang imaginary educator. Betapapun, kaum Muslim seluruh dunia mempelajari ajaran satu yang sama dari Qur’an dan sunna. Dua hal tersebut telah terbukti pula menjadi pegangan dalam kehidupan kaum Muslim: “aku telah meninggalkan kepada kamu sekalian (Muslim) dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu sekalian berpegang kepada keduanya: Qur’an dan hadith”.[2] Bahwa beliau adalah seorang guru juga telah dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya, “(Doa Ibrahim dan Isma’il:) Ya Tuhan kami! Utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka.”[3]

Jika Muhammad adalah sosok peaceful, al-Qur’an juga lebih mengedepankan kedamaian. Kata “Salam” yang berarti peace bisa dijumpai 157 kali dalam al-Qu’ran. Islam sebagai universal religion of peace menekankan kedamaian dengan diri sendiri, damai dengan keluarga, damai dengan masyarakat, serta damai dengan alam yang meliputi seluruh makhluq Allah: fissamawati wal ardl. Tradisi Assalamu`alaikum, peace be upon you adalah universal greeting yang selalu terdengar ramah dan damai bagi Muslim-Muslimah sejagat. Allah dan Malaikat menyampaikan salawat dan salam pada Nabi-Nabi. Surga dinamakan oleh Allah darussalam: home of peace. Dalam Islam damai bukanlah masalah international law dan international relation antara negara-negara yang kemudian melahirkan negarasuper power yang arrogan dan mengklaim diri sebagai polisi dunia, tapi damai dalam Islam dimulai dari konsep diri kemudian meluas ke keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia. Meminjam istilah Hassan Hanafi, paling tidak ada dua damai: yakni peace in the soul (internal peace), dan peace in the world (external peace).

Dengan memperhatikan normatif Islam sebagai landasan ideologis, kata “jihad” dalam al-Qur’an lebih pas dimaknai lawan dari “qu`ud” dalam al-Qur’an. Jika qu`ud artinya adalah kondisi pasif, sebaliknya jihad merujuk pada keaktifan untuk agama Allah. Di dalam al-Qur’an pengertian jihad fisabilillah lebih ditekankan pada upaya perjuangan meningkatkan kegiatan ibadah dalam rangka mengabdi pada Allah, bukan untuk kepentingan yang lain. Dari sekian banyak ayat yang menyebutkan jihad misalnya al-Hajj 78, al-Taubah 19, 24, al-Mutmainnah l, al-Hujurat 15, dan al-`Ankabut 6, tidak ada satupun ayat yang mengkonotasikan jihad sebagai perang. Ayat-ayat yang berhubungan dengan perang pada umumnya menggunakan istilah qital.

Back to basic

Dinamika masalah sosial budaya dan keagamaan adalah sebuah fenomena nyata di lingkungan kita. Ini tentu mengundang pemikiran mendalam untuk menata kembali kehidupan beragama yang lebih menyejukkan, santun, damai, dan peduli terhadap masalah-masalah sosial.

Memang hampir di mana-mana di dunia ketiga, persoalan pluralisme selalu masih menjadi topik penting. Untuk itu umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas Indoinesia sudah semestinya kembali ke ajaran dasar Islam,normativeness dalam memecahkan persoalan-persoalan ini.

Dalam Islam, setiap ibadah ritual sarat dengan pesan moral yang bersifat vertical dan horizontal. Ibadah puasa misalnya, bukan sekadar mengajarkan disiplin diri, atau juga ajakan kesalehan diri, lebih dari itu puasa adalah ajakan peduli terhadap lingkungan dan penegakan HAM. Sangat ironis jika puasa hanya diartikan sebagai takwa pribadi dengan melupakan masalah-masalah social atau kesalihan sosial. Budaya kekerasan, budaya menghakimi sendiri, agaknya sudah melembaga dalam masyarakat kita. Istilah "kurang ajar (tidak ada istilah "cukup atau berlebihan ajar) yang biasanya digunakan pendahuluan untuk memukul seseorang adalah ekspresi budaya yang haus "menghajar orang lain. Peristiwa kerusuhan atau riot, meskipun para sosiolog menganggap istilah ini kurang pas dan menggantikannya dengan protes sosial, di beberapa tempat dewasa ini jelas melegitimasi bahwa Indonesia sarat kehidupan kekerasan dengan pelbagai macam motifnya. Agaknya di Negara kepulauan ini, kekuatan tangan untuk memperingatkan orang lain lebih sering ditempuh. Barangkali karena pengaruh budaya collectivism, atau komunal "mangan ora mangan kumpul, posisi individu sering tidak terperhatikan dan nyawa nyaris murah dari hari ke hari. Dengan kata lain, "pasrah dan rela dipukul asal kumpul. Keadilan social bagi seluruh rakyat ternyata masih menjadi masalah utama. Sungguh puasa dan kepedulian social adalah bagaikan roh dan badan. Dengan berpuasa manusia bukan hanya bersimpati terhadap kemiskinan, tapi lebih dari itu secara empati merasakan haus dan lapar, sehingga dia member apreasisi yang tepat dan fungsional terhadap kesengsaraan rakyat. Penyakit bangsa yang melumpuhkan bangsa-bangsa terdahulu sebagaimana diingatkan Rasul adalahfudlul al-taam, fudlul al-manam, fudlul al-kalam; banyak makan, banyak tidur, dan banyak kata Karen aterjerat dalam budaya seremoni yang mengalahkan substansi. Jelas penyakit ini adalah cermin penyakit manusia yang tidak berpuasa atau berpuasa tanpa roh dan makna. Pantaskah orang berbicara soal penderitaan rakyat, kemiskinan, dan kelaparan, sedangkan dalam pikirannya belum pernah terlintas apalagi mengalami pahitnya kehidupan. Pantaskah seseorang menggembar-gemborkan demokrasi, sedangkan dia adalah bagian dari masyarakat timokratik (meminjam istilah al-Farabi dalama l-Madinah al-Fadilah) yang haus akan kekuasaan, popularitas dan kehormatan. Sia-sialah mereka yang melakukan puasa, tapi tersenyum tatkala manusia lain menderita, tertawa tatkala rakyat menangis, menimbun harta dan dolar tatkala umat kelaparan dan kebingungan dengan pemenuhan bahan-bahan pokok, serta memamerkan kekerasan tatkala rakyat mengharapkan perlindungan.

 

Manusia beriman dalam arti yang sebenarnya semestinya mengikuti pola kehidupan Nabi dan sahabatnya yang selalu menghormati orang lain. Umat Islam perlu merenungkan kisah-kisah nyata masa salafussalih, seperti seorangsahabat Nabi yang melakukan ikram al-duyuf, memberi penghormatan terhadap seorang tamu. Sang Tuan rumah hanya punya persediaan makan terbatas untuk anaknya, maka sang Ibu menyuruh anaknya untuk segera tidur tanpa makan malam. Sang ayah mematikan lampu mempersilahkan makan tamu dengan pura-pura ikut makan karena persediaan terbatas tersebut. Malam berlalu satu keluarga berkorban tidak memenuhi kebutuhan makan demi sang Tamu. Inilah contoh orang-orang salih yang perlu kita renungkan dalam kehidupan sekarang ini

Ajaran Islam yang humanis sebagaimana dipaparkan diatas adalah paradigma utama untuk mendasari upaya membangun visi bersama di tengah kemajemukan. “Indonesia tanpa pagar” (meminjam istilah budayawan Darmanto Jatman) haruslah dijadikan sasaran bersama dan agenda utama pluralisme umat beragama di Indonesia, yang merupakan sebuah bangsa yang hidup di tengah-tengah masyarakat internasional yang sedang berada dalam global trends and ethics. Indonesia harus menyesuaikan diri dengan etika global ini seperti demokratisasi, pluralisme dan sebagainya. Relevan kita pungkasi tulisan ini dengan syair-syair teolog dan filosuf Jerman Hanskung:

Not just freedom, but also justice

Not just equality. But also plurality

Not just brotherhood, but also sisterhood

Not just coexistence, but peace

Not just productivity, but solidarity with the environment

NOT JUST TOLERATION, BUT ECUMENISM

(Hanskung: global trends and ethics: 1999).

 

 

[1]James E. Royster, “Muhammad as a Teacher and Exemplar”, The Muslim World, 68, no. 4 (1978), hlm. 235-258.

[2]

Lihat Ibn Hanbal, Op.cit., III, hlm. 17.

 

[3] Qur’an, 2: 129. Beberapa ayat lain yang masih berhubungan dengan hal tersebut adalah surat 62: 2 dan 3: 164

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI