Membangkitkan Mental dan Spiritual Melalui Halalbihalal

14 Jun 2021
Membangkitkan Mental dan Spiritual Melalui Halalbihalal
Foto: google.com

Oleh: Nurman Kholis

(Peneliti Madya Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama)

Idulfitri mengondisikan pikiran umat Islam untuk melakukan flashback atas perjalanan hidup yang sudah dilalui. Hari raya tersebut juga mengkondisikan sesuatu dalam benak itu untuk menatap masa depan yang akan dijalani. Retrospeksi dan proyeksi ini pun terkondusifkan pula pada halalbihalal, suatu tradisi di Nusantara pasca hari raya yang juga disebut “lebaran”. Adapun komunitas yang menyelenggarakan acara ini ada berdasarkan keluarga, asal lembaga pendidikan yang sama, profesi yang sama, dan sebagainya.

Pada halalbihalal tahun 1442 hijriah ini, saya pun mengikuti Halalbihalal Alumni Pertama Pesantren La Tansa (Cikal) 1994 ini berlangsung di rumah Kang Muhammad Said di Sawangan Depok pada 14 Syawal 1442 H (26 Mei 2021) . Ada sekitar 20an peserta yang hadir, dari 41 anggota Cikal yang salah seorangnya sudah wafat. Mereka berasal dari Lebak, Pandeglang, Serang, Jakarta, Tangerang, Depok, Karawang, Bandung, dan Garut.

Pada acara ini juga dibahas sekilas perkembangan pesantren "Cikal" di Garut yang dipimpin oleh Kang Andi Supriadi, M.Pd. Pesantren ini didirikan 3 tahun lalu dengan jenjang pendidikan SMP. Nama tersebut menunjukkan pesantren ini bermula dari musyawarah "Cikal 1994". Pendanaan pesantren ini juga di antaranya berasal dari sumbangan para alumni pertama La Tansa itu yang diberikan setiap bulan secara urunan dengan suka rela.

Selama 3 tahun berkiprah, pesantren Cikal yang di antara  santrinya anak-anak tukang sol sepatu, tukang cukur, TKI dan sebagainya ini, semakin dipercaya oleh warga sekitar untuk pendidikan anak-anaknya. Karena itu, pesantren Cikal sedang mempertimbangkan rencana penambahan jenjang dengan SMA. Hal ini sehubungan dengan semakin meningkatnya para orang tua untuk memondokkan anak-anaknya. Mulai tahun ajaran 2021-2022 ini, pesantren cikal juga mendapatkan bantuan tenaga pengajar dari Gontor. Dua orang ustadz dan dua orang ustadzah.

Demikian sekilas perjalanan pesantren Cikal. Didirikan di lokasi yang sebelumnya disebut tempatnya "jurig" (jin/setan) tapi kini menjadi tempat untuk mengaji. Hal ini juga mengingatkan kiprah K.H. Ahmad Rifa’i Arief yang setelah mendirikan pesantren Daar el-Qolam tahun 1968 di kampungnya di Gintung Balaraja Tangerang, pada tahun 1991 mendirikan pesantren La Tansa di lembah yang angker dan diapait dua gunung, di Parakansantri, Lebakgedong, Lebak. Konon, di kedua gunung itu terdapat "meong kajajaden" (macan jejadian) dari jin.

Kang Andi yang memimpin pesantren cikal merupakan salah satu dari beberapa teman 41 alumni pertama berasal dari lingkungan Muhammadiyah yang mesantren di La Tansa. Meskipun terkategori modern namun secara umum berlakukan praktik ibadah dan tradisi sebagaimana di NU seperti subuh dengan qunut, tarawih 20 rakaat, yasinan berjamaah tiap malam jum’at dan sebagainya. Selain itu, istrinya kang Andi juga berlatar pesantren NU. Karena itu, di pesantrennya yang dikemas dengan nama "SMPIT Cikal" ini juga ada beberapa kitab kuning sebagai bahan bacaaan, antara lain ta'limul muta'alim, safinah, dan tanqihul qoul.

Demikian beberapa episode kiprah kang Andi. Meskipun Allah takdirkan salah satu anggota tubuhnya cacat, tangan kanannya tak bisa digerakkan dengan sempurna (dalam bahasa Sunda “ngaplek”), tapi cekatan saat menyetiri mobilnya sebagaimana saaat membawa saya berkeliling di beberapa sudut kota Garut, jelang dan setelah mengunjungi pesantren Cikal untuk pertama kalinya pada 19 Juli 2019 lalu. Karena itu, ia juga terpilih menjadi pembimbing atlet cacat dari Indonesia saat perlombaan di Singapura dan Malaysia.

Atas kiprah pesantren Cikal, saya yang hadir dalam halalbihalal Cikal 1442 H itu juga membawa buku "Berangkat dari Pesantren" karya Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, jadi terbayang perjuangan beliau yang berasal dari Wong Cilik di Banyumas Jawa Tengah. Berbekal pendidikan pesantren di kampungnya, beliau membawa spirit dari pesantren dalam berbagai kiprah berikutnya hingga beliau mendapatkan gelar Profesor dan menjadi Menteri Agama (1962-1967). Spirit kemandirian dan kebersahajaan yang diperolehnya dari pesantren, membuat tokoh yang kini disematkan pada nama “Universitas Islam Negeri Saifuddin Zuhri” Purwokerto ini, hidupnya sederhana. Sejak setelah berkiprah menjadi Menteri Agama, selain berprofesi sebagai penulis beliau juga jualan beras hingga wafat pada tahun 1986.

Atas kejujurannya selama menjadi pejabat, beliau pun mendapatkan penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun buku "Berangkat dari Pesantren", karya terakhir dari 12 bukunya yang diselesaikan setengah tahun sebelum wafat, juga mendapatkan penghargaan buku terbaik dalam bidang sosial humaniora dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1989. Selain itu, meskipun aktivis NU, K.H. Saifuddin Zuhri juga dikenal akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Bahkan, saat karya Buya HAMKA yang pernah dituduh plagiat, K.H. Saifuddin Zuhri membela Buya HAMKA melalui tulisannya di surat kabar “Duta Masyarakat”.

Semoga dari Pesantren Cikal Garut yang menampung “wong cilik” dan pesantren-pesantren lainnya, dapat terus menghasilkan alumni yang berkiprah demi tersebarnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu'alahi wa sallam sebagai rahmatan lil 'aalamiin. Rahmat bukan untuk agamanya sendiri, bukan pula untuk ormas keagamaannya sendiri, melainkan untuk seluruh manusia, dan bahkan untuk seluruh alam ini. Aamiin.[]

Nurman/diad

Penulis: Nurman Kholis
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI