Menelaah Peran Participatory Action Research dalam Kurikulum Merdeka

14 Des 2023
Menelaah Peran Participatory Action Research dalam Kurikulum Merdeka
Kartika Metafisika, Mahasiswa Program Studi S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Oleh:

Kartika Metafisika

Mahasiswa Program Studi S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Awardee Beasiswa Indonesia Bangkit Kemenag LPDP 2023

 

Setelah dikejutkan dengan hasil studi PISA 2022, saat ini kita mencoba untuk menelaah apa yang dihadapi para guru untuk beradaptasi dengan Kurikulum Merdeka, yakni melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi. 

Pembelajaran berdiferensiasi saat ini populer seiring dengan sosialisasi Kurikulum Merdeka. Tidak semata-mata konsep tersebut muncul seiring dengan perkembangan tren di dunia pendidikan, tetapi juga sebagai landasan filosofis Kurikulum Merdeka, bahwa pembelajaran harus berpihak kepada perkembangan peserta didik bukan untuk mengejar target kurikulum.

Meskipun Kurikulum Merdeka dirumuskan untuk mengakomodasi kondisi darurat masa pandemi, justru dari masa pandemi itulah dunia pendidikan di Indonesia disadarkan bahwa kesiapan setiap daerah berbeda-beda.

Sarana prasarana (sarpras) sekolah dan madrasah yang ada di Jakarta tentu berbeda dengan kondisi di Nabire Papua. Jangankan sarpras, karakteristik masyarakat dan individu tiap daerah juga berbeda sehingga dibutuhkan sudut padang baru dalam melihat kebutuhan belajar peserta didik yang beraneka ragam kebutuhannya di berbagai tempat.

 

Pembelajaran Berdiferensiasi

Pembelajaran berdiferensiasi digagas oleh seorang pakar edukasi untuk anak berbakat Prof Dr. Carol Tomlinson. Ia juga menjabat sebagai Kepala Bidang Kepemimpinan, Yayasan, dan Kebijakan Pendidikan Curry School of Education di Universitas Virginia.

Menurutnya, pembelajaran berdiferensiasi adalah proses pembelajaran yang sesuai dengan kesiapan, kemampuan, kesukaan, dan kebutuhan masing-masing peserta didik. Tujuannya agar pembelajaran terasa menyenangkan dan memberikan rasa mampu (baca:efikasi diri) bagi peserta didik dalam pengalaman belajarnya untuk mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. 

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka guru harus menyadari bahwa terdapat beragam strategi untuk mencapai tujuan yang tidak secara seragam diterapkan kepada seluruh peserta didik, tetapi mengacu pada karakteristik masing-masing peserta didik. Hal itu berimplikasi pada bagaimana guru memberikan pilihan-pilihan kepada peserta didik dari aspek konten, aspek proses, dan aspek produk pembelajaran. 

Hal yang menentukan pilihan adalah observasi awal peserta didik guna mengetahui minat, bakat, kesukaan, hobi, gaya kognitif, dan pengetahuan awal mereka. Semakin guru memahami peserta didiknya, maka guru semakin dapat membangun rasa percaya bahwa peserta didik memiliki kemampuan untuk bertumbuh sesuai fitrah masing-masing.

Melalui hasil observasi awal, guru dapat memetakan karakteristik peserta didik di kelasnya untuk menentukan pilihan strategi yang tepat dalam pembelajaran kompleks dengan mengintegrasikan berbagai mata pelajaran. 

Sebagai contoh, penerapan model pengembangan pembelajaran berdiferensiasi di SMP Negeri 20 Tangerang Selatan. Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi dilakukan berbasis proyek terintegrasi 8 mata pelajaran dalam satu tema besar.

Pada pelaksanaannya, guru dapat memodifikasi konten pelajaran sesuai dengan minat peserta didik, memberikan pilihan cara kepada peserta didik untuk menyelesaikan tantangan dalam proses pembelajaran, serta memberikan pilihan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Pilihan-pilihan ini akan mengasah bakat minat peserta didik sambil menguasai pengetahuan sesuai arahan kurikulum. 

Tidak seperti Kurikulum 2013 (Kurtilas) yang sudah diatur oleh pemerintah, pada Kurikulum Merdeka terjadi dalam sistem pembelajaran berdiferensiasi yang dicontohkan di SMP negeri 20 Tangerang Selatan. Saat itu, pembelajaran SMP didesain secara tematik dan memberikan pilihan-pilihan kepada peserta didik terkait konten dalam bentuk konteks yang ingin dipelajari sebagai upaya pemahaman konsep.

Selain itu, cara pembelajaran pun diserahkan kepada peserta didik. Mereka diperkenankan untuk memilih cara dalam memahami dan menyelesaikan masalah. Bisa secara berkelompok atau bisa pula sendiri-sendiri sesuai dengan preferensi belajar masing-masing.

Terakhir, produk yang dihasilkan akan diserahkan kepada peserta didik masing-masing. Mereka dapat mengomunikasikan hasil penemuan mereka dalam bentuk presentasi, tulisan yang dimuat di surat kabar, atau konten Youtube. Penekanan diferensiasi adalah bagaimana peserta didik diberikan kesempatan memilih sesuai dengan cara yang mereka sukai agar mereka memiliki rasa mampu terhadap tugas yang diberikan. 

Pengembangan kurikulum berpusat pada satuan pendidikan. Oleh karena itu, agar pembelajaran berdiferensiasi dapat dilakukan, maka dibutuhkan iklim kolaborasi yang baik antar guru untuk saling bertukar pikiran dan berinovasi.

Guru-guru juga dituntut untuk senantiasa mencari ilmu untuk beradaptasi dengan karakteristik peserta didik yang beragam dan berubah setiap tahun ajaran. Guru juga diharapkan beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan informasi agar proses perencanaan hingga evaluasi dapat dilakukan dengan mudah dan lebih efisien.

Dengan adanya pembelajaran berdiferensiasi, profesi guru membutuhkan upgrade ilmu secara terus menerus. Guru bukan lagi sebagai pengajar tetapi sebagai desainer lingkungan belajar.  

 

Peran Perguruan Tinggi Menghadapi Perubahan Paradigma Pembelajaran Berdiferensiasi

Jika dulu Kampus Pendidikan atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi pionir perubahan hingga mampu memengaruhi kebijakan pemerintah, maka saat ini LPTK harus beradaptasi dengan disrupsi yang terjadi di dunia pendidikan sebenarnya. 

Posisi LPTK bukan hanya lembaga yang serba tahu, tetapi juga harus mau belajar dari para guru yang cepat beradaptasi dengan perkembangan sistem. Atau lebih mampu mengikuti perubahan dibandingkan dengan dosen-dosen LPTK itu sendiri. 

Jangan sampai ada jurang komunikasi antara para praktisi dengan akademisi sehingga kajian-kajian pendidikan hanya menghiasi dan memenuhi perpustakaan saja.  

Ilmu pendidikan adalah ilmu terapan yang perlu adaptif terhadap perubahan di masyarakat. Pengembangan kurikulum memerlukan landasan sosiologis dan psikologis yang dinamis mengikuti dinamika peradaban.

Jika di masa lalu guru-guru yang mengajar mendapatkan pengalaman belajar dari guru sebelumnya sesuai zaman, maka saat ini mereka harus beradaptasi dengan banyak hal seperti karakteristik masyarakat, peradaban, kemajuan ilmu psikologi pendidikan, serta kemajuan teknologi yang dapat memengaruhi peserta didik belajar.

LPTK perlu menciptakan calon-calon pendidik yang adaptif dengan perubahan di masa depan. Ini artinya bukan hanya mengajarkan apa yang diketahui saat ini, tetapi juga memberikan kesempatan kepada para calon pendidik untuk terbiasa dengan perubahan.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) perlu dikonsepkan sebagai upaya dalam melakukan penelitian transformatif, bukan sebagai mata kuliah praktik semata. Dengan memanfaatkan momen KKN dan PPL sebagai upaya melaksanakan penelitian bersama dengan dosen, mahasiswa dapat belajar beradaptasi di dunia kerja sambil berkontribusi dalam menyelesaikan masalah yang ada di satuan pendidikan. 

 

Metodologi Penelitian Pengabdian Masyarakat

Participatory Action Research (PAR) merupakan penelitian transformatif untuk melakukan perubahan di masyarakat. PAR menjadi pendekatan penelitian yang diterapkan pada kegiatan KKN.

PAR juga telah disosialisasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama sebagai metodologi penelitian dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat agar dapat mentrasformasikan budaya dan sosial.

PAR adalah upaya agar masyarakat dapat membebaskan diri dari tirani dan berdikari memberdayakan diri demi kebaikan bersama. Filosofi serta pendekatan yang digunakan dalam PAR sangat cocok dengan Kurikulum Merdeka yang ingin memerdekakan para guru untuk mendesain pembelajaran secara mandiri demi memenuhi kebutuhan belajar peserta didiknya.

Mengutip Steven Jacobs (2016) dalam artikel “The Use of Participatory Action Research within Education-Benefits to Stakeholders” berpendapat bahwa melalui PAR pengalaman guru dan siswa menjadi pusat kebijaksanaan dan memposisikan mereka sebagai arsitek penelitian, bukan sebagai obyek penelitian.

Budaya sekolah berdasarkan prinsip PAR seperti partisipasi, kolaborasi, dan hubungan non-hierarki dapat mendorong peningkatan pertumbuhan dan penemuan. Pada KKN dan PPL peran dosen adalah membangun budaya tersebut serta berkontribusi menyosialisasikan kajian-kajian akademis di perguruan tinggi ke tingkat satuan pendidikan sesuai kebutuhan para guru dan peserta didik.

Dengan demikian, program pengabdian kepada masyarakat sebagai kewajiban Tridarma para dosen harus berdampak kepada satuan pendidikan. Pembelajaran berdiferensiasi melalui PAR dapat dicapai secara radikal melalui pendampingan dalam program KKN dan PPL mahasiswa. Pada proses ini pula mahasiswa bertumbuh menjadi calon pendidik yang adaptif terhadap perubahan masa depan, disertai tuntutan-tututan profesional yang menyertainya.

Kartika/diad

Penulis: Kartika Metafisika
Sumber: -
Editor: Dewi Indah Ayu
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI