Menjunjung Nilai Moderasi Beragama dalam Pemilu 2024

26 Jan 2024
Menjunjung Nilai Moderasi Beragama dalam Pemilu 2024
Kepala Pusat Litbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Mohamad Isom.

Jakarta (Balitbang Diklat)---Pemilu saat ini merupakan momen signifikan untuk menguji keseimbangan relasi antara agama dan negara. Momentum ini pada akhirnya menuntut pendekatan moderat untuk menjaga keberagaman dan menciptakan ruang inklusif dalam dinamika politik yang semakin memanas. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi landasan yang esensial untuk memastikan bahwa pemilu mencerminkan nilai-nilai keadilan, toleransi, dan persatuan. 

 

Bagaimana sejauh ini peran moderasi beragama di pemilu 2024, terutama pada 14 Februari mendatang? Dapatkah moderasi beragama membuka pemahaman masyarakat tentang perlunya menjaga sikap toleran dalam pemilu? 

 

Beberapa pertanyaan yang relevan dapat diajukan, terutama bagaimana memilih pemimpin dalam pemilu yang akan segera digelar. Dalam relasi tersebut, moderasi beragama diharapkan mampu menjadi nilai yang memayungi masyarakat dalam melakukan pilihannya. 

 

Kepala Pusat Litbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. Mohamad Isom, M.A memberikan pandangan-pandangannya tentang tema tersebut dalam sebuah sesi wawancara dengan Bheri Hamzah (Radio Elshinta dalam acara Talk Highlight) pada Rabu (24/1/2023). 

 

Wawancara ditulis dan diedit oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag/Kasubtim Bina Akademik pada PTU Direktorat PAI).  

 

Pemilu dan moderasi beragama, ini merupakan tema yang sangat menggelitik dan memancing keingintahuan kita rasanya. Kalau kita tarik dan mungkin bisa dijelaskan seperti apa konteksnya, Prof?

 

Terima kasih. Ini gayung bersambut sebenarnya. Pada tahun 2023 itu ada Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Di dalamnya pemerintah memberikan amar, memberikan amanah, agar supaya kita bangsa Indonesia bisa menerapkan nilai-nilai moderasi beragama. Adapun kaitannya dengan pemilu, pemilu ini merupakan pesta demokrasi yang harus disambut dengan gembira. Kita sebagai umat beragama, mayoritas di Indonesia adalah umat beragama, harus (mampu) mengembangkan nilai-nilai yang seimbang dalam pesta demokrasi bangsa Indonesia.

 

Kita harus mengembangkan nilai-nilai yang seimbang dan moderat dalam menciptakan dan melandasi kegiatan pemilu yang mungkin akhir-akhir ini intensi dinamika politiknya sangat luar biasa. Kita perlu menciptakan ruang-ruang moderat, ruang-ruang inklusif, agar supaya kita bisa toleran dengan pilihan-pilihan yang berbeda, preferensi-preferensi politik yang berbeda, supaya kita tetap menuju kepada tujuan yang sejati. Tujuan sejati itu adalah kita ingin menciptakan Indonesia negara yang aman, yang adil, dan sejahtera yang kemudian kita semua sebagai bangsa Indonesia dan sebagai umat beragama bisa hidup nyaman, tentram, dalam bingkai negara kesatuan yang berbeda. 

 

Jadi, moderasi beragama bisa menjadi landasan esensial untuk toleransi dalam proses pemilihan umum, bisa menjadi landasan esensial untuk persatuan, dan juga menjadi landasan untuk pemilu yang berkeadilan. Dengan moderasi beragama kita tidak saling menciptakan hoaks dan tidak saling menyandera. Kita tidak boleh serta-merta kemudian membabi buta membela pilihan kita dalam konteks memilih pemimpin, entah itu legislatif, partai politik, atau misalnya terkait dengan pilpres.

 

Dengan moderasi beragama itu, kita ingin menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kerukunan dalam intern umat beragama. Yang seagama (intern) itu pun banyak paham, banyak aliran, banyak perbedaan pandangan. Kita juga harus rukun, lalu yang ketiga, ini yang menjadi momentum signifikan untuk menguji relasi agama dan negara, yaitu kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Artinya, umat beragama yang ada di Indonesia harus men-support program-program pemerintah utamanya pemilu yang merupakan wahana untuk demokrasi rakyat Indonesia, wahana untuk menciptakan kekuasaan rakyat untuk menjadi panglima di negara kita.

 

Pemilu merupakan pesta untuk rakyat yang harus bersikap seimbang, toleran, dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.

 

(Melalui sarana online dan tanggapan via medsos, pewawancara mempersilakan jika ada pertanyaan dari pemirsa. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang disarikan dari yang disampaikan di sesi pertanyaan terbuka tersebut)

 

Apakah ada kerentanan yang terjadi jika moderasi beragama ini tidak kita jalankan nantinya?

 

Tentu. Kalau nanti misalkan kita terlalu fanatik buta dalam pilihan-pilihan politik tanpa dilandasi dengan nilai-nilai toleransi dan nilai-nilai kebhinekaan tentu kita tidak ingin terulang pada peristiwa-peristiwa tahun lalu yang (penuh dengan nuansa) segregatif yang sangat mengkhawatirkan. Saat ini, menurut penelitian dari BRIN, menyatakan bahwa politik identitas untuk sekarang, dalam masa-masa pemilu ini, lagi tidur. 

 

Tidak ada istilahnya gejolak yang memunculkan politik identitas sentimen-sentimen keagamaan. Kalau ada pasti akan dicubit sama masyarakat karena masyarakat sudah punya kesadaran akan perlunya nilai-nilai moderasi beragama, toleransi, saling menghargai, saling menghormati, saling asih dan saling asuh antarsesama anak bangsa.

 

Walaupun preferensi politiknya berbeda, akhirnya kita bareng (sebagai) bersaudara. Jangan sampai kemudian yang di atas ngopi-ngopi bareng, duduk-duduk bareng, tertawa, salaman tetapi yang di bawah tidak bisa rukun, kagetan, dan lain sebagainya. Hal ini tentu tidak kita harapkan. Oleh karena itu, nilai-nilai moderasi beragama yang mengandaikan kita harus toleran, kita harus saling menghormati, menghargai, saling asli, saling asih antarsesama perlu menjadi elan vital dalam proses pemilu yang sedang kita jalani ini. 

 

Pilihan-pilihan itu seperti di pesta pernikahan. Mau memilih makan apa kan itu menjadi kegembiraan kita, semua jadi pilihan-pilihan itu tentu harus dilandasi dengan nilai moderasi beragama biar seimbang. 

 

Artinya, seimbang itu fanatisme buta yang harus diseimbangkan dengan rasionalitas. Dalam memilih tentu harus kita melihat jangan hanya fanatik saja --istilahnya bahasa Jawanya pokoe-- tetapi harus dilihat program dan misinya apa. Jadi kita sudah mulai harus berdewasa dalam berdemokrasi dan berpolitik. Saya kira ini bagus untuk menjadikan landasan pokok dalam proses pemilu yang sedang kita lalui 

 

Memang harus selayaknya begitu lah bangsa Indonesia. Jadi kita ini kan sudah ditakdirkan, bukan pilihan kita untuk menjadi berbeda-beda suku, berbeda-beda agama, berbeda bahasa, berbeda daerah dan juga mungkin berbeda partai. Berbeda pilihan itu hal yang biasa. Yang terpenting kita harus mengingat pada tujuan yang sebenarnya, bahwa kita sudah berkomitmen dalam berbangsa dan bernegara, dengan dasar Pancasila, kita ingin menciptakan, ingin mewujudkan bangsa yang adil makmur, Indonesia emas, Indonesia yang bermartabat, Indonesia yang maju, Indonesia yang berkeadilan. 

 

Saya kira itu yang harus menjadi pedoman kita dalam proses pemilu. Itu hal yang harus kita lalui tetapi harus mengingat kepada tujuan akhirnya, tujuan yang utama. Jadi, memang kadang-kadang hal ini melibatkan perasaan. Ketika ada propaganda, yang kemudian berubah menjadi fanatisme buta, akhirnya terjadi perselisihan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya berbeda itu hal yang biasa saja.  

 

Coba kita lihat saja para capres cawapres, setiap debat seterusnya salaman, senyum-senyum, dan berangkulan. Itu asik sih sebenarnya kalau di masyarakat juga bertindak sama namun harus dilandasi dengan kejujuran dan keadilan. Jangan berbeda antara panggung depan dengan panggung belakang. 

 

Kita bisa melihat rekam jejak calon pemimpin kita di semua media yang ada tentang bagaimana rekam jejaknya, riwayat hidupnya, bagaimana prestasi ketika memimpin atau berada di satu jabatan, dan bagaimana juga program-program yang akan dijalankan visi-visinya.

 

Kalau hanya visi-visi yang tertuang dalam kertas, tapi kita belum tahu apakah nanti bisa menjalankan atau tidak, maka kita harus berkaca kepada rekan-rekannya selama dia memimpin, bagaimana, apakah berprestasi, apakah tidak ada masalah, dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Jadi, saya kira bangsa Indonesia sudah mulai menjadi bangsa yang sudah bisa memilah dan memilih mana yang baik, mana yang benar, mana yang antara panggung belakang dan panggung depan itu berbeda. 

 

Maksudnya, misalnya anak-anak milenial gen Z, generasi Z dan anak-anak milenial itu sekarang sangat luar biasa. Mereka sudah bisa mengeksplor bagaimana pemimpin-pimpin kita. Sesungguhnya anak-anak sekarang itu sudah cerdas, sudah bisa memilah dan memilih dan bisa merasionalkan pilihan-pilihannya. Hanya saja, jangan sampai anak-anak gen Z dan generasi milenial itu teracuni dengan politik uang, misalnya. Kita harus muncul di berbagai media untuk menolak politik uang, tolak apapun yang berbau mempengaruhi pilihan kita yang tidak berdasarkan rasionalitas. 

 

Sikap moderat itu mengandaikan kita harus mampu menjadi wasit yang bagus, menjadi pemilih yang bijak, yang menggunakan rasionalitas yang terukur. Itulah yang menjadi landasan kita.

 

Bagaimana ciri-ciri pemimpin yang jujur dan amanah sekarang ini?

 

Saya sangat bersyukur sekali dan mengucapkan alhamdulillah di masyarakat kita sekarang sudah sangat cerdas, sangat bijak, dan sangat bisa memilih dan menikmati sesuatu dengan rasional. Tadi sudah disampaikan bahwa moderasi beragama untuk sesama umat beragama dan di dalam umat beragama atau internumat beragama itu sudah selesai, sudah tidak ada riak-riak yang muncul di permukaan. Sekarang tugas kita adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan, kemaslahatan umum, menciptakan toleransi dan menghargai tradisi dan budaya serta kearifan lokal yang sudah ini kita bawa ke dalam pesta demokrasi yang akan kita hadapi. Silakan masyarakat memilih untuk menciptakan keadilan, untuk menciptakan toleransi dan persatuan kita dalam berbangsa dengan negara dilandasi dengan nilai-nilai moderasi beragama. Di dalam pemilu nantinya kita harus menyeimbangkan relasi antara umat beragama atau warga negara Indonesia dengan negara dalam proses demokrasi ini dengan rasionalitas, dengan kewarasan berpikir, dengan kebijaksanaan, dan dengan hati nurani. 

 

Jadi ini untuk menepis orang-orang yang fanatik buta untuk menepis pemimpin-pemimpin yang mempolitisasi agama dengan isu-isu yang tidak benar, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang adiluhur.

 

Saya kira seluruh bangsa Indonesia sudah punya kewarasan berpikir untuk memilih mana yang merupakan panggung depan, mana panggung belakang. Generasi-generasi sekarang itu sudah bisa mencermati nilai-nilai pemilu yang nantinya harus menjunjung kejujuran, keadilan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Nanti kita akan berbondong-bondong ke tempat pemilihan untuk menggunakan hati dan rakyat kita, untuk menggunakan rasionalitas kita, demi toleransi, demi persatuan, dan demi Indonesia yang berkeadilan. 

 

 

Pemilu tinggal beberapa hari. Apa dan bagaimana sikap yang patut ditumbuhkan bersama?

 

Sikap-sikap yang sudah bagus harus diteruskan, harus dilekatkan dalam proses-proses berdemokrasi yang akan kita jalani. Perlu disampaikan kepada para generasi milenial, dengan generasi Gen Z, ayo ikuti dan saksikan debat-debat yang ada. Kita masih memiliki akses rekaman-rekaman di youtube-youtube yang dapat dilihat rekam jejaknya, diperhatikan antara omong-omongannya dengan perbuatannya. Saya kira dengan kewarasan berpikir, dengan rasionalitas yang tinggi dan hati nurani yang jernih dipakai, insya Allah masyarakat kita yang sudah cerdas akan memilih pemimpin yang benar-benar menjadi harapan kita. 

 

Ke depannya nanti orang-orang yang berbeda itu disikapi dengan bijak, dengan toleransi yang tinggi, toleransinya harus toleransi aktif, bukan toleransi pasif. Kalau toleransi pasif, kita diamin aja, yang tidak benar kita diamin kita nggak punya pendapat. Jadi toleransi aktif kita harus memperjuangkan nilai-nilai yang mulia demi terciptanya tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanah konstitusi yang ada. 

 

Yang penting jangan cepat terpengaruh dengan politik uang, dengan politik-politik yang menonjolkan sifat materialistis, tetapi kemudian menghilangkan idealitas yang kita miliki. Kekuatan berpikir kita menjadi hilang karena pengaruh-pengaruh materialistis yang diciptakan. Nah ini harus kita lawan. Ini tidak sesuai dengan nilai-nilai moderasi beragama.

   

 

Penulis: Moh Isom
Sumber: Moh Isom
Editor: Barjah dan Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI