MEMBANGUN BUDAYA DAMAI BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH

3 Mei 2017
MEMBANGUN BUDAYA DAMAI BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH

Oleh: Hayadin

Peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag RI.

Jl. MH Thamrin no. 6, Jakarta Pusat.

Email: hayadinsaja@yahoo.co.id

 

Pendahuluan

Damai, merupakan inti pesan dari para nabi, dan rasul sejak awal penciptaan manusia.  Oleh karena itu “upaya memelihara damai’ atau anjuran untuk hidup damai, bukan merupakan hal baru. Ia merupakan hal klasik yang senantiasa diperbaharui sesuai dengan konteks dan situasi zamannya. Secara artikulatif, pengarusutamaan ‘budaya damai’ (mainstreaming the culture of peace) muncul di tengah situasi zaman yang penuh kekerasan, kezaliman, penindasan dan hal-hal lain yang melanggar hak asasi manusia.

Di zaman modern, pasca PD ke-2, konsep dan gerakan ‘Budaya Damai (culture of peace)’ pertama kali diperkenalkan dalam sebuah konferensi Internasional “Congress on Peace in the Minds of Men” pada tahun 1989, di kota Pantai Gading (Côte d’Ivoire). Pertemuan tersebut merekomendasikan agar UNESCO sebagai badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengembangkan budaya damai berdasarkan nilai-nilai universal, seperti: respect for life (menghormati hak hidup), liberty(kebebasan), justice (keadilan), solidarity (solidaritas), tolerance (toleransi), human rights(Hak asasi manusia) and equality between men and women (kesetaraan pria dan wanita)’. Momen tersebut bertepatan dengan situasi internasional yang menandai berakhirnya perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin di Jerman.

Dalam konsepsi UNESCO, damai (peace) diartikan secara luas. ‘Peace is more than an absence of war. It means justice and equity for all as the basis for living together in harmony and free from violence, now, but even more so for our children and succeeding generations’. Kata damai mengandung makna lebih dari sekedar ‘bebas dari perang’. Damai, bermakna keadilan dan kesetaraan untuk semua, sebagai landasan untuk hidup bersama secara hormonis dan bebas dari kekerasan, baik pada masa sekarang, ataupun untuk anak – anak generasi yang akan datang.

Menindaklanjuti pertemuan di Pantai Gading, maka pada tahun 1992 UNESCO’sExecutive Board membentuk program khusus untuk Budaya Damai sebagai bagian dari program perdamaian PBB (United Nations peacekeeping efforts). Pada tahun 1994, diselenggarakan ‘International Forum on the Culture of Peace’ yang pertama, di San Salvador (El Salvador). Dilanjutkan pada tahun 1995, UNESCO memperkenalkan konsep ‘Culture of Peace’ dalam program strategis jangka menengah (1996–2001). Dan sepanjang kurun waktu tersebut (1996–2001), PBB telah mensponsori serangkaian kegiatan tentang Culture of Peace, dengan melibatkan berbagai LSM, organisasi sosial, media, pers, pemimpin agama, di berbagai negara. Pada tahun 1997, PBB menetapkan tahun 1997 sebagai tahun Internasional untuk Budaya Damai.  

Sebagai puncaknya, pada tahun 1998, PBB mencanangkan  tahun 2001–2010 sebagai dekade Internasional untuk Budaya Damai dan Anti Kekerasan (‘International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World’). Selanjutnya pada tahun 1999, PBB mengadopsi deklarasi dan program aksi tentang Budaya damai yang meliputi 8 aspek, yakni: 1) Memelihara Budaya Damai melaui pendidikan untuk semua (Fostering a culture of peace through education by promoting education for all); 2) Mempromosikan pembangunan sosial-ekonomi berkelanjutan dengan sasaran mengurangi kemiskianan (Promoting sustainable economic and social development by targeting the eradication of poverty); 3) Mempromosikan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia (Promoting respect for all human rights); 4) Menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki, termasuk dalam aspek ekonomi (Ensuring equality between women and men by integrating a gender perspective and promoting equality in economic); 5) Memelihara demokrasi partisipatif dengan mengajarkan tanggungjawab warga negara (Fostering democratic participation by educating responsible citizens); 6) Meningkatkan  pemahaman terhadap toleransi dan solidaritas melalui dialog antar peradaban (Advancing understanding, tolerance and solidarity by promoting a dialogue among civilizations); 7) Mendukung komunikasi aktif kebebasan informasi dan pengetahuan bagi seluruh pihak (Supporting participatory communication and the free flow of information and knowledge); 8) Mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan keamanan internasional (Promoting international peace and security).

Pada saat yang bersamaan dalam dekade tersebut, Indonesia mengalami serangkaian kekerasan fisik dan perang saudara, seperti: di Aceh (Sumatera), Sampit (Kalimantan), Poso (Sulawesi), dan Ambon – Ternate (Maluku). Kekerasan fisik tersebut menggiring ajaran agama dan umat beragama untuk melakukan tindakan yang justru dikutuk oleh agama itu sendiri. Pengalaman tersebut dapat dikatakan sebagai trauma sejarah, dan tidak perlu terulang kembali. Berbagai upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendamaikan kembali pihak-pihak yang sudah terlanjut berkonflik. Berbagai lembaga sosial masyarakat (LSM) yg berorientasi pada isu resolusi konflik, turun ke lapangan melakukan kerja-kerja pendampingan dan kajian aksi (action research) untuk menyelesaikan konflik.

Lembaga pendidikan dan pelatihan, sibuk melakukan konseling, terapi dan penanganan trauma kepada anak-anak di daerah pasca-konflik. Ikhtiar maksimal diletakan pada sektor pendidikan untuk melokalisir kurun waktu konflik, tidak berkepanjangan dan turun pada generasi berikut. Pendidikan harus memutuskan mata-rantai dendam dan rasa kebencian antar kelompok konflik, sehingga tidak terwariskan kepada anak didik yang akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia.

 

Peran Lembaga Pendidikan

Sekolah menjadi tempat disematkan harapan bagi anak-anak. Karena secara sosial, ia menjadi tempat pertama dimana seorang anak pertama kali bersosialisasi dan bergaul dengan anak-anak sebaya yang memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Sesuai dengan prinsip individu-kemanusiaan, bahwa setiap orang adalah unik, baik itu karena latar belakang ekonomi, sosial dan budaya keluarga, dan agama, bahkan karena akar biologis yang diturunkan oleh orang tuanya. Keunikan setiap anak tersebut terekspresi sedemikian rupa yang kemudian melahirkan berbagai pesona perbedaan di lingkungan sekolah. Perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu pertentangan yang kemudian terekspresi menjadi perilaku bully dan kekerasan, atau dapat menjadi pemicu bagi persahabatan dan bertemanan. Kedua bentuk perilaku tersebut memiliki peluang kejadian yang sama, tergantung pada dasar-dasar nilai, budaya, dan iklim sekolah yang diciptakan oleh komunitas dan civitas akademika di sekolah tersebut.

Guru sebagai tuan (rumah) di sekolah yang bertugas mengelolah nilai-nilai kebudayaan dan iklim sekolah baik melalui pembelajaran di kelas ataupun pembelajaran di luar kelas, memiliki peran utama untuk mengarahkan perilaku anak sekolah lebih cenderung meresapi dan mengamalkan budaya damai, persahabatan dan pertemanan dalam merespon perbedaan yang ada di antara siswa. Iklim sekolah yang dibentuk oleh faktor-faktor seperti: norma dan aturan sekolah, bentuk hubungan antar aktor seperti siswa, guru, staf dan pimpinan sekolah, serta relasi dengan aktor-aktor dan faktor di luar sekolah, sangat berpengaruh terhadap prestasi dan sikap siswa, bahkan terhadap sikap dan motivasi guru dalam mengajar. Banyak laporan riset baik berbentuk skripsi, ataupun disertasi yang menerangkan hubungan antara persepsi anak terhadap iklim sekolah dengan motivasi belajar atau terhadap prestasi belajar.

 

Posisi Guru dan Mata pelajaran Pendidikan Agama

Lalu, dimana posisi guru agama dalam membentuk iklim dan budaya sekolah yang aman, nyaman, dan damai?

Secara sosial, anak didik yang hadir di sekolah pasti menganut agama tertentu yang diturunkan dari keluarganya (orang-tuanya). Agama menjadi salah satu simpul identitas anak. Dan secara substantif, agama tersebut (yang dianut oleh anak peserta didik) memberikan pesan-pesan kebaikan kepada sang anak. Itu sudah terjadi di rumah, sebelum anak masuk sekolah. Banyak perilaku dan kebiasaan ‘baik’ peserta didik yang sudah terbentuk atas landsasan agama yang dianutnya. Banyak masalah yang dapat diselesaikan melalui jalur agama. Namun perkembangan sosial yang terjadi membuat pemahaman keagamaan di kalangan remaja atau pelajar cenderung terdegradasi oleh berbagai aktivitas non-agama, sehingga secara tidak disadari telah menjauhkan nilai-nilai religius dalam kehidupan anak. Tanpa disadari, agama sudah tidak menjadi landasan dalam bersikap, dan berperilaku.

Meskipun demikian, pada saat yang bersamaan, masyarakat masih (selalu) memberikan stereotipe bahwa perilaku menyimpang remaja sebagai kesalahan atau kekurangan dari guru agama. Guru agama dan mata pelajaran (mapel) pendidikan agama di sekolah menjadi kambing hitam dari perilaku sosial yang menyimpang. Sebagai praktisi yang berkecimpung dalam bidang pendidikan agama dan keagamaan, stereotype tersebut, harus dipandang secara arif, untuk tidak menyalahkan masyarakat. Karena hal tersebut adalah pertanda besarnya harapan masyarakat terhadap pendidikan agama. Stereotype tersebut harus menjadi pendorong dan pemicu untuk meningkatkan kinerja para praktisi pendidikan agama di sekolah.

Terkait dengan budaya damai dan anti-kekerasan, agama memiliki potensi untuk dipakai secara positif atau negatif, tergantung orangnya. Perbedaan agama yang telah menjadi realitas bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara di Indonesia jika tidak dipahami secara baik dan arif oleh masyarakat, dapat menjadi dasar indoktrinasi untuk membenarkan tindakan seseorang memusuhi agama yang berbeda dengan yang ia anut. Agama sering kali menjadi pemicu konflik dan kekerasan dalam masyarakat Indonesia, akibat kekeliruan dan kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama yang dianut. Untuk meluruskan berbagai hal tersebut, maka dibutuhkan figur yang memahami agama dan memiliki wawasan kebangsaan yang baik. Guru agama di sekolah dipandang sebagai aktor yang memiliki syarat untuk menjalankan peran tersebut. Guru agama memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan siswa, mengetahui pandangan beragama siswa, dan mengarahkan pada pengamalan agama yang konstruktif dan produktif.

Pendidikan agama di sekolah merupakan salah satu instrumen negara dalam membangun paham keagamaan (terutama dan minimal kepada anak didik usia sekolah) yang selaras dengan cita-cita dan tujuan negara. Pendidikan agama di sekolah harus memenuhi fungsi minimalnya, yakni ‘menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama’. Dan dalam konteks itu maka guru agama merupakan agen negara dalam membangun budaya damai melalui pendidikan agama. Untuk menjalani peran tersebut GPA mesti memiliki wawasan dan pengetahuan multikulturalism, disamping memahami secara dalam hakikat dan inti dari ajaran agama yang dianut dan diajarkan kepada siswa.

Multikulturalisme merupakan istilah yang paling merepresentasikan gambaran tentang Indonesia. Tidak ada ungkapan yang paling tepat untuk memberikan deskripsi tentang kondisi realitas Indonesia selain dengan menyebutnya sebagai negara yang plural dalam maknanya yang sesungguhnya. Multikulturalisme sudah menjadi sunatullah, kehendak Tuhan yang given, sehingga menentangnya sama dengan menentang Tuhan yang telah berkehendak dengan ciptaan-Nya (Zuly Qodir; Fiqhi Kebhinnekaan, 2015). Pemahaman dan penghayatan terhadap fakta multi-kulturalisme yang ada di Indonesia, akan memudahkan guru berdamai dengan diri dan lingkungannya yang berbeda-beda. Menyetujui dan membiarkan sesuatu yang diamalkan dan diyakini oleh orang lain, meskipun itu berbeda dengan pemahaman logika dan akal sehatnya. Sikap ini dapat disebut dengan istilah ‘agree in disagrement’, artinya bersepakat dalam perbedaan (Biyanto, 2015).

Dengan pemahaman keagamaan, wawasan kebangsaan, dan multikulturalism, guru pendidikan agama dapat menjadi ‘pribadi dialogis’, yakni orang yang memiliki kapasitas mental untuk berdialog dengan berbagai pihak yang berbeda agama, kebudayaan, dan kepribadian. Ciri-ciri pribadi dialogis meliputi: 1. Utuh dan autentik. Utuh berarti memberikan tanggapan kepada orang lain dengan seluruh pribadi, bukan dengan pribadi yang setengah-setengah, ia berbicara dengan sepenuh hati. Dikatakan autentik karena seseorang menghargai orang lain sebagai pribadi, bukan memperalatnya untuk kepentingan pribadi. 2. Terbuka. Ia bersedia dan sanggup mengungkapkan diri kepada orang lain, bersedia dan sanggup mendengar dan menerima ungkapan diri orang lain, kritik sekalipun. 3. Disiplin. Ia mematuhi secara bertanggung jawab tata tertib dialog. Ia bicara jika ada sesuatu yang harus dikatakan atau berbuat jika ada sesuatu yang harus diselesaikan tanpa harus keluar dari konteks pembicaraan yang ada (M. Tafsir,2015).

Penutup

Dari uraian di atas, tidaklah berlebihan jika harapan besar membangun budaya damai di Indonesia di sematkan pada guru dan mata pelajaran Agama di sekolah. Bersama-sama dengan guru dan mata pelajaran lain di sekolah, terutama pendidikan kewarganegaraan, upaya memelihara dan mengapresiasi iklim dan budaya sekolah yang aman, nyaman dan damai menjadi tugas utama dan tanggung jawab guru agama. Guru agama memiliki modal yang cukup untuk mengemban tanggungjawab tersebut. Secara sosial, guru agama sudah mendapatkan mandat/kepercayaan dari orang tua siswa untuk selalu memberikan pesan pesan moral yang berisi kebaikan sebagai dasar pembentuk budaya damai. Secara formil juga, guru pendidikan agama sudah mendapatkan modal untuk menanamkan dan menyebarluaskan kebaikan tersebut melalui berbagai jalur pendekatan, yakni intra-kurikuler, co-kurikuler, dan ekstra-kurikuler.

Semoga iklim dan budaya damai yang tercipta dan terpelihara di sekolah, akan menjadi virus bagi budaya damai di Indonesia dan dunia secara global. Aamiiien...!

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI