MEMBANGUN KEMBALI HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK AGAMA PASKA KONFLIK

27 Okt 2005
MEMBANGUN KEMBALI HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK AGAMA PASKA KONFLIK

Penelitian

27 Oktober 2005 

MEMBANGUN KEMBALI HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK AGAMA PASKA KONFLIK 

Pada masyarakat yang sedang konflik, biasanya  ditandai dengan adanya disorientasi (kehilangan arah – red) dalam segala bidang kehidupan. Disorientasi itu bisa dalam bentuk porakporandanya sistem masyarakat yang berlaku selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad, masyarakat tak kenal hukum lagi, sehingga chaos(kekacauan) terjadi di tengah-tengah masyarakat tanpa ada yang tahu cara dan bagaimana mengatasinya, atau dalam bahasa sosiologis disebut anomi. Hubungan antar komponen masyarakat goyah karena tidak ada lagi yang saling percaya (distrust) dan kebenaran menjadi nisbi.  

Puslitbang Kehidupan Beragama, salah satu pusat penelitian dari tiga yang dimiliki Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, pada tahun 2004 melakukan studi tentang Hubungan antar Umat Beragama Pasca Konflik di Berbagai Daerah. Studi ini berhasil memotret hubungan sosial (social interaction) antar kelompok masyarakat di daerah-daerah yang pernah dilanda konflik. Caranya dengan menyoroti forum-forum perdamaian beserta programnya yang telah dicanangkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta (LSM) dalam membangun perdamaian (peacebuilding) dan menjaga perdamaian (peacekeeping) pasca konflik di daerah dalam kaitan dengan kehidupan antar kelompok masyarakat yang lebih baik, termasuk di dalamnya umat beragama. Dari itu, tujuan dari studi tersebut antara lain adalah: Apa saja faktor pendukung, dan sebab-sebab yang menggagalkan upaya perdamaian yang telah dicanangkan? 

Masih terngiang di ingatan kita semua  betapa forum perdamaian Malino I (untuk kasus Maluku) dan Malino II (untuk Kasus Poso) kurang begitu berhasil meredam konflik untuk tidak terjadi lagi di kedua tempat itu. Baru beberapa bulan saja kedua forum perdamaian itu digelar, konflik kembali meletus. Kasus Poso, misalnya, sebagaimana dicatat oleh Tamrin Amal Tomagola(2003), sudah melalui tujuh kali upaya damai, begitupun yang dilakukan untuk kasus Maluku. Tapi, tidak satu pun upaya damai berhasil memotong siklus konflik untuk tidak muncul kembali.  

Pada tahun 2003, Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama, pernah melakukan penelitian tentang kondisi masyarakat di daerah-daerah konflik seperti; Sambas, Palangkaraya, Sampit, Kualakapuas, Pontianak, Ambon (Maluku), Ternate, dan Poso. Namun, penelitian ini kurang berhasil menggali potret interaksi sosial kehidupan masyarakat pasca konflik yang bisa menjadi tolok ukur apakah program perdamaian yang telah dicanangkan pemerintah berhasil menata kembali struktur sosial yang berantakan, dan mencegah konflik untuk tidak terjadi lagi. Data sementara menunjukkan, kurang optimalnya implementasi butir-butir perdamaian yang dilakukan oleh aparat di daerah, dan juga dukungan pemerintah pusat yang setengah hati, menyebabkan begitu banyak upaya damai tidak berjalan dengan semestinya. 

Beberapa hal yang digali oleh studi tahun 2004 ini adalah: (1) Polarisasi yang telah dialami oleh masyarakat di daerah, sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan menggangu kehidupan antar kelompok masyarakat, (2) Mekanisme lokal yang bisa berfungsi sebagai faktor utama dalam mengatasi konflik, (3) Model rekonsiliasi dan resolusi di daerah sebagai salah satu bentuk dari upaya membangun perdamaian pasca konflik (peacebuilding), (4) Keterlibatan masyarakat (social participation) dalam forum perdamaian di daerahnya, dan (5) Peran tokoh (local elite) dalam mengatasi konflik dan mengembangkan perdamaian kaitannya dengan kehidupan antar kelompok masyarakat yang harmonis. 

Secara umum, studi ini menggambarkan keberhasilan, dan juga tentunya kegagalan, program-program rekonsiliasi, negosiasi, resolusi dan mediasi (peacebuilding) yang telah dicanangkan di daerah konflik, dan mengevaluasi dukungan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam proses tersebut, seperti menjaga dan mengawasi berjalannya program perdamaian itu (peacekeeping). Dalam artian, studi ini diharapkan dapat menggambarkan, apakah semua program rekonsiliasi tersebut berjalan secara optimal di daerah-daerah pasca konflik dalam membangun kembali hubungan antar kelompok masyarakat yang lebih damai. Jika berjalan secara optimal maka apa saja faktor-faktor pendukungnya, dan jika tidak maka apa saja faktor-faktor penghambatnya.  

Indikator-indikator keberhasilan yang dijadikan ukuran dalam menilai sukses tidaknya program perdamaian tersebut dilihat pada minimal lima aspek yaitu; (1)    Model struktur sosial; struktur sosial sebuah masyarakat sebelum konflik awalnya bersatu (satu kampung terdapat dua atau lebih penganut agama yang berbeda), setelah konflik masyarakat terbagi-bagi (seggregated society) menjadi, misalnya, kampung Islam dan kampung Kristen dimana keduanya tidak saling mengunjungi lagi bahkan saling mengancam untuk tidak melewati wilayah masing-masing, seperti yang terjadi di Ambon; (2)    Mekanisme komunikasi; paska konflik biasanya membuat komunikasi terputus, sehingga posisi masing-masing pihak yang bertikai mengeras. Masing-masing hanya mau bergaul dengan orang yang sependapat dengannya, diluar itu harus dicurigai; (3)    Hilangnya kepercayaan satu dengan lainnya; karena tidak adanya saling percaya, data dan informasi sering diputarbalikkan untuk kepentingan kelompoknya (data distortion);(4)    Eskalasi konflik; konflik menjadi berlarut-larut, karena ikut campurnya pihak luar yang merasa terpanggil oleh penderitaan saudaranya seiman atau sesama daerah di daerah konflik. Misalnya, kasus Ambon melibatkan Laskar Jihad yang berbasis di Jawa untuk membantu perlawanan kaum Muslim di Ambon; dan(5)    Trauma berkepanjangan; pihak-pihak yang bertikai, terutama yang menjadi korban (orang tua, perempuan dan anak-anak), sulit melupakan peristiwa yang dialami. Meskipun upaya damai sudah dilakukan, bayangan kekerasan yang dialami, baik yang menimpa diri sendiri maupun keluarga yang menjadi korban, akan terus menghantui dan membentuk pandangan, sikap dan perilakunya (stereotip) terhadap orang lain (Adlin Sila). 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI