STUDI ASSESSMENT KESIAPAN MADRASAH TSANAWIYAH DALAM PFNYELENGGARAAN WAJIB BELAJAR

12 Des 2005
STUDI ASSESSMENT KESIAPAN MADRASAH TSANAWIYAH DALAM PFNYELENGGARAAN WAJIB BELAJAR

TUDI ASSESSMENT KESIAPAN MADRASAH TSANAWIYAH DALAM PFNYELENGGARAAN WAJIB BELAJAR

Fadhal AR Bafadal, dkk.

Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,

Departemen Agama RI, 1995/1996, 15 hal

 

Program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 memproyeksikan angka partisipasi siswa pada jenjang pendidikan dasar akan mendekati 100 persen untuk 10 tahun ke depan (2004). Persoalannya adalah apakah Madrasah Tsanawiyah mampu untuk memberikan kontribusi terhadap penyuksesan wajib belajar tersebut, misalnya dari sisi kesiapan daya tampung. Untuk itu penelitian ini dilakukan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kesiapan Madrasah Tsanawiyah dalam rangka penyelenggaraan program wajib belajar sembilan tahun. Yang dimaksud dengan kesiapan disini adalah kesiapan MTs dalam menampung calon siswa yang selalu meningkat setiap tahunnya.

 

Sasaran wilayah penelitian adalah Kabupaten Malang dan Kodya Surabaya Propinsi Jawa Timur, Kodya Surakarta dan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah, Kodya Medan dan Kabupaten Tapanuli Propinsi Sumatera Utara, Kodya Ujung Pandang dan Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan, Kodya Padang dan Kabupaten Pariaman Propinsi Sumatera Barat, Kodya Aceh dan dan Kabupaten Aceh Besar Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Kabupaten Sungai Tengah dan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan, dan Kodya Jambi dan Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi.

 

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui daftar isian.

 

Dari penelitian ini diperoleh temuan penelitian ,yaitu :

  1. Kesiapan MTs dalam pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun terbatas pada penyediaan ruang kelas bagi siswa. Sebab dari 8 Dati II, hanya Kabupaten Tegal yang menerima siswa melebihi daya tampung ruang kelas yang ada (1105) dan Kodya Medan (35 siswa).

  2. Pada 8 wilayah penelitian angka transisi rata-rata 1,32%. Sedangkan angka transisi siswa nasional per tahun adalah 6,06%. Bila kecenderungan ini dijadikan alat ukur, maka tahun 95 siswa MTs berjumlah 1.332.832, tahun 1996 menjadi 413.602, tahun 1997 menjadi 1.499.266, dan tahun 2000 menjadi 1.788.682.

  3. Prosentase pertumbuhan siswa MTs lebih tinggi dari SMP, meskipun jumlah nominal siswanya lebih kecil. Di samping itu ada wilayah yang pertumbuhannya statis.

  4. Penyebaran MTsN pada 8 wilayah penelitian tidak proporsional.

  5. Dari delapan Dati II proyeksi angka transisi lulusan SD/MI sampai tahun 2001 yang melanjutkan ke MTs terendah adalah Kodya Padang (7,74%), Kodya Medan (8,65%), dan Kabupaten Sidrap (8,69%). Sedangkan drop out tertinggi adalah di Kabupaten Aceh Besar (10,69%), Kabupaten Sidrap 8,19%), dan Kabupaten Bangkalan (6,80%). Melihat kepada perbandingan transisi drop out, maka Kabupaten Sidrap transisinya rendah dan drop outnya tinggi.

  6. Terdapat perbedaan kebutuhan antara madrasah pada suatu wilayah. Hal ini disebabkan oleh potensi masyarakat pendukung. Contohnya Madrasah Tsanawiyah di Sidrap, memerlukan dorongan agar tingkat partisipasi masyarakat memasukkan anaknya ke Madrasah meningkat. Sementara di Kabupaten Bangkalan yang cukup tinggi angka transisinya, maka jenis bantuan lebih banyak diarahkan kepada meningkatkan mutu pendidikan.

  7. Umumnya MTs Negeri menerima siswa lebih dari kapasitas ruang kelas. Sampai saat ini masih ada MTs Negeri yang membuka belajar pagi dan siang (sore).***

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI