Maraknya Kekerasan Seksual, Perspektif Kesetaraan dan Keadilan Gender Belum Memadai

4 Mei 2024
Maraknya Kekerasan Seksual, Perspektif Kesetaraan dan Keadilan Gender Belum Memadai
Diseminasi Kajian Kebijakan Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi di UIN Malang, Jumat (4/5/2024).

Malang (Balitbang Diklat)--- Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI Prof. Suyitno menjelaskan bahwa kekerasan seksual di lingkungan kampus umumnya dipicu oleh relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Salah satu contoh modusnya adalah saat mahasiswa sedang dalam proses bimbingan skripsi.

 

“Kekerasan seksual tidak hanya terjadi antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga bisa melibatkan tenaga kependidikan administratif dengan mahasiswa atau antar mahasiswa,” ujar Suyitno secara daring saat memberikan paparan pada Diseminasi Kajian Kebijakan Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Kegiatan merupakan kerja sama antara Balai Litbang Agama (BLA) Semarang dan LPPM UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

 

"Sifatnya eksklusif, bahkan tertutup, dan sulit diproses secara hukum karena korban enggan melaporkannya,” imbuhnya, Jumat (3/5/2024).

 

Selama ini, lanjut Kaban, penanganannya kurang serius dan tidak diikuti dengan tindakan tegas berupa hukuman. Untuk mencegah kekerasan seksual, perlu dilakukan mitigasi terlebih dahulu sebelum membuat instrumen pencegahannya.

 

"Pembuatan instrumen pencegahan kekerasan dapat mengacu pada PMA 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di Lingkungan Kementerian Agama," ungkap Suyitno.

 

Suyitno menekankan lembaga yang menangani bidang ini,  mengalami banyak kendala dalam pencegahan dan penanganannya. Bagi kampus yang telah memiliki lembaga yang fokus pada Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), PMA 73 tahun 2022 dapat menjadi landasan hukum untuk memperkuat keberadaan lembaganya.

 

"Melalui kegiatan ini, Balitbang Diklat melakukan sosialisasi terhadap PMA 73 tahun 2022, agar seluruh warga kampus memahami regulasi pencegahan kekerasan seksual,” pungkasnya.

 

 

Perspektif Kesetaraan dan Keadilan Gender Belum Memadai

 

Komisioner Komnas Perempuan Prof. Alimatul Qibtiyah mengatakan salah satu penyebab kekerasan seksual adalah adanya perspektif kesetaraan dan keadilan gender yang belum memadai. Tidak mengherankan bahwa kekerasan seksual masih menjadi permasalahan yang merajalela di masyarakat dan lingkungan kampus.

 

"Kami membutuhkan upaya yang terukur untuk melakukan advokasi penghentian kekerasan seksual di perguruan tinggi," ujar Qibtiyah.

 

Qibtiyah menjelaskan bahwa ada lonjakan jumlah laporan korban pada institusi yang menaunginya. Hal tersebut menandakan korban mulai mempercayai institusi yang serius dalam menangani kasus kekerasan seksual; baik dalam penegakan hukum terhadap pelaku maupun dalam mendukung pemulihan dan perlindungan korban.

 

“Keberhasilan penanganan kekerasan seksual tidak hanya ditandai oleh penurunan jumlah laporan kasus, tetapi juga oleh peningkatan dalam penanganan kasus dengan keadilan yang seimbang,” ungkap Qibtiyah.

 

Qibtiyah mengapresiasi kampus yang sudah memiliki satgas kekerasan seksual. Berdasarkan data yang ia peroleh, 100% perguruan tinggi negeri telah mempunyai satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), sekitar 808 PTS, dan 50 PTK pun sudah punya komitmen untuk memiliki satgas tersebut.

 

“Satgas-satgas ini membutuhkan dukungan dari para pemangku kebijakan kampus, agar dalam menangani kasus terhindar dari intervensi,” imbuh Qibtiyah.

 

Senada dengan hal tersebut, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Umi Muzayanah, mengungkapkan bahwa pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum bagi warga kampus dari kekerasan seksual. Namun, penegakan hukum mengalami hambatan karena kurangnya kerja sama dari korban yang mungkin disebabkan malu jika aib terpublikasi atau adanya tekanan.

 

"Para korban kekerasan seksual mengalami trauma secara psikologis, sehingga diperlukan upaya pemulihan baik dalam jangka pendek maupun panjang, baik secara individu maupun dengan bantuan orang lain," kata Umi.

 

Umi menyampaikan bahwa pada tahun 2023, timnya telah melakukan penelitian tentang kekerasan seksual di kampus. Berbagai modus kekerasan seksual terungkap berdasarkan data kualitatif yang dikumpulkan dari dosen, tenaga pendidik, mahasiswa senior, dan pacar.

 

Modus tersebut antara lain seperti memanfaatkan tugas kuliah, bimbingan skripsi, janji nilai, penelitian, asisten pribadi untuk tugas di kampus, memberikan bantuan layanan akademik, dan bentuk lain dari eksploitasi emosional.

 

"Dari banyak kasus yang terungkap, perempuan lebih sering menjadi korban karena dianggap sebagai kelas kedua (second class). Sebagai 'second class', perempuan dianggap tidak pantas untuk berperan di ranah publik," tandas Umi.

 

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Istiadah memaparkan mengenai pencegahan kekerasan seksual di kampus. UIN Malik Ibrahim Malang telah membentuk satuan tugas Penanggulangan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS). Satuan tugas ini bertanggung jawab untuk mendampingi korban dalam pemulihan psikologis, kondisi mental, dan aspek pengawalan lainnya.

 

“Terbentuknya satuan tugas PPKS menunjukkan keseriusan kami dalam melawan kekerasan seksual di kampus. Siapapun yang terbukti melakukan tindakan tersebut, akan diproses secara hukum,” tegas Istiadah.

 

Istiadah juga mengatakan bahwa pengurus satuan tugas PPKS tidak hanya terdiri dari dosen, tetapi juga melibatkan mahasiswa. Hal itu bertujuan agar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat dilakukan sejak dini.

 

"Keterlibatan mahasiswa dalam satuan tugas PPKS memiliki peran penting, mereka bertugas melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual kepada sesama mahasiswa dan melalui media sosial," tandas Istiadah.

 

(Fathurrozi/diad)

Penulis: Fathurozzi
Sumber: BLA Semarang
Editor: Dewi Indah Ayu/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI