Menag: Wacana Nasionalisme Belum Berakhir
Bogor (18 Juli 2017). Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan istilah “nasionalisme” masih menjadi perdebatan di kalangan sarjana, politisi maupun negarawan, baik terkait makna dasarnya maupun karakteristiknya.
Pernyataan tersebut disampaikan saat memberikan sambutan pada acara The Second International Symposium on Religious Literature and Heritage (2nd ISLAGE) yang diselenggarakan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat, bertempat di Lor International Hotel Sentul, (18/7).
Simposium ini dihadiri para pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama serta para peneliti di lingkungan Badan Litbang dan Diklat. Tampil sejumlah narasumber, baik dari dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya, Menteri Agama menegaskan bahwa sejarah wacana perpolitikan mencatat istilah “nasionalisme” sejak pertama kali dipopulerkan pada akhir abad 18-an hingga abad 21, belum memiliki arti yang terumuskan secara definitif dan disepakati semua pihak. Oleh karena itu, “konsep nasionalisme dan implikasinya hingga kini masih dalam perdebatan tanpa henti, “ungkapnya.
Namun, kata Menteri Agama, seiring dengan perjalanan waktu, istilah nasionalisme yang pada awalnya dikonsepsi sebagai bentuk rasa kepemilikan, loyalitas, dan kebanggaan serta pengakuan sosio-politis atas negerinya, dikarenakan kesamaan wilayah tempat kelahiran, ras, suku, budaya, bahasa, dan ciri lainnya, kini telah mengalami perubahan secara signifikan ke dalam perbedaan pemahaman maknanya.
Menurut Menteri Agama, konsep nasionalisme awal yang disebut dengan “negara bangsa” (nation-state), kini telah mengalami perubahan ke dalam pengertian dan interpretasi lain yang sangat berbeda dengan makna sebelumnya. Nasionalisme sebagai ideologi moderen dikonsepsikan berdasarkan premis bahwa loyalitas, kebanggaan, semangat, dan pengabdian individu kepada bangsanya mengatasi segala kepentingan lain. Nasionalisme menjadi ideologi politik yang diorientasikan untuk memperoleh, mempertahankan, dan memperkuat pemerintah secara mandiri dengan penuh otoritas atas teritori sejarah, budaya dan politiknya sebagai “tanah air”. “Nasionalisme dibangun, dikembangkan, dan dikonstruksi berdasarkan keyakinan politik dan pengakuan, dan kesadaran kolektif bersama akan kesamaan entitas politik dan budaya warganya, “ujarnya
Formula politik ini, kata Menteri Agama, melahirkan berbagai bentuk nasionalisme seperti nasionalisme chaovinistik, nasionalisme etnosentrik, nasionalisme keagamaan, dan nasionalisme demokratis. Untuk itulah, “selama dua dekade, bentuk nasionalisme berbasis entitas primordial tumbuh subur dan hidup di sebagian negara di dunia. Masing-masing negara dihuni oleh warga negaranya yang bangga akan kesamaan latar belakang entitasnya. “tegasnya. (bas)