MODEL PENGEMBANGAN KERUKUNAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT URBAN MELALUI PENDEKATAN AGAMA

12 Feb 2007
MODEL PENGEMBANGAN KERUKUNAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT URBAN MELALUI PENDEKATAN AGAMA

MODEL PENGEMBANGAN KERUKUNAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT URBAN MELALUI PENDEKATAN AGAMA;

Riset Emansipatoris Perumusan Model Pengembangan Kerukunan Sosial Berwawasan Agama

Dalam Kehidupan Masyarakat Kota di Kabupaten Jember

Tim Puslitbang Kehidupan Beragama
2006


Penelitian ini mengangkat tema tentang “model pengembangan kerukunan sosial dalam kehidupan masyarakat urban melalui pendekatan agama”. Tema ini dipandang cukup aktual dikaitkan dengan realitas eskalasi kekerasan sosial di perkotaan seperti pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hukum, marginalisasi kaum perempuan, eksploitasi buruh oleh para pemilik modal, eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kemerosotan moralitas agama, semakin tereduksinya kearifan lokal akibat menguatnya ideologi neo-kapitalisme modernisasi dan globalisasi, dan berbagai macam fenomena kekerasan sosial lainnya. Kesemuanya ini mengakibatkan jalinan hubungan sosial antar berbagai elemen perkotaan menjadi rentan konflik. 
Dari penggalian data dan analisa data diperoleh temuan bahwa kondisi kerukunan sosial masyarakat urban di Jember pada derajat tertentu, sudah relatif bagus yang ditandai oleh tidak adanya konflik sosial dalam skala massif. Konstruksi sosial kota Jember yang semakin kapitalistik telah menciptakan aneka kekerasan sosial yang bersifat budaya dan struktural seperti pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi perempuan dan kaum buruh, marginalisasi anak jalanan dan kaum miskin kota, ketegangan antar umat beragama, khususnya antara Islam dan kristen, dalam soal pendirian tempat ibadah, dan lain sebagainya. Corak kekerasan demikian ini sifatnya tidak kasat mata (visible). Dengan demikian, konstruksi kerukunan sosial kota Jember belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, keamanan, bagi semua elemen sosial kota untuk dapat hidup berdampingan (living togheter) secara demokratis.
Sebagai kesimpulan dari hasil penelitian ini dikemukakan bahwa agama bukan sesuatu yang otonom yang sekedar bergerak pada pendulum (ukuran bergerak) moral (baik dan buruk), dogma dan ritual, melainkan sudah semestinya mengembangkan kemampuan rekonstruktivitasnya dalam melakukan “konstruksi terhadap realitas sosial”. Dalam konteks pengembangan kerukunan sosial pada masyarakat urban di Jember, agama, melalui publiknya, dituntut untuk melakukan “konstruksi kerukunan sosial” yang lebih humanis, religius, inklusif, toleran, dan demokratis sesuai dengan spirit universalitas ajarannya secara dialektik. 
Untuk mewujudkan itu semua, direkomendasikan kepada publik agama di perkotaan Jember tanpa terkecuali untuk menempatkan dan memperkuat potensi agama dalam kapasitasnya sebagai modal sosio-religius (socio-religius capital) bagi reintergrasi sosial. Bagi institusi pemerintah baik pusat maupun daerah direkomendasikan untuk lebih memperhatikan kehidupan agama dari pada tokoh-tokohnya semata.*** 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI