Hijrah Ekologis: Menanam Harapan di Tahun Baru Islam

Moch. Muhaemin
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Setiap tanggal 1 Muharam, umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah. Peringatan ini bukan sekadar pergantian kalender, melainkan sarat makna spiritual. Hal ini merujuk pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah itu sendiri bukan hanya soal perpindahan secara geografis, tetapi juga mencerminkan transformasi sosial, budaya, dan spiritual menuju tatanan masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan harmonis.
Di era modern, ketika krisis lingkungan semakin mengkhawatirkan, makna hijrah perlu kita tafsirkan kembali. Bukan lagi sekadar berpindah tempat, melainkan sebagai ajakan untuk meninggalkan gaya hidup yang eksploitatif terhadap alam dan beralih menuju pola hidup yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks ini, tampaknya kita membutuhkan hijrah ekologis, sebuah perjalanan spiritual untuk meraih keselarasan dengan alam dan Sang Pencipta.
Hijrah yang dilakukan Nabi terjadi dalam kondisi penuh tekanan, ketakutan, dan ancaman, namun mengandung harapan akan lahirnya dunia baru yang lebih baik. Hari ini, tantangan yang dihadapi umat Islam memang berbeda, tetapi urgensinya tak kalah genting, yakni krisis iklim global. Fenomena seperti gelombang panas ekstrem, banjir besar, kekeringan berkepanjangan, deforestasi, pencemaran udara dan air, hingga ancaman kepunahan keanekaragaman hayati menjadi sinyal bahwa bumi kita dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Hijrah Ekologis
Konsep hijrah ekologis lahir dari kesadaran bahwa keberagamaan yang otentik tak boleh tercerabut dari kepedulian terhadap lingkungan. Dalam ajaran Islam, manusia dipercaya sebagai khalifah fil-ardh, wakil Tuhan di muka bumi. Amanah ini bukan sekadar kehormatan, melainkan tanggung jawab untuk menjaga, bukan mengeksploitasi, ciptaan-Nya.
Sayangnya, relasi antara iman dan alam kerap terputus dalam praktik keagamaan kita. Rumah-rumah ibadah yang semestinya menjadi pusat kesucian dan keberlanjutan justru sering kali ikut menyumbang sampah dan jejak karbon. Kita dapat melihat, setiap perayaan keagamaan yang seharusnya menjadi momentum penguatan nilai-nilai spiritual, justru berujung pada konsumsi berlebihan dan pencemaran lingkungan.
Di sinilah ekoteologi muncul sebagai pendekatan teologis yang menempatkan lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari pengalaman beragama. Menurut Lora Stone (2020), ekoteologi adalah refleksi keagamaan dalam konteks krisis ekologi yang mendorong umat beriman untuk membumikan ajaran spiritual dalam menjaga alam. Merusak lingkungan, dalam perspektif ini, bukan hanya pelanggaran etika, tetapi pengkhianatan terhadap amanah Ilahi.
Tradisi agama-agama sesungguhnya telah menyimpan nilai-nilai ekologis yang mendalam. Teologi penciptaan dalam Kristen memandang bumi sebagai wujud kasih Tuhan. Dalam Hindu, ajaran Tri Hita Karana menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Kearifan lokal Nusantara pun sarat dengan pesan ekologis, dari filosofi pohon beringin dalam budaya Jawa hingga pelestarian hutan adat oleh masyarakat Dayak dan Baduy.
Namun, semua nilai luhur itu hanya akan menjadi simbol jika tidak diwujudkan dalam tindakan konkret. Tahun Baru Islam adalah kesempatan untuk memulai hijrah ekologis yang dapat dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengurangi sampah plastik, menanam pohon, menghemat energi, hingga menjadikan tempat ibadah sebagai ruang edukasi dan praktik keberlanjutan.
Peran Strategis Kementerian Agama
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang religius, pendekatan berbasis nilai keagamaan menjadi kunci perubahan perilaku. Narasi cinta lingkungan akan lebih efektif jika dikemas dalam bahasa iman yang akrab dengan keseharian masyarakat. Dalam konteks ini, Kementerian Agama (Kemenag) memiliki peran strategis sebagai katalis perubahan.
Melalui program Asta Protas Kemenag Berdampak 2025–2029, Kemenag mulai mengarusutamakan ekoteologi dalam kebijakan publiknya. Salah satu pilar program ini adalah Penguatan Ekoteologi, yang antara lain diwujudkan melalui Surat Edaran Sekretariat Jenderal Kemenag Nomor 182 Tahun 2025 tentang Gerakan Penanaman Satu Juta Pohon Matoa di seluruh satuan kerja dan lingkungan binaan Kemenag.
Tak berhenti di situ, dalam pelantikan 17.221 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan 71.336 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) formasi 2024, seluruh peserta diwajibkan menanam pohon sebagai bentuk partisipasi dalam gerakan ekoteologi (kemenag.go.id). Ini bukan sekadar simbolisasi, melainkan representasi nilai. Menanam pohon adalah tindakan yang sarat makna: menanam komitmen, integritas, dan menumbuhkan kesabaran, Nilai-nilai yang penting tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi birokrasi yang bersih dan berkeadaban.
Langkah ini patut diapresiasi karena menyentuh akar persoalan. Krisis ekologi sejatinya adalah krisis moral. Dan moralitas hanya dapat dibangun jika nilai-nilai spiritual tidak berhenti pada ritus, tetapi diwujudkan dalam tindakan.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda. “Jika terjadi hari kiamat, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah” (HR. Bukhari dan Ahmad). Hadis ini bukan hanya ajakan ekologis, melainkan juga manifestasi harapan dan tanggung jawab. Bahkan di ambang kehancuran dunia, upaya menjaga kehidupan tidak boleh berhenti.
Untuk menjaga bumi, kita tak perlu menunggu konferensi iklim atau regulasi internasional. Perubahan bisa dimulai dari rumah, sekolah, dan komunitas kecil di sekitar kita. Sebab, bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga arena pertanggungjawaban moral dan spiritual kita terhadap generasi yang akan datang.
Saat ini, hijrah dapat dimaknai sebagai penyelamatan bumi dari kehancuran. Tahun Baru Islam seharusnya menjadi momen reflektif, sebuah awal bagi revolusi ekologis yang tumbuh dari akar keimanan. Pergantian tahun mengingatkan kita bahwa alam bukan sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi, melainkan ciptaan Ilahi yang harus kita rawat dengan kasih dan tanggung jawab.
Mari kita awali tahun ini dengan langkah hijrah yang lebih bermakna: menanam pohon, menanam harapan, dan menanam komitmen untuk hidup lebih bersahabat dengan alam. Sebab sejatinya, iman yang hidup adalah iman yang merawat kehidupan.