STUDI MODEL ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK KASUS PADANG SAPPA KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN

18 Jun 2007
STUDI MODEL ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK KASUS PADANG SAPPA KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN

STUDI MODEL ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK KASUS PADANG SAPPA 
KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN


Tim Puslitbang Kehidupan Beragama
2006


Padang Sappa adalah salah satu dari 18 desa/kelurahan yang ada di kecamatan Ponrang Kabupaten Luwu dan juga merupakan ibukota kecamatan tersebut. Setelah dimekarkan, Padang Sappa terbagi tiga menjadi kel. Padang Sappa sendiri, Padang Subur dan Buntu Karya. Dalam tulisan ini, istilah Padang Sappa dimaksudkan untuk ketiga wilayah tersebut oleh karena pertimbangan historis konflik sosial di wilayah tersebut.

Dari sisi keragaman budaya Padang Sappa, asimilasi budaya agraris yang dibawa para pendatang dari pegunungan seperti Basteng dan Toraja serta budaya pedagang yang dibawa orang Bugis cukup memperkaya adat istiadat di kota kecil ini. Sementara penduduk asli yang umumnya bekerja di sektor pertanian adalah komunitas tifikal agraris, fathernal, dan religius formal.

Beberapa kesimpulan penting dalam temuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
·    Kemajemukan agama, budaya dan adat istiadat menjadi potensi besar bagi konflik sosial di Padang Sappa.
·    Paling tidak ada tiga teori yang bisa dijadikan dasar analisis konflik krusial Padang Sappa, teori hubungan masyarakat, teori kebutuhan dasar manusia, teori transformasi konflik dan teori kesalahpahaman budaya. Dalam kasus ini, teori terakhir sangat dominan bekerja memicu konflik ke arah kekerasan di Padang Sappa. 
·    Pemicu utama konflik lebih karena alasan-alasan ekonomi yang berlindung di balik ketidakjelasan status hukum pemilikan lahan tanah.
·    Kalaupun konflik Padang Sappa benar di set up dalam konsfirasi global konflik-konflik sosial di tanah air yang umumnya memperalat agama sebagai mesin perang, maka kasus Padang Sappa adalah contoh kegagalan konsfirasi yang memanfaatkan sensitivitas beragama sebagai pemicu eskalasi konflik yang luas dan panjang.  
·    Model rekonsiliasi yang dikembangkan lebih banyak dilakukan dengan metode-metode pengelolaan konflik tidak resmi seperti mediasi bolak-bolik, pengakuan terhadap lembaga adat, serta mengakomodasi konsensus umum dalam masyarakat.
·    Kelebihan model tersebut memberi ruang yang besar bagi kelompok-kelompok civil society untuk berpartisipasi dalam proses pencapaian resolusi maupun rekonsiliasi konflik.

Penelitian ini menyarankan dibuat formulasi dan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat difungsikan sebagai alternatif policy dalam masalah-masalah sosial di unit pemerintah desa atau kecamatan. Posisi Alternatif policy maker pada pemangkunya bukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah, akan tetapi sebagai mitra yang sejajar dalam melakukan fungsi controling terhadap hubungan sosial kemasyarakatan.***   

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI