Khittah Pesantren: Mandiri dan Nasionalis

17 Jun 2023
Khittah Pesantren: Mandiri dan Nasionalis
Kaban Suyitno menutup Pelatihan Kemandirian Pesantren Angkatan XXIII-XXIX di Balai Diklat Keagamaan Palembang, Sabtu (17/6/2023

Jakarta (Balitbang Diklat)---Pelatihan Kemandirian Pesantren Angkatan XXIII-XXIX telah resmi ditutup oleh Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Prof. Suyitno di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Palembang, Sabtu, (17/6/2023). Selain diikuti oleh peserta secara offline di tempat acara, penutupan diikuti pula oleh peserta di BDK Semarang secara online. Hadir membersamai Kaban, Kepala BDK Palembang, Saefuddin, dan Kepala BDK Semarang, Muhammad Toha.

Dalam arahannya, Suyitno menekankan pentingnya akuntabilitas penggunaan bantuan yang nanti akan disalurkan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren setelah mengikuti pelatihan ini. “Laksanakan program secara on the tract, yaitu sesuai aturan yang telah ditetapkan. Ibarat kereta api, berjalan beriringan mengikuti jalur yang sudah disediakan, tidak keluar jalur, tidak memilih jalan pintas, dan tidak menempuh jalur lain. Bila itu yang dilakukan, insya Allah salamatan fi al-dunya wa al-akhirah (selamat di dunia dan di akhirat). Tidak ada ruang ijtihad atau tafsir apalagi ta’wil, sesuaikan saja dengan diktum aturan,” tegas Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini.

Di hadapan 276 peserta, Suyitno mengingatkan pentingnya pesantren memegang dua khittah (garis besar perjuangan), yaitu (1) kemandirian dan  (2) nasionalisme. Menurutnya, kedua khittah ini menjadi ciri khas yang tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagaimana historisnya. “Bila ada pesantren yang tidak mandiri atau tidak nasionalis, maka pesantren tersebut sudah keluar dari khittahnya. Pesantren yang keluar dari khittah adalah pesantren yang ahistoris, pesantren yang mengingkari perjalanan sejarahnya sendiri,” ungkap Kaban.

Suyitno selanjutnya mengajak peserta untuk mengejawantahkan nasionalisme dalam bentuk implementasi moderasi beragama di pesantren. “Moderasi beragama bukan agama baru. Moderasi beragama juga bukan memoderasi ajaran agama. Apa yang dimoderasi”, tanya Kaban kepada peserta. “Betul! Yang dimoderasi adalah orangnya, bukan agamanya. Agama tidak bermasalah, agama sudah moderat, tapi orangnya yang bermasalah dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Cara beragama yang ekstrem, tidak toleran, suka mengafir-afirkan orang lain, membidah-bidahkan, itulah yang harus dimoderasi,” terang Kaban.

Menurut Suyitno, kelompok yang tidak moderat itu jumlahnya sedikit, tapi amat berisik, sebaliknya kelompok moderat jumlahnya mayoritas, tetapi amat diam. “Namun, bila yang mayoritas ini terus diam dan tidak menyuarakan moderasi beragama, mereka akan kalah dibanding yang sedikit. Ibarat hutan yang besar bisa terbakar secara hebat hanya dengan api yang kecil dari sepuntung rokok. Untuk itu, sesuai dengan khittahnya, pesantren juga harus turut menyuarakan pentingnya moderai beragama,” pesan tegas Kaban kepada seluruh peserta.

Selanjutnya Suyitno mengelaborasi pentingnya moderasi beragama. “Moderasi beragama penting karena Indonesia dihuni masyarakat multi agama. Heterogenitas Indonesia ini sudah suratan takdir, ini sunnatullah. Kita tidak boleh menolak takdir. Sesuai Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 13, manusia itu diciptakan Allah terdiri dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi secara positif, bukan saling memusuhi. Untuk itulah, dakwah juga harus dilakukan dengan hikmah atau bijaksana, jangan dakwah dengan cara-cara keras dan provokatif. Kesuksesan dakwah Wali Songo hingga bisa meng-Islam-kan tanah Jawa karena menggunakan metode simpatik yang diterima oleh masyarakat,” imbuh Kaban.

Di bagian akhir arahannya, Suyitno mengingatkan kalangan pesantren agar tidak ikut-ikutan politik identitas. Menurutnya, identitas penting. Setiap orang boleh menunjukkan identitasnya. Namun, ketika identitas itu dipolitisasi, seperti memolitisasi identitas suku, agama, ras, dan antargolongan, dapat menimbulkan konflik antar kelompok identitas yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perpecahan antar anak bangsa.

“Pemilu hanya ritual demokrasi 5 tahunan, tapi Indonesia ini harus abadi, tidak boleh terpecah hanya karena pemilu. Tidak boleh pemilu merusak tujuan abadi Indonesia. Karena itu, jauhilah politik identitas yang dapat memecah belah kita. Jaga dan cintai Indonesia karena kita lahir, hidup, dan mati di Indonesia,” pungkas Kaban dengan nada lantang. Kaban selanjutnya memimpin menyanyikan dua lagu wajib nasional, “Indonesia Pusaka” dan “Tanah Airku” diikuti seluruh peserta dengan penuh semangat. (Efa AF/bas/sri)

Penulis: Efa Ainul Falah
Editor: Abas/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI