Pesantren Indonesia Perlu Bangun Kiblat Keilmuan

8 Sep 2016
Pesantren Indonesia Perlu Bangun Kiblat Keilmuan

Surakarta (7 September 2016). Pesantren di Nusantara perlu membangun kiblat keilmuan sendiri. Dahulu sebelum tahun 1920-an, pendidikan di Timur Tengah menghasilkan ulama-ulama Nusantara yang mempunyai kealiman serta kearifan tinggi. Para ulama tersebut mengajarkan Islam moderat yang menjadi karakteristik utama Islam di Nusantara.

Namun setelah periode itu, pendidikan Timur Tengah berubah dan banyak menghasilkan kaum terpelajar yang berbeda. Bahkan ada tuduhan pendidikan Timur Tengah melahirkan generasi yang menghalalkan kekerasan.
Demikian arahan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. H. Abd. Mas’ud, Ph.D. dalam pembukaan Workshop Pengembangan Pemikiran Pendidikan Pesantren di Hotel The Alana Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (7/9) malam.
“Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari rakyat (grassroot). Karena itu suara pesantren juga mewakili sebagian suara rakyat. Untuk memajukan dunia pesantren, banyak kajian pernah dilakukan oleh pakar dan akademisi,” ujar Mas’ud.
Kepala Badan berpesan agar kegiatan workshop tersebut tidak hanya mengulang-ulang kajian yang ada. “Karena itu, saya berharap dari forum ini muncul rekomendasi atau terobosan yang bisa ditindaklanjuti di tingkat kebijakan Kementerian Agama. Termasuk terobosan pesantren dalam menghadapi munculnya pesantren yang mengembangkan paham keagamaan radikal,” tegasnya.
Menurut Mas’ud, dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menimpa pesantren saat ini seperti menurunnya jumlah pesantren yang fokus pada tafaqquh fiddin, munculnya fenomena pesantren yang menjadi tempat persemaian paham radikalisme, pesantren perlu meningkatkan kerjasama berbagai pihak. “Kerjasama bisa dibangun dengan sesama pesantren, dengan birokrasi pendidikan Islam (Kemenag) serta pemerintah baik pusat dan daerah,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Bidang Litbang Pendidikan Nonformal/Informal, Muhamad Murtadlo, menjelaskan kegiatan workshop untuk merumuskan pengembangan pemikiran pendidikan pesantren tidak saja dilakukan di Jawa, tetapi juga akan dilaksanakan di regional Sumatera.
“Saya berharap kegiatan pengembangan pemikiran pendidikan pesantren ini terus berlanjut ke regional-regional lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaring permasalahan serta pemikiran solutif bagi pengembangan pendidikan pesantren,” ujar Murtadlo melalui telepon, Kamis (8/9).
Hadir dalam acara tersebut sejumlah narasumber seperti Hermanu Djoebagyo (Guru Besar UNS), K.H. Abdul Ghaffar Rozien (Ketua RMI-NU Pusat), K.H. Lukman Haris Dimyati (Pesantren Tremas), K.H. Dian Nafi’ (Pesantren Al-Muayyad), dan sejumlah kiai muda seperti Dr. Jamal Makmur Asmani yang ingin membedah tema “Teologi Multikulturalisme dalam Kitab Kuning.”
Workshop terselenggara berkat kerjasama Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) Jawa Tengah. Selain perwakilan pesantren, hadir sejumlah pejabat Kementerian Agama di sekitar Surakarta. Antara lain Kemenag Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Kegiatan tersebut dijadwalkan selama tiga hari, Rabu-Jumat, 7-9 September 2016.
Murtadlo/Musthofa Asrori/bas/viks/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI