PEMBINAAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN NARAPIDANA (STUDI KASUS PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA TANGERANG)

1 Mei 2007
PEMBINAAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN NARAPIDANA (STUDI KASUS PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA TANGERANG)

PEMBINAAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN NARAPIDANA
(STUDI KASUS PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA TANGERANG)

Rusydy Zakaria
54 halaman

Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan
Departemen Agama RI
1991-1992


Perubahan sistem “kepenjaraan” ke sistem “pemasyarakatan” telah merubah secara mendasar konsepsi masyarakat tentang pemasyarakatan. Bila dahulu masyarakat mempersepsikan lembaga penjara sebagai tempat yang berkonotasi “negatif”, tempat orang menerima pembalasan, penjeraan dan rehabilitasi jati diri, maka dengan konsepsi pemasyarakatan secara perlahan dan pasti persepsi masyarakat mulai bergeser ke arah konotasi “positif”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk program pembinaan keagamaan terhadap narapidana anak pria lembaga pemasyarakatan kelas IIA Tangerang, mengetahui permasalahan-permasalahan dan hambatan-hambatan yang dihadapi lembaga pemasyarakatan anak pria kelas IIA Tangerang dalam menyelenggarakan dan meningkatkan efektifitas pelaksaan kegiatan-kegiatan mental keagamaan serta melihat sejauh mana ketepatan tujuan dan orientasi dari pelaksanaan program-program pembinaan keagamaan yang ditujukan pada mereka.
Penemuan-penemuan yang didapat dari penelitian ini adalah kurang tersedianya petugas dan pembina yang memiliki disiplin akademis (ilmu) yang diperlukan, seperti psikolog, psikiater, guru dan penyuluh agama sehingga menjadikan terapi pembinaan kurang terarah. Padahal semakin kompleksnya permasalahan yang membawa anak le LP menuntut adanya staf pembina yang memiliki pengetahuan dan kemampuan memberikan terapi serta pemecahan masalah yang terarah dan sesuai dengan tuntutan tingkat kebutuhan penghuni lapas.
Masih banyak peraturan tang membatasi ruang gerak LP untuk mengembangkan program pembinaan dengan melibatkan unsur-unsur di dalam masyarakat, seperti organisasi pendidikan dan dakwah, peneliti sosial, pengusaha dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan perogram pembinaan yang sesuai dengan pengembangan konsep LP melalui kegiatan dan program kerja kurang dapat dikembangkan sebagaimana mestinya. Begitu pula kurang adanya komunikasi pihak LP dengan institusi penerangan agama dan lembaga dakwah serta penyuluh agama.
Agar progran pembinaan mental keagamaan dapat berjalan secara efektif, maka sebelum program-program bidang keagamaan dikembangkan; pihak lapas perlu melakukan identifikasi terhadap latar belakang dan motif anak melakukan kenakalan-kenakalan. Berdasarkan hal tersebut pada gilirannya dapat dirumuskan perogram pembinaan mental keagamaan yang memiliki daya pengaruh yang tinggi bagi anak-anak LP. Selain itu dari proses ini dapat pula dihindari kekeliruan penerimaan anak yang seharusnya masuk ke lembaga rehabilitasi jiwa/mental, juga menghindari kekeliruan penempatan anak-anak yang seharusnya menjadi anak sipil.***

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI