Model Penanganan Kasus Keagamaan: Belajar dari Kasus Konflik Natal Bersama di Ungaran, Jawa Tengah

13 Okt 2014
Model Penanganan Kasus Keagamaan: Belajar dari Kasus Konflik Natal Bersama di Ungaran, Jawa Tengah

Jakarta (13 Oktober 2014). Kasus-kasus kekerasan yang menyertai konflik keagamaan nampaknya masih menjadi angel yang “seksi” untuk diberitakan. Bahkan para akademisi-pun nampaknya kebih tertarik pada kasus kekerasan yang menyertai konflik keagamaan dibandingkan dengan konflik keagamaan yang tidak menimbulkan kekerasan.

Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, tidak semua kasus konflik keagamaan yang berujung pada benturan fisik. Banyak diantara kasus tersebut dapat tertangani dengan baik. Namun demikian, ternyata berita keberhasilan dalam menangani konflik belum dianggap sebagai berita yang layak dan perlu untuk disampaikan kepada khalayak masyarakat.

Pemberitaan dan kajian keberhasilan penanganan konflik keagamaan sesungguhnya lebih memberikan manfaat baik dalam rangka menciptakan suasana kondusif, maupun dalam rangka mencari model yang tepat untuk menangani kasus-kasus keagamaan lainnya.

Kajian yang dilakukan oleh Husni Mubarok merupakan salah satu dari sedikit kajian akademis yang membahas keberhasilan penanganan konflik keagamaan. Dengan mengambil lokus penelitian di daerah Ungaran, Jawa Tengah, peneliti PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi) tersebut mencoba merumuskan model keberhasilan penanganan konflik keagamaan.

Konflik keagamaan yang terjadi dilatarbelakangi oleh peringatan Natal Bersama di tahun 2012. Peringatan tahunan tersebut diselenggarakan oleh Badan Kerja Sama Antar Gereja.

Permasalahan terjadi karena peringatan tersebut diselenggarakan di alun-alun mini Sidomulyo yang letaknya berdekatan dengan Masjid Agung. Dengan alasan inilah sebagian elemen umat Islam yang terdiri dari Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) menolak peringatan Natal Bersama. Menurut mereka, peringatan Natal Bersama yang diselenggarakan di lokasi yang berdekatan dengan Masjid Agung dapat melukai perasaan umat Islam.

Penolakan tersebut sempat menimbulkan ketegangan. Ketegangan tidak hanya terjadi antara pihak yang terlibat (Panitia Natal Bersama dan para penentangnya-FPI & GPK-), tetapi juga dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Namun demikian, pada akhirnya konflik yang berlatar belakang sentimen keagamaan dapat ditangani dengan baik. Konflik dapat diredakan tanpa harus menggunakan kekuatan fisik.

Keberhasilan dalam meredakan konflik inilah yang menarik perhatian Husni Mubarok. Dengan menggunakan pisau analisis “teori segitiga” yang dibangun oleh Galtung, dalam penelitian yang berjudul “Mencegah Eskalasi Konflik Keagamaan: Studi Kasus Konflik Natal Bersama di Ungaran Kabupaten Semarang, Jawa Tengah”, Mubarok menemukan suatu model yang berhasil meredam konflik keagamaan di masyarakat.

 

AGS

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI