Negara Tetap Berikan Layanan Administrasi bagi Seluruh Pemeluk Agama

23 Sep 2014
Negara Tetap Berikan Layanan Administrasi bagi Seluruh Pemeluk Agama

Jakarta (23 September 2014). Tidak ada diskriminasi pelayanan administrasi bagi pemeluk agama yang “belum diakui”, demikian disampaikan oleh Dwi Setyantono, Direktur Pendaftaran Penduduk, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Hal ini beliau sampaikan menanggapi paparan hasil penelitian yang disampaikan dalam kegiatan Seminar Hasil Penelitian Eksistensi Agama Baha’i, Tao, dan Sikh di Indonesia. Selanjutnya Dwi menyampaikan bahwa pelayanan administrasi kependudukan yang mereka lakukan, sepenuhnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara menanggapi sulitnya para penganut “agama yang belum diakui” mendapatkan hak-kah sipilnya, Dwi mengatakan bahwa sesungguhnya peraturan perundang-undangan mengamanahkan untuk memberikan pelayanan administrasi (termasuk pembuatan KTP) kepada siapapun, tanpa dibatasi pada penduduk yang menganut “enam agama yang diakui”. jika ternyata di lapangan terdapat aparat yang tidak memberikan layanan kepada penganut agama selain yang diakui (seperti Tao, Baha’i, dan Sikh), maka sebenarnya itu dikarenakan kekurangpahaman aparat terhadap peraturan perundang-undangan.

Tanggapan senada juga disampaikan oleh Joko Mursito, Direktur Penyelarasan Kebijakan dan Perencanaan Kependudukan, Kemendagri. Beliau menyampaikan bahwa sejak diberlakukannya UU Adminduk Tahun 2006 (dan dipertegas oleh UU no. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Adminduk) telah memberikan kebebasan bagi para pemeluk “agama yang belum diakui” untuk tidak mencantumkan status agama di KTP-nya. Ini berbeda dengan regulasi sebelumnya yang mewajibkan pemeluk agama tersebut mencantumkan agama induk (memilih dari enam agama yang diakui-meskipun pada faktanya mereka tidak memeluknya) pada KTP-nya.

Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa sesunggunya tidak ada diskriminasi dalam pelayanan administrasi kependudukan (terutama KTP). Meskipun agama selain “enam agama yang diakui oleh Pemerintah” belum bisa dicantumkan dalam KTP, namun mereka juga tidak dipaksa untuk mencantumkan “agama induk”. Selain itu secara administratif, Kementerian Dalam Negeri tetap mencatat status mereka dalam data base.

Joko juga meluruskan terkait pelayanan akta kelahiran. Ia menyatakan bahwa pelayanan penerbitan akta kelahiran, tidak berhubungan secara langsung dengan status keagamaan seseorang. Pemeluk agama apapun (baik yang “diakui” maupun “tidak diakui”) pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama. Pelayanan akta kelahiran hanya berhubungan dengan status anak yang dilahirkan apakah merupakan anak pasangan suami istri, anak yang dilahirkan oleh ibunya (tanpa diketahui ayahnya), ataupun anak yang tidak diketahui siapa ayah dan ibunya.

Direktur Catatan Sipil Kemendagri, Amin Pulungan menambahkan bahwa sesungguhnya pelayanan terhadap pemeluk agama yang “belum diakui” tetap diberikan sebagaimana pelayanan terahadap penduduk yang memeluk enam agama yang “diakui”. Namun demikian, ia mengakui bahwa regulasi tersebut tidak dapat memuaskan mereka.

Selanjutnya ia menyampaikan bahwa direktoratnya melaksanakan tugas dan fungsi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu ia menghimbau jika ada elemen masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya tidak diakomodir, sebaiknya mengajukan judicial reviewterhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tanggapan sedikit berbeda disampaikan oleh Wawan Djunaedi yang mewakili Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), Kementerian Agama. Menurutnya memang perlu adanya upaya penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan pelayanan keagamaan maupun adinistrasi kependudukan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PKUB beberapa kasus pelayanan administrasi sipil yang disebabkan oleh kepercayaan/agama yang dianut sering terjadi di masyarakat.

Meskipun disampaikan oleh narasumber sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan keyakinan/agama, tetapi harus diakui bahwa munculnya klausul “agama yang diakui” dalam Undang-undang Adminduk menimbulkan problem di masyarakat yang cukup kompleks. Sehingga menurutnya, meskipun banyak klausul dalam peraturan perundangan yang berlaku sudah cukup memadai, penyempurnaan tetap harus dilakukan.

Pada saat yang sama, Wawan juga mengusulkan perlunya adanya sosialisasi peraturan perundang-undangan seperti UU PNPS dan UU tentang pelayanan administrasi sipil kependudukan secara massif.Sosialisasi tidak hanya diberikan kepada masyarakat luas, tetapi juga harus menyasar aparatur pemerintahan terkait di semua level dari pusat sampai daerah. [] AGS

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI