Baca dan Pena: Wahyu Pertama, Kenapa?

7 Mei 2014
Baca dan Pena: Wahyu Pertama, Kenapa?

Oleh: Prof. H. Abdurrahman Masud, PhD

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama & Keagamaan

 

Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW dimulai dengan divine command atau perintah illahiyyah, bacalah, iqra. Ayat berikutnya menegaskan dengan pena, al-qalam. Allah SWT mengajar manusia bagaimana dan apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukkan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam. Wahyu Nabi adalah pembebasan dan pencerdasan umat, liberating & civilizing. Ajaran iqra adalah satu seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan jahiliyah moral-intelektual dan membawanya pada peradaban tinggi di bawah petunjuk Ilahi. Hal ini sesuai dengan tesis sarjana Barat nonmuslim, ahli sejarah pendidikan Islam Bayard Dodge yang mengatakan in the midis of this primitive culture, Muhammads call to prophethood was like the planting of a seed, destined to blossom as the intellectual heritage of Islam. Di tengah-tengah budaya primitif ini, ajakan kenabian Muhammad bagaikan penyebaran benih yang ditakdirkan tumbuh berkembang sebagai warisan kecendikiawanan Islam.

Makna penting kegiatan baca dan pena sebagai lambang tulis-menulis dalam wahyu pertama nuzul Alquran ini agaknya sangat elok ditafsiri oleh mufassir (ahli tafsir) rasional Muhammad Asad yang dalam tafsirnya The Messages of the Quran mengatakan sebagai berikut.

Pena digunakan sebagai simbol aktivitas menulis atau lebih spesifik simbol semua pengetahuan yang diabadikan melalui jalan penulisan. Hal ini menerangkan ajakan simbolis bacalah!, pada ayat pertama 1 dan 3. Manusia disebutkan (dalam Alquran) diajari oleh Tuhan sesuatu yang tiada satu orang pun tahu dan sungguh, tidak mungkin tahu dengan cara dirinya sendiri. Yakni, kemampuan unik manusia untuk menyebarluaskan atau meneruskan via tulis-menulis, pikiran-pikiran, pengalaman-pengalaman, dan wawasan dari satu individu ke individu, generasi ke generasi, dan satu lingkungan budaya ke yang lain, memberkahi semua manusia yang terlibat aktivitas ini dengan satu cara atau cara lain, dalam akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan.

Bagi kebanyakan kaum muslim, Alquran itu tidak hanya merupakan buku panduan atau petunjuk, hudan lil muttaqin, tetapi juga sebuah seruan mencari ilmu pengetahuan. Kata, yak qilun, dan yak lamun, yang berarti memikirkan dan memiliki pengetahuan misalnya, begitu banyak terdapat di dalam Alquran. Kata aql dalam berbagai bentuknya bisa ditemukan paling tidak 49 kali di dalam Alquran, sementara itu ilm lebih dari 450 kali. Perhitungan ini didasarkan atas variasi akar kata dari keduanya yang bagaimanapun, semuanya berasal dari dua akar kata tersebut.

Pendidikan sepanjang hayat memiliki nilai tinggi di kalangan kaum muslim. Upaya mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim pria ataupun wanita. Nabi mengatakan, tinta para pelajar setara dengan darah para syuhada di Hari Pembalasan kelak. Dengan demikian, para aktor dalam proses belajar-mengajar, guru dan murid, dipandang sebagai orang-orang terpilih dalam masyarakat dan telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka. Hal ini sejalan dengan ayat Alquran yang mengatakan, Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat memberi peringatan. (Alquran, 9:122).

Dijamin Nabi

Sejalan dengan posisi sentral mereka yang terpelajar atau berilmu, guru berikut para muridnya yang mempelajari Alquran telah dijamin oleh Nabi sebagai sebaik-baik makhluk. Ajaran ini diikuti dengan kecenderungan kuat di kalangan umat Islam untuk mempelajari Alquran selama berabad-abad setelah periode Nabi. Sungguh selama berabad-abad Alquran dan hadis telah menjadi kurikulum inti pendidikan Islam. Kurikulum ini telah memunculkan beberapa disiplin pengetahuan, khususnya ilmu tafsir Quran dan ilmu hadis. Dua ilmu keagamaan ini telah memberi kontribusi dan memperkaya peradaban komunitas agamis atau dalam riset penulis istilahkan the religio-scholarly community in Islam. Kecenderungan ini bisa dilihat dari kenyataan, begitu banyak ilmuwan muslim, mufassirun, muhadditsun, juga muarrikhun atau ahli sejarah yang hidup sejak abad kedelapan dan seterusnya. Bagaimana upaya umat Islam untuk menjaga kemurnian hadis bisa dilihat dari sedemikian rumitnya cara mereka mentransmisikan hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Patut dicatat, mereka yang mempelajari hadis bisa dijumpai tidak hanya pada periode Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w 852 M/1448 H), tetapi juga pada abad ke-19 di Timur Tengah dan Jawa, di bawah bimbingan Mahfuz al-Tirmisi (w 1919).

Sungguh, dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai daripada mereka yang beribadah sepanjang waktu. Kelebihan ahli ilmu, al-alim, daripada ahli ibadah, al-abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas seorang muslim yang paling lemah. Di kalangan kaum muslim hadis ini demikian populer hingga mereka pandang mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah.

Nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut penyebarannya di dalam Islam tidak pernah diragukan. Nabi menjamin, yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberi banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Muhammad telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat mencari ilmu. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi rihla. Suatu tradisi utama yang disebut al-rihla fi talab al-ilm. Pengembaraan dalam rangka mencari ilmu atau dalam istilah modern disebut the spirit of inquiry adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan di kalangan para ulama. Rihla ini mulanya dilakukan oleh mereka yang mempelajari hadis. Kegiatan pengumpulan hadis mendorong Bukhari (w 810) mengembara selama 16 tahun, meninggalkan negerinya di Turkistan, tidak hanya ke Baghdad -pusat pengajaran terbesar pada masanya- tetapi juga ke jantung jazirah Arab Makkah-Madinah dan ke Mesir serta Syria. Meskipun dia menolak ribuan hadis yang dia dengar, pada akhirnya dia menyusun 7.397 hadis dalam karya agungnya Sahih Bukhari.

Rihla, ternyata tidak hanya merupakan tradisi akademis, tetapi juga merupakan syarat utama untuk menuntut ilmu. Imam al-Haramain al-Juwayni (w 1085 M), seorang sunni ahli kalam kenamaan, memberikan kriteria yang melambangkan sebuah tradisi dinamis dalam mencari ilmu pada masa pramodern. Kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam tradisi itu adalah kecerdasan, semangat, hidup dalam kemiskinan, merantau di negeri asing, inspirasi seorang guru, dan sepanjang hayat.

Islam secara mutlak mendorong pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan hingga ke negeri Cina. Ajaran hadis ini relevan dengan situasi Jazirah Arab abad tujuh Masehi dalam rangka mengejar kemajuan peradaban Cina pada saat itu. Cina waktu itu adalah sebuah peradaban tua dan maju. Dengan kata lain, Nabi menyatakan, jauhnya letak suatu negara bukanlah masalah untuk kepentingan unik kemuliaan nilai ilmu pengetahuan.

Perintah baca dari Allah dalam konteks mencari kearifan, wisdom juga mempunyai implikasi membaca fenomena alam dan fenomena sosial dengan segala dinamika yang tidak pernah berhenti. Alam dan lingkungan seharusnya merupakan kelas terbuka untuk aktivitas pembelajaran. Dampak positif dari cara pandang ini adalah alam dipandang sebagai the mother nature, ibu pertiwi. Sebagai ibu yang dihormati setiap anak, haram besar untuk dikotori dengan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab. Lingkungan kita memperlihatkan kenyataan, manusia sering memperlakukan bumi sebagai prostitut dalam rangka pemuasan diri tanpa batas. Inilah yang mengakibatkan bencana dan krisis bangsa berkepanjangan.

 

Sistem pendidikan yang didasari ideologi ini semestinya tidak memanjakan anak hingga anak didik tidak merasa dimanjakan oleh alam. Sejak kecil mereka harus dididik untuk mencintai alam dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab atas pemeliharaannya. Kenyataan yang ada di nusantara yang dikatakan tongkat kayu yang jatuh menjadi tanaman, menandakan manusia sangat dimanjakan oleh alam. Akibat dari pemanjaan ini, anak didik kurang mempelajari fenomena alam. Lebih tragis lagi masyarakat kita sering statis, pasrah, tidak mementingkan waktu karena sangat dimanjakan oleh budaya agraris.

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI