Puasa, Shiyam-Shaum, dan Qiyam-Qaum

23 Mar 2023
Puasa, Shiyam-Shaum, dan Qiyam-Qaum

Oleh: Nurman Kholis

(Peneliti PR Khazanah Keagamaan dan Peradaban, OR Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, BRIN

 

Puasa dalam bahasa Arabnya pada bentuk infinitif (mashdar) yaitu “shiyam” dan “shaum”. Kedua kata ini juga terdapat di dalam al-Quran. Para penulis tentang puasa secara umum menyebut jumlah kata “shaum” dalam kitab suci ini terdapat 1 buah. Namun pada kata “shiyam” berdasarkan pengalaman saya saat menelusuri beberapa tulisan tentang puasa ini terdapat perbedaan. Ada yang menyebutnya 7, 8, dan 9 buah. Karena itu, saya menggunakan aplikasi Qur’an Kemenag produk Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama yang dapat diakses melalui telepon genggam, untuk mencari hingga dapat memastikan jumlahnya.

 

Dari pencarian ini ternyata diperoleh 9 kata “shiyam” dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, 9 buah kata shiyam tersebut menjadi salah satu sisi dari kemu’jizatan Al-Qur’an. Hal ini sehubungan dengan Ramadhan bulan diwajibkannya berpuasa bagi umat Islam terletak pada bulan ke-9 dalam sistem kalender hijriah. Adapun 9 kata tersebut terdapat pada surat al-baqarah: 183, al-baqarah 187 (2 kali), al-baqarah 196 (2 kali), an-nisa; 92, al-aidah: 89, al-maidah 95, dan al-mujadalah: 4.

 

Menurut Syofyan Hadi (dosen Sastra Arab UIN Imam Bonjol), meskipun ‘shiyam” dan “shaum” memiliki arti yang sama yaitu berpuasa atau menahan, keduanya berbeda secara sematik dalam penggunaannya di Al-Qur’an. Shiyām lazimnya digunakan untuk menunjukan makna menahan dari makan, minum,dan berhubungan suami istri di siang hari Ramadan. Karena itulah perintah untuk menahan makan dan minum serta berhubungan suami istri di siang Ramadan hingga terbenam matahari disebut Allah Swt dengan kata shiyām.

Adapun kata shaum lazimnya digunakan untuk makna menahan diri dari berbicara yang tidak baik. Karena itu, Siti Maryam ketika diperintahkan makan dan minum setelah melahirkan anaknya, dia diminta berpuasa menahan lidahnya agar tidak bicara dan berkata buruk saat melayani caci maki kaumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (Surat Maryam: 26).

9 kata shiyam juga mengingatkan indera manusia yang mesti dijaga yaitu: dua kaki, dua tangan, dua mata, dua telinga, dan satu mulut. Adapun 1 kata shaum yang di dalam Al-Qur’an dikisahkan terkait Siti Maryam tersebut. Dengan demikian, total 9 kata shiyam ditambah 1 kata shaum berkenaan dengan puasa menjadi berjumlah 10 kata. Angka ini juga terkait Syawal sebagai bulan ke-10 setelah Ramadan.

 

Karena itu, pada tanggal 1 bulan ke-10 (1 Syawal) dalam kalender hijriah ini pula, umat Islam disyariatkan untuk banyak menggumandangkan takbir dengan ucapan “Allahu Akbar”. Secara harfiah kata ini berarti “Allah lebih besar” namun para ulama mempopulerkannya menjadi “Allah Maha Besar”.

 

Kata “Akbar” ini juga selanjutnya dilengkapi dengan kata “kabiir(a)”, sehingga menjadi “Allahu akbar kabiira” (Allah Maha Besar lagi sempurna kebesarannya). Peng-akbaran atau pengagungan Allah ini juga ditegaskan oleh Allah terkait kewajiban berpuasa di bulan Ramadan:

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (Al-Baqarah :185)

 

Angka yang terdiri dari “1” dan “0” tersebut, dalam perspektif ulama sufi bahwa yang ada secara hakiki itu hanya Allah Yang Maha Satu. Adapun selain-Nya, ada secara majazi sehingga “wujuduhu ka ‘adamihi (adannya sebagaimana dengan tidak adanya). Hal ini sebagaimana dalam salah satu bait Miftahul Wird susunan Syekh Muhammad Ibnu Habib berbunyi “Wa afnina ‘an wujudina al-majazi fi wujudika al-haqiqi (dan fana (hilang/leburkan) keberadaan kami yang majazi kepada keberadaan Engkau (Ya Allah) yang hakiki”. Bait ini juga sesuai dengan firman Allah: “Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (Al-Baqarah: 115).

         Meskipun di dalam Al-Qur’an kata Shiyam terdapat 9 buah, dan kata shaum hanya 1 buah, para ulama yang berijtihad dibolehkannya pengucapan niat untuk berpuasa menggunakan kata shaum. Hal ini sebagaimana dengan lafadh “nawaitu shaum(a)…(aku telah berniat berpuasa) dan lafaz berikutnya. Dengan demikian, salah satu hikmahnya, penggunaan kata tersebut mengingatkan mereka yang terbiasa melapalkannya terhadap kiprah Siti Maryam, sosok yang mengatakan kata “shaum” di dalam Al-Qur’an berkenaan dengan puasa bicara.

Adapun salah satu cara lainnya untuk mengungkap hikmah dari dipopulerkannya kata "shaum" dari pada kata “shiyam” yaitu dengan melihat fiil madhi kedua kata tersebut dan perbandingannya dengan kata lain berikut pembentukannya. Dalam hal ini, kata "shaum" dan "shiyam" berasal dari kata kerja lampau (fi'il madhi) yang sama yaitu "shaama". Karena itu, persamaan dari "shaama" menjadi "shiyam" dan "shaum" juga dapat dibandingkan dengan kata yang lain. Hal ini sebagaimana pada kata "qaum" dan "qiyaam" yang sama-sama dibentuk dari kata "qaama". Namun, saat kata ini dalam bentuk mashdar maka "qaum" bermakna kaum, sedangkan "qiyam" bermakna berdiri.

Qoum yang juga sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "kaum" tersebut, menunjukkan kumpulan suatu komunitas manusia yang ajeg dan keberlangsungannya turun temurun hingga stabil sekian lama. Adapun "qiyam" yang artinya berdiri menunjukkan aktivitas setelah tidur atau duduk. Hal ini sebagaimana pada kata “qiyamu Ramadhan” yang dimaknai salat tarawih pada malam Ramadhan.

Dengan demikian, "qiyam" bersifat sementara karena tidak lama. Hal ini sebagaimana juga "shiyam" yang dibatasi sejak terbit fajar hingga terbenamnya mata hari, menahan makan dan minum, dan sebagainya. Adapun "shaum" lebih dari sekedar "shiyam". Aktivitas puasanya tak hanya oleh indra namun juga disertai dengan puasanya mulut dan hati.  Hingga hati selalu merasakan kehadiran Allah Yang Maha Satu yang hakiki, dan melihat selain Allah adanya secara majazi.

Karena itu, "shaum" lebih dipopulerkan dari pada "shiyam" oleh para ulama, juga mungkin dimaksud agar "shiyam" dapat berlanjut kepada "shaum". Dengan demikian, Ramadan yang di dalamnya terdapat “shiyam” dan “qiyam” juga berbuah dapat mewujudkan "qaum" yang "shaum". Aamiin. Wallahu a'lam bis showab.

(Nurman/diad)

Penulis: Nurman Kholis
Editor: Dewi Indah Ayu
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI