Agama dalam Praksis Ekonomi Masyarakat
AGAMA DALAM PRAKSIS EKONOMI MASYARAKAT:
STUDI KASUS DI DESA SUKAKARYA, MEGAMENDUNG, BOGOR*
Oleh Muh. Adlin Sila
Pendahuluan
Tulisan ini berangkat dari pemahaman bahwa sistem ekonomi yang dianut selama rezim Orde Baru dan hingga kini, dimana pragmatisme dan rasionalisme menjadi motornya, tidak membuat praktek ekonomi sebagian kaum Muslim mengalami sekularisasi dan rasionalisasi. Dengan mengambil kasus di Desa Sukakarya, studi ini membuktikan bahwa praktek ekonomi masyarakat masih berlandaskan pada hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai budaya dan agama (altruistic values). Jika ekonomi kapitalistik sangat menghindari nilai-nilai altruistik ini (disembededdness), karena akan terjadi distorsi, sebaliknya praktek ekonomi di masyarakat ini sangat menekankan nilai-nilai humanis dan moralitas. Temuan penelitian berkesimpulan bahwa sistem ekonomi mikro yang mengedepankan nilai-nilai humanis atau untuk kesejahteraan bersama (altruistic values) dianggap lebih cocok dan lebih subtantif untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di desa.
Desa Sukakarya adalah tipikal desa di Indonesia, terbelakang dari segi infrastruktur, sehingga kurang mendukung perkembangan ekonomi kapitalistik yang menekankan pada proses produksi. Sebagian besar pelaku ekonomi bergerak di sektor informal, dan sebatas pengecer barang-barang kebutuhan pokok, sandang dan pangan serta hasil kebun. Desa Sukakarya terletak di Kecamatan Megamendung, Bogor, tidak jauh dari kawasan Puncak yang dingin dan cenderung berhujan. Seperti desa lain di kawasan ini, Desa Sukakarya menjadi incaran kalangan pebisnis untuk ekspansi bisnis mereka dengan membangun hotel dan villa. Saat ini, kawasan Puncak sudah berubah dari kawasan puncak gunung menjadi kawasan puncak villa. Sepanjang jalan, villa dan hotel berjejer menawarkan jasa penginapan dengan aneka harga yang kompetitif. Salah satu contohnya adalah Green Apple, komplek villa yang luasnya mencapai sekitar 60 hektar. Dari hari ke hari semakin banyak tanah pertanian milik penduduk setempat dijual untuk dijadikan villa atau sekedar rumah peristirahatan bagi orang Jakarta. Beralihnya status tanah ini menjadi sebab berubahnya tatanan sosial-budaya masyarakat dan lingkungan di daerah ini dan sekitarnya.
Permasalahan Penelitian
Maraknya pembangunan villa di desa ini menyebabkan luas lahan pertanian yang meliputi sebagian besar wilayah desa menjadi berkurang. Akibatnya, cukup banyak penduduk yang mengalihkan profesinya ke bidang non pertanian, misalnya usaha skala kecil menengah (home industry), warung kelontong hingga buruh tani dan bangunan. Apakah dengan perubahan profesi ini maka perilaku sosial ekonomi sebagian masyarakat desa yang umumnya Muslim sudah berubah menjadi pragmatis dan individualis? Apakah penetrasi Kapitalisme telah membuat masyarakat desa menjadi individu yang rasional dan melulu mencari keuntungan pribadi? Tulisan yang berasal dari hasil penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keberadaan nilai-nilai agama dan solidaritas sosial yang mendasari perilaku-perilaku ekonomi masyarakat desa.
Metode Penelitian
Dalam melakukan studi ini, kami menggunakan pendekatan kualitatif, karena kami melihat realitas secara subyektif. Kami sehari-hari berinteraksi dengan si subyek untuk menangkap pemahaman si subyek (native understanding). Oleh karena itu, yang kami lakukan adalah bergaul dengan warga setempat setiap hari di warung, pasar, kantor dan sekolah atau di tempat-tempat umum dimana warga berinteraksi sehari-hari. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Analitis. Dalam melakukan ini, kami menggunakan ethnography sebagai tipe penelitian kami karena menggambarkan sebuah budaya dan memahami cara hidup lain menurut pemahaman masyarakat aslinya. Pemaknaan (meaning), menurut ethnography, bukanlah yang tergambarkan dalam tingkah laku dan perkataan, tapi lebih dalam dari itu.
Ketika kami memutuskan untuk memulai penelitian, kami berhadapan dengan seseorang yang memiliki otoritas untuk masuk ke lokasi (gatekeepers). Orang ini membantu kami di lapangan ketika ingin menemui seseorang atau ke lokasi yang tidak semudah ditemui jika tanpa bantuan orang yang sudah dikenal. Tapi, setelah itu kami melakukan teknik bola salju (snowball) dalam memilih informan untuk diwawancarai. Setelah informan terpilih, penulis membangun hubungan yang baik dengan subyek selama di lapangan, dengan pandai-pandai menampilkan diri (presentation of self), misalnya; cara berpakaian, berbicara dan berperilaku, karena semuanya itu memberikan pesan simbolik. Oleh karena itu, kami berusaha membangun rapport, yaitu kemampuan untuk membangun hubungan yang bersahabat dengan anggota masyarakat yang diteliti, sehingga memperoleh pemahaman terhadap cara melihat dan merasakan tentang kejadian dari perspektif orang lain (empathy). Penulis juga melakukan pengamatan (observation) dengan memperhatikan, menyaksikan, dan mendengarkan apa yang dilihat dan didengar, hal-hal yang detil, karena dengan demikian akan memperoleh pemahaman secara menyeluruh.
Selama proses penelitian, peneliti melakukan kegiatan pencatatan lapangan (field notes), seperti; mengambil peta, diagram, foto, catatan wawancara, rekaman tip dan video (tape and video recordings), membuat memo, catatan-catatan kecil dan ringkas (jotted notes). Sejumlah informan ada yang meminta identitasnya disamarkan atau menggunakan nama-nama palsu (pseudonyms).
Kondisi Geografis dan Sosial-Ekonomi Desa Sukakarya
Sepintas desa Sukakarya mirip dengan kebanyakan desa di Bogor, Jawa Barat, berbukit dan jalannya naik turun serta berkelok-kelok. Letak desa masih berada di bawah kaki pegunungan Pangrango dan memiliki ketinggian dari permukaan laut sekitar 700 m. Dengan kondisi ini, suhu rata-rata sekitar 27 derajat celcius. Tidak panas untuk ukuran orang Jakarta. Menjelang tengah malam, udara cukup dingin. Tapi kata salah seorang warga, "waktu saya masih remaja dulu lebih dingin lagi, sekarang mah tidak ada apa-apanya, gak tahu kenapa". Selain udara yang sudah agak panas, desa ini juga sering dilanda longsor terutama pada musim hujan. Pada saat penelitian ini dilakukan, terjadi longsor yang menimbun beberapa sungai yang mengairi sawah di desa ini.
Tidak jauh dari rumah yang kami tempati, terdapat sungai Pasirkalong yang cukup terjal. Sungai ini dinamai Pasirkalong karena terletak di kampung Pasirkalong, salah satu kampung dari tiga kampung yang ada di Desa Sukarkarya. Dua kampung lainnya adalah kampung Cijulung dan Coblong. Pusat pemerintahan Desa Sukakarya terletak di kampung Pasirkalong ini. Sungai ini terkenal dengan pasirnya yang hitam dan bersih. Penduduk setempat banyak yang mencari pasir di sini lalu dijual ke para penadah. Karena sudah terbiasa dan demi sesuap nasi, kondisi jalan menuju sungai yang terjal dan licin, terutama di waktu hujan, tidak menjadi persoalan bagi warga setempat. Dalam sehari, menurut salah satu pencari pasir, bisa memperoleh lima pikulan pasir, "satu pikulnya dihitung Rp.10 ribu, jadi dalam sehari dapat Rp,50 ribu." Lumayan untuk ukuran desa. Profesi pengambil pasir ini hanya digeluti beberapa orang saja. Sebagian warga lainnya menjadi buruh tani dan bangunan.
Tabel I.
Jenis Profesi Penduduk Sukakarya Tahun 2007
No. |
Profesi |
Jumlah |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. |
Buruh tani Buruh bangunan dan pabrik Pedagang Pengusaha kecil (Wiraswasta) Petani penggarap Pengrajin Guru dan PNS Lainnya |
695 575 102 20 150 30 8 27 |
|
Jumlah |
1607 |
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar warga adalah buruh, baik tani maupun bangunan dan pabrik. Memang, sebagian besar penduduk masih menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani. Tapi, kebanyakan dari mereka adalah buruh tani, karena sawahnya sudah dimiliki oleh orang lain, terutama dari luar desa. Menurut data di kelurahan, jumlah petani yang memiliki tanah sendiri sebanyak 200 orang. Bandingkan dengan jumlah petani penggarap dan buruh tani yang masing-masing 150 dan 695 orang. Bagi petani penggarap, mereka sebatas menggarap sawah saja. Jika panen berhasil, keuntungan dibagi dengan pemilik sawah. Mang Senan, salah seorang penjual pupuk dan obat-obatan untuk pertanian mengatakan kepada penulis; "para petani minjam pupuk dan obat sama saya, setelah panen baru mereka pada bayar, makanya saya berharap panen selalu berhasil biar tidak pada nunggak, gitu." Usaha toko pupuk dan obat-obatan pertanian hanya beberapa saja jumlahnya di desa ini. Toko Mang Senan termasuk yang cukup maju. Selain untuk keperluan pertanian, dia juga memiliki mesin penggiling gabah. Tapi usaha yang terakhir sudah kurang menguntungkan karena pemilik gabah yang kebanyakan orang luar lebih suka menggiling gabahnya di kota terdekat.
Dari pantauan kami, kalau petani penggarap meminjam pupuk dan perlengkapan tani lainnya, maka buruh tani, dan juga buruh bangunan, berhutang bahan-bahan pokok kebutuhan rumah tangga di warung-warung yang ada di desa ini. Mereka bergaji mingguan sehingga hutang dibayar lunas atau dicicil setiap akhir pekan. Salah satau warung yang kerap menjadi tempat meminjam barang kebutuhan pokok adalah milik Mang Fattah. Selain menjual kebutuhan pokok, warung Mang Fattah juga menjual gorengan dan minuman. Untuk yang terakhir ini, warung Mang Fattah yang paling dikenal karena bukanya hingga larut malam. Lokasi warungnya yang berada di salah satu ruangan rumah Mang Fattah sendiri memudahkannya untuk mengawasi aktivitas jual beli. Dari pantauan kami, kondisi lingkungan pemukiman yang antara satu rumah dengan rumah lainnya saling berdempetan dan hampir tidak ada halaman untuk pekarangan rumah, menjadikan hubungan sosial antara warga kampung masih sangat personal. Sistem kekerabatan tidak hanya patrilineal tapi juga patrilokal. Sebagaimana diungkapkan oleh Mang Fattah;
"Gimana mau punya rahasia pak, tetangga ya saudara juga. Apa yang jadi masalah di rumah saya, pasti ketahuan deh sama tetangga, begitupun sebaliknya. Jadi yang minjam ke warung saya masih saudara juga. Kita di sini tidak boleh pelit pak, karena kalau kita dapat rezeki pasti ketahuan sama tetangga. Apalagi saya punya warung, kalau tidak ngasih minjam, pasti diomongin sama tetangga, terkadang ada yang musuhin saya. Jadi serba salah."
Dari luas desa sebesar 339,25 Ha, sekitar 140 Ha adalah lahan persawahan. Sisa areal desa ini diperuntukkan untuk pemukiman penduduk, baik untuk dibangunkan villa atau rumah pemukiman penduduk. Bagi areal yang akan dibangunkan villa, sebagian warga dan pemuda menjadi kuli urug tanah dan kuli bangunannya. Di depan rumah yang kami tempati adalah contohnya. Dulunya adalah tanah sawah yang sangat luas. Sekarang dipagari kawat yang tinggi dan sedang ditimbuni tanah oleh warga yang menjadi kuli bangunan agar rata dan bisa segera dibangun rumah di atasnya. Pemiliknya adalah orang Jakarta. Saat ini menurut data yang diperoleh di Kelurahan, luas areal pemukiman lebih dari setengah areal persawahan. Hal ini menandakan besarnya perubahan status tanah dari persawahan menjadi perumahan.
Tanah dalam pandangan Kapitalisme tanah merupakan hak milik mutlak, sementara dalam pandangan Sosialis dan Komunis tanah hanya dimiliki negara sementara Islam memandang Tanah sebagai milik mutlak Allah. Dari perbincangan dengan beberapa warga, tanah itu sejatinya adalah milik Allah. Hal ini kurang lebih sama dengan prinsip dalam Islam bahwa Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan.
Tabel II.
Luas wilayah Desa Sukakarya menurut penggunaannya Tahun 2007
Penggunaan Tanah |
Luas (Ha) |
1. Pemukiman umum |
80 |
2. Persawahan (pengairan/pasang-surut) |
140 |
3. Ladang |
138 |
4. Hutan |
40 |
5. Lainnya |
0,80 |
Jumlah |
399,25 |
Jenis usaha lain yang digeluti oleh warga desa adalah pembuatan kantong kertas. Permintaan akan kantong kertas ini cukup tinggi, terutama dari pedagang gorengan yang dimilki warung-warung di sekitar desa, seperti milik Mang Fattah. Permintaan juga datang dari luar desa, yaitu dari warung dan gerobak gorengan yang ada di sepanjang jalan menuju kawasan Puncak. Bahan dasar dari buah tangan ini adalah kertas-kertas bekas hasil limbah buangan dari kantor-kantor yang ada di sekitar jalan menuju Puncak. Para pekerja yang dilibatkan untuk membuat kantong kertas ini adalah kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang suaminya adalah buruh tani dan bangunan. Setiap orang bisa menghasilkan sekitar 1000 sampai 5000 kantong kertas per harinya. Seorang ibu yang lagi mencuci pakaian di sebuah MCK desa mengatakan kepada penulis;
"Saya mah bisanya bikin 3000 sampai 5000 buah kantong kertas. Satunya dihitung Rp. 1, jadi kalau bikin 5000 buah maka dapat Rp.5000 sehari. Saya kuatnya segitu aja, kalau banyak-banyak, siapa yang ngurusin anak saya. Lagian, saya kan hanya membantu suami yang jadi buruh bangunan di sebuah komplek villa di desa ini. Suami dapatnya cuma Rp. 15 ribu sehari, sementara keperluan sehari-hari banyak. Jadi saya nambah-nambahin aja gitu. "
Hasil kerja para ibu tangga ini ditampung di sebuah rumah milik salah seorang pengusaha kantong kertas, dikepak-kepak dan diikat seukuran satu meter persegi lalu dikirim ke Kota Bogor dan daerah sekitarnya. Keuntungan yang diperoleh oleh warga desa terutama ibu-ibu rumah tangga tidak terlalu berpengaruh kepada ekonomi keluarga. Tapi, keterlibatan perempuan dalam salah satu jenis usaha kecil ini menggambarkan sebuah kenyataan adanya modal sosial (social capital) yang cukup bagus untuk upaya pemberdayaan perempuan dalam menciptakan produk-produk ekonomi di tingkat desa.
Jenis usaha lainnya yang membuka lapangan pekerjaan adalah usaha pembuatan aksesoris mobil seperti stir dan kaca spion (tipe sporty) serta patung-patung plastik untuk peragaan baju di etalase toko. Usaha ini milik Mang Drajat. Stir mobil milik Mang Drajat ini dikenal kualitasnya hingga ke Jakarta karena tidak kalah oleh buatan impor. Belakangan, ketika kami memantau langsung rumahnya yang juga jadi pabriknya, usaha ini sudah tidak semaju seperti dahulu. Warga desa yang bekerja di tempat ini sudah sangat jarang ditemui, karena jumlah order dari luar semakin menurun.
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Desa
Selain bersuku bangsa Sunda, mayoritas penduduk Desa Sukakarya menganut agama Islam. Bahkan data tahun 2007 menunjukkan bahwa seluruh penduduk yang berjumlah 6511 orang, yang hampir seimbang laki-laki dan perempuannya, adalah pemeluk Islam. Dari itu, jumlah tempat ibadah yang masing-masing 13 masjid, 33 musholla dan 10 langgar terasa tidak sebanding dengan jumlah jamaahnya. Tentunya dengan catatan kalau semua penduduk dewasa beribadah ke tempat ibadah ini. Aspek homogenitas dari segi suku dan agama ini membuat kohesi sosial cukup tinggi di desa ini. Hampir tidak ditemui adanya potensi konflik yang berakar pada agama dan suku. Meskipun ada pendatang, mereka cenderung beradaptasi dengan budaya dominan di desa ini.
Dalam mendukung internalisasi nilai-nilai agama kepada masyarakat, desa ini memiliki beberapa kyai dan ustad yang membuka kelas pengajian, baik informal maupun formal, untuk anak-anak dan dewasa. Dari data yang ada, jenjang pendidikan agama formal hanya 2 buah Madrasah Ibtidaiyah (MI), setingkat sekolah dasar (SD). Itupun milik yayasan atau swasta. "SD negeri yang berjumlah 3 buah dirasa kurang cukup untuk membekali anak-anak pendidikan agama, dari itu kami mendirikan madrasah," kata pak Mubarok, kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatul Islam, salah satu MI di desa Sukakarya. Dari pantauan kami ke madrasah ini, kondisi gedung yang semi permanen dengan atap ruang kelas yang bolong-bolong sudah kurang memadai dalam mendukung proses belajar mengajar. Uluran tangan pemerintah, terutama Departemen Agama, sangat diharapkan oleh pak Mubarok untuk segera turun membantu. Apalagi, kebanyakan guru di MI ini, termasuk pak Mubarok sendiri, masih berstatus guru honorer dan sedang menunggu diangkat oleh pemerintah menjadi guru definitif.
Tidak jauh dari MI ini, terdapat pula pondok pesantren Al-Furqoniyah yang diasuh oleh Kyai Muhammad Saefullah bin Baudri. Lokasinya berada di halaman rumah kyai dan dekat dengan salah satu masjid di desa ini. Kyai Saefullah, yang kami temui selepas sholat Maghrib Sabtu malam, sedang mengajar mengaji untuk kelas anak-anak. Selain membuka kelas untuk anak-anak, Kyai Saefullah juga membuka manakiban yang diberi nama Jamiatul Jawahirul Maani. Pertemuannya diadakan setiap malam Kamis dari bada sholat Isya hingga jam 10 malam, dan diikuti sekitar 40 orang dewasa.
Mang Fattah yang juga jamaah dari manakiban ini mengatakan; "Acara dimulai dengan tawasul atau mengirim sholawat kepada para ulama terdahulu lalu manakiban. Setelah itu, para jamaah meminta barokah untuk dunia akhirat dari pak kyai." Di mata para jamaah, termasuk Mang Fattah, Kyai Saefullah adalah figur yang sangat dihormati karena beliau diyakini menerima ilmu dari Syekh Abdul Qadir Jaelani (tokoh pendiri tarekat Qadiriyyah) melalui perantaraan mursyidnya. Manakiban adalah tradisi kalangan tarekat. Kyai Saefullah sendiri adalah salah satu khalifah dari tiga khalifah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah (TQN) di Kabupaten Bogor yang mengklaim jumlah jamaahnya sekitar 6000 orang.
Khalifah (wakil) adalah murid dari seorang mursyid tarekat. Kyai Saefullah adalah khalifah dari mursyid (guru tarekat) Kyai Haji Jauhari Umar (almarhum) asal Jawa Timur. Bertarekat diyakini oleh Mang Fattah akan mendapatkan berkah dari Allah melalui perantaraan (tawasul) orang-orang sufi ini. Kadar kesalehan Mang Fattah ini juga terlihat secara lahiriah dari pengamatan kami di rumah Mang Fattah, dimana foto mursyid ini terpampang dengan rapih di dinding ruang tamunya.
Geneologi Kyai Haji Ahmad Jauhari Umar
Syekh Abdul Qadir Jaelani
K. Muhammad Saefullah bin Baudri
K.H. Ahmad Jauhari Umar
K.H. Dalhar Watucongol
Sayyid Abdullah
Siti Maisaroh
K.H. Kholil (Madura)
Datuk Abdurrohim
K.H. Mukhtar Syafaat
Abuya K.H. Dimyati Banten
K.H. Abdul Hamid
Kyai Kholil (Pasuruan)
K.H. Marzuqi Lirboyo
Kyai Saefullah masih sering menyambangi Pondok Pesantren Darussalam, Tegal Rejo Pasuruan, Jawa Timur, tempat kediaman almarhum Mursyid Kyai Haji Ahmad Jauhari Umar. Kata Kyai Saefullah kepada penulis;
"Saya masih berkunjung ke kediaman Mursyid saya minimal dua kali setahun. Meskipun saat ini yang memimpin pesantren itu adalah anak-anaknya, saya masih memiliki ikatan spiritual dengan bapak mereka. Tanggal 3 Mei nanti saya diundang kesana untuk merayakan ulang tahun pesantren itu dan sekaligus khataman Kitab Ihya Ulumuddin yang ke 12,"
Selain menjadi khalifah Manakiban, Kyai Saefullah juga pengampu Mauludan yang dirayakan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal. Mauludan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad) tahun 2007 ini berlangsung hari Senin, tanggal 9 April. Tampak di setiap rumah, ibu-ibu sibuk melakukan persiapan Mauludan ini dengan membuat bonsang (bakul rotan nasi maulid). Menurut Kyai Saefullah;
"Jamaah dari luar desa biasanya membawa sekitar 400 bonsang. Jumlah itu ditambah lagi jika setiap KK di desa ini menyumbang satu hingga 3 bonsang. Saya sendiri memotong dua ekor kambing dan memberi uang transport masing-masing ke jamaah yang berjalan kaki Rp. 20 ribu dan yang berkedaraan Rp. 50 ribu. Sedangkan ustad yang berceramah saya kasih honor Rp 400 ribu.
Mauludan di desa ini terbagi dua; yang pertama untuk orang dewasa yang berlangsung dari jam 7 pagi sampai jam 11 siang. Sedangkan yang kedua untuk remaja dan anak-anak yang dimulai pada malam hari. Kalau semua KK sekitar 2600 di desa ini menyumbang minimal satu bonsang maka akan terkumpul sekitar 2600 bonsang ditambah 400 lagi dari luar desa. Jadi, total 3000-an bonsang terkumpul. Jumlah jamuan yang fantastik untuk ukuran sebuah perayaan keagamaan.
Selain Mauludan, yang membuat Desa Sukakarya dikenal banyak orang adalah keberadaan makam Haji Baesuni di kawasan Pentas. Semasa hidupnya, Haji Baesuni dikenal sebagai tokoh agama yang dihormati dan sebagai pendiri pondok pesantren Al-Baesuni. Para pengunjung yang berziarah ke makamnya datang dengan maksud yang berbeda-beda. Umumnya mereka meminta barakah agar dimudahkan dalam urusan duniawi seperti, digampangkan mendapat jodoh, rezeki atau anak keturunan.
Selain itu, di Desa ini juga terdapat beberapa orang yang memiliki ilmu kanuragan, atau dikenal sebagai "orang pintar". Haji Hamdan, misalnya, yang setiap malam Jumat kerap dijambangi oleh orang dari luar desa, karena dikenal mampu meramal nasib orang. Rumahnya yang berjumlah dua, yang masing-masing diperuntukkan untuknya istrinya yang kebetulan dua orang, berdiri megah di pinggir jalan desa. Setiap malam Jumat, kata orang-orang desa, jalan macet karena dipenuhi mobil yang parkir di depan rumah H. Hamdan. Anehnya, warga desa sendiri jarang yang datang ke H. Hamdan ini. Warga desa hanya mengambil keuntungan dari situasi ini. Misalnya, yang berprofesi ojek dan pemilik warung ketiban banyak rejeki dengan banyaknya tamu yang memanfaatkan jasa dan jualan mereka.
Hubungan Agama dengan Praktek Ekonomi
Tradisi-tradisi keagamaan yang telah dikemukakan diatas, seperti; Manakiban, Mauludan, ziarah ke makam keramat, dan praktek-praktek mistik lainnya adalah lazim ditemukan di masyarakat Muslim yang bercorak tradisional. Praktek keagamaan mereka lebih cocok dikelompokkan dalam tradisi Ahlu As-Sunnah wal Jamaah (aswaja). Meskipun, tokoh-tokoh agama yang ditemui tidak secara eksplisit mengaku sebagai pengikut organisasi Nahdhatul Ulama (NU), pengampu tradisi aswaja di Indonesia, tapi mereka adalah penganut tradisi NU, minimal dari segi praktek keagamaan. Salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Mang Fattah bercerita bahwa ketika warungnya lagi laris manis, kerap mengeluarkan zakat, infak dan shodaqoh 2,5% untuk setiap keuntungan yang diperoleh. Kadang dia memberikannnya kepada kyai dan anak yatim di desanya. Dia faham bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Dari itu dia berkewajiban membagi rezekinya kepada masyarakat sekitarnya yang berhak. Meskipun sekolahnya hanya tamat SMA, Mang Fattah memiliki pengetahuan agama yang cukup lumayan. Islam, katanya, mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, atau antara dunia dan akhirat. Mang Fattah adalah contoh warga desa yang menjadikan prinsip Islam ini sebagai pedoman dalam kehidupannya.
Mang Fattah, salah seorang pemilik warung yang besar pada masanya, mengatakan bahwa selain berjualan dia juga memberikan pinjaman barang;
"Yang berhutang biasanya para ibu-ibu yang suaminya menjadi buruh tani dan bangunan. Ibu-ibu yang minjam, pada Sabtu atau Minggu bapak-bapaknya yang lunasin semua. Atau terkadang ibu-ibu itu sendiri yang datang bayar, karena biasanya ada kesepakatan dengan pemilik warung untuk membayar lebih kalau hutangnya menunggak lebih dari dua minggu."
Menurut Mang Fattah, adanya tambahan pembayaran itu bukan bunga, tapi sekedar tanda terima kasih karena telah diberikan keleluasaan atau kelonggaran dalam membayar hutang. "Itupun kalau disepakati, kalau tidak ya bayarnya sesuai dengan harga barang yang dipinjam dulu," tambah Mang Fattah lagi. Sewaktu penelitian ini dilakukan, warung Mang Fattah sudah tutup sekitar dua minggu, dan sebagai ganti mencari sesuap nasi untuk keluarganya, Mang Fattah menjadi buruh bangunan sebuah bakal villa tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selain banyaknya pelanggan yang nunggak hutang, modal untuk memutar usaha warungnya habis digunakan untuk membiayai pernikahan adiknya beerapa bulan yang lalu. Padahal, warung Mang Fattah ini termasuk yang paling besar dan laris kala itu. Saat ini, sudah ada sekitar 14 warung di desa ini dari yang kecil hingga yang besar, tapi semuanya sebatas pengecer.
Ketika saya tanyakan apakah pernah mengambil kredit di bank untuk modal usaha. Katanya pernah memperoleh kredit di BRI tapi untuk keperluan konsumtif dan bukan produktif, atau digunakan untuk memperbesar usaha yang dimilikinya. Bagi Mang Fattah, modal untuk usaha lebih baik dari perorangan saja karena berdasarkan saling kepercayaan (trust) dan bisa diangsur sesuai dengan kesepakatan.
"Kayaknya, minjam uang dari orang karena adanya hubungan persaudaraan atau pertemanan lebih baik dari pada minjam di bank yang minta jaminan (agunan) dan syarat-syarat lainnya yang njelimet. Bayarnya juga ribet, karena harus ke kantor bank tersebut, ngantri lagi. Tapi kalau dengan saudara atau temen kan bisa tanpa jaminan, percaya aja gitu. Bayarnya juga bisa kapan-kapan. Saya bilang ini bukan karena pinjam di bank ada bunganya. Menurut kyai saya, bunga bank itu kan sifatnya darurat, jadi tidak haram hukumnya."
Adanya bunga bank yang cukup tinggi bagi kredit pinjaman ternyata tidak terlalu dipersoalkan oleh Mang Fattah dan sebagian warga yang ditemui. Ternyata persoalan prinsip agama yang menyatakan bunga bank itu haram tidak menjadi alasan utama warga desa untuk tidak mengambil kredit di bank. Tapi, dikarenakan oleh persoalan lain yaitu budaya perbankan (baca: kapitalisme) yang belum tumbuh di desa ini.
Di Desa Sukakarya ini sering pula didatangi agen-agen bank keliling yang menawarkan kredit Rp. 500 ribu sampai Rp. 1 juta. Sistem bayarnya harian atau mingguan. Istilahnya saja bank keliling, tapi secara praktek sistem kerjanya agak mirip dengan rentenir, karena menetapkan bunga cukup tinggi yang menaik setiap hnari atau minggu. Mang Fattah juga pernah menerima pinjaman dari bank keliling ini. Tapi cuma sekali, setelah itu tidak lagi. Ketika penulis tanyakan tentang Bank Islam atau Syariah yang memberikan pinjaman tanpa bunga. Mang Fattah cukup faham, hanya tidak ingat betul istilah Arabnya untuk produk-produk keuangan yang ditawarkan oleh Bank Islam. Misalnya, yang pertama; mudharabah, yaitu; sistem bagi hasil antara pemegang modal dan peminjam (tapi pihak bank tidak berpartisipasi dalam kegiatan usaha si peminjam), kedua; musharakah, yaitu; bahwa modal berasal dari kedua pihak (joint venture financing), jadi untung-rugi dibagi berdua antar bank dan peminjam. Pihak bank berpartisipasi dalam kegiatan usaha si peminjam.
Pada prinsipnya, bank Islam mengacu pada ekonomi syariah yang menerapkan konsep non-bunga (interest-free transaction). Yang dimaksud dengan transaksi tanpa bunga adalah berdasarkan pada konsep riba, yang dalam Islam berarti tambahan. Islam melarang mengambil kelebihan dari modal awal. Sebagai pengganti bunga, syariah membolehkan sistem bagi hasil. Yang dibagi adalah untung rugi yang diperoleh dari transaksi (loss-profit sharing): kalau transaksi untung, pihak bank dan peminjam berbagi, begitupun sebaliknya. Konsep dasar Islam adalah tidak ada yang bisa menentukan untung dan rugi seseorang di kemudian hari. Karena bisnis itu beresiko, menurut syariah, yang dibagi bukan hanya keuntungan, tapi juga kerugian. Jadi, tidak seperti sistem konvensional, sistem syariah tidak membolehkan jika keuntungan ditentukan di awal transaksi. Hal ini terkait dengan moralitas. Mengambil keuntungan, seperti mengambil bunga, tanpa keluar keringat adalah tindakan amoral dalam Islam.
Dari pengalaman Mang Fattah berurusan dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT), sebuah Lembaga Keuangan Mikro berprinsip syariah, sistem bagi hasil itu dianggapnya sama saja dengan bunga, bedanya hanya berbahasa Arab. Lagi pula, menurut Mang Fattah lagi;
"Untuk memperoleh kredit dari BMT, kita harus menjadi anggota dulu, atau mempunyai rekening terlebih dahulu minimal Rp. 100 ribu, dan ada iuran keanggotaan yang harus dibayar setiap bulan. Mestinya, kalau mau secara Islam, ya ikhlas aja gitu kasih pinjaman, jangan kayak bank-bank biasa yang bukan Islam."
Apa yang dikemukakan oleh Mang Fattah adalah contoh pemahaman seorang warga desa tentang bank, pinjaman dan Islam. Memang kebanyakan BMT yang beroperasi memakai prinsip koperasi dalam menjalankan usahanya. Izin operasionalnya juga berasal dari Departemen Koperasi. Layaknya sebuah koperasi pada umumnya, sistem keanggotaan (membership) adalah salah satu cirinya, karena modal berasal dari anggota dan diputar kembali untuk kesejahteraan para anggotanya. Dari pantauan kami dan wawancara dengan aparat desa di lapangan, belum ada koperasi yang pernah beroperasi di Desa Sukakarya. Pak Sekdes, sebagaimana diutarakan kepada penulis, mengatakan bahwa rencana untuk mendirikan koperasi sudah matang, hanya menunggu izin operasionalnya saja dari Departemen Koperasi. Katanya lagi, Pemerintah Propinsi Jawa Barat akan mengucurkan kredit untuk usaha kecil menengah (UKM) ke masyarakat melalui koperasi yang ada di setiap desa. Dari itu, pendirian koperasi sangat diupayakan bisa segera terwujud.
Beberapa warga yang berhasil ditemui memberikan tanggapan yang beragam dengan rencana kehadiran koperasi di desa ini, apalagi kalau pelaksanaannya akan berkantor di kelurahan dan sebagian besar pengurusnya berasal dari aparat pemerintah desa. Salah satunya, sebut saja Mang Dedi (nama samaran), berujar sinis;
"Kalau koperasinya sudah berdiri, jangan sampai kita simpan uang lalu dipakai semaunya oleh pengurus, jadi namanya bukan koperasi simpan-pinjam lagi, tapi koperasi simpan-hilang. Yang penting bagi saya, apapun namanya, koperasi atau bukan tujuannya harus untuk memberdayakan masyarakat desa kayak kita ini yang masih miskin."
Kecenderungan mengambil keuntungan sendiri sangat dibenci oleh masyarakat di desa ini. Konsep berdiri sama tinggi, duduk sama rendah menjadi kesepakatan tidak tertulis yang dianut oleh warga desa. Dalam persoalan siklus hidup (life cycles), seperti; kelahiran, perkawinan dan kematian, terdapat kewajiban untuk dirayakan, sehingga yang repot bukan hanya yang mempunyai hajat tapi semua anggota masyarakat. Oleh karena itu, dari pengamatan penulis di lapangan, kondisi bangunan rumah dengan rumah lainnya di Desa Sukakarya ini hampir tidak ada perbedaan yang berarti. Tidak ada yang terlalu bagus, dan tidak ada juga yang terlalu jelek. Beberapa rumah warga masih mempertahankan bentuk aslinya, rumah dengan dinding berbilik bambu. Sedangkan beberapa sudah ada yang permanen. Tapi, tidak ada yang mencolok. Dari pengamatan kami bisa disimpulkan bahwa sikap tidak menonjol-nonjolkan diri masih melekat dalam budaya masyarakat desa ini. Keberhasilan dalam bidang ekonomi dirasakan bukan demi keuntungan satu individu semata, tapi untuk bersyukur kepada Allah yang telah memberikan rezki-Nya, dan untuk kepentingan umat secara keseluruhan (shared altruistic values).
Lalu bagaimana dengan keberadaan warga penghuni villa mewah yang cukup mencolok? Kata Sekdes desa ini; "Adanya warga baru yang memiliki villa mewah menguntungkan kami secara tidak langsung, karena kalau ada musibah atau keperluan desa yang mendesak, mereka biasanya menjadi donatur yang paling membantu." Tidak hanya itu, para buruh bangunan merasa berkepentingan kalau semakin banyak villa yang dibangun di desa ini, karena akan semakin banyak pemasukan. Jadi, pembangunan villa di desa ini dilihat sebagai sebuah dilema: dibiarkan akan menyebabkan persoalan lingkungan dan sosial, dan dilarang akan mengurangi lapangan pekerjaan bagi buruh bangunan yang merupakan mayoritas di desa ini.
Analisis Teoritik: Dari Ekonomi Formal ke Ekonomi Substantif
Mayoritas penduduk Indonesia tinggal di desa yang sebagian besarnya dikategorikan kelompok miskin. Memang, desa identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Apalagi, pembangunan selama Orde Baru disinyalir tidak memihak desa dan masyarakat miskin. Setelah reformasi, banyak orang berbicara tentang peningkatan kehidupan masyarakat desa. Dunia pun melalui Bank Dunia (World Bank) dan Asian Development Bank (ADB), memiliki hasrat besar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di desa. Dalam sistem ekonomi, konsep mikro ekonomi dianggap sesuai untuk pembangunan desa. Menurut Asian Development Bank (ADB) (2002: 2) bahwa keuangan mikro (microfinance) adalah sejumlah jasa pelayanan keuangan seperti deposito, pinjaman, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi untuk orang miskin dan kelompok keluarga pendapatan rendah serta usaha kecil yang mereka miliki. Keuangan mikro dianggap sebagai usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif karena memberikan akses kepada masyarakat miskin untuk memperoleh kredit bagi usaha kecilnya.
Mikro ekonomi juga identik dengan ekonomi masyarakat (community economy) yang mengedepankan nilai-nilai humanis atau untuk kesejahteraan bersama (altruistic values). Sukses Grameen Bank di Bangladesh membuka mata dunia tentang pentingnya mikro ekonomi ini bagi pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) dan terciptanya perdamaian (peace). Aspek moralitas dari ekonomi ini sebagian dibangkitkan oleh gerakan keagamaan di Afrika dan Asia sebagai kritik terhadap imoralitas ekonomi Barat (Nienhaus and Brauksiepe, 1997). Nilai-nilai seperti integritas diri, sikap moralis dan kemandirian ekonomi sangat dikedepankan.
Di Indonesia, beragam lembaga keuangan mikro (LKM) bermunculan, baik koperasi yang sudah lama dikenal maupun LKM Syariah dalam bentuk Baitulmal Watamwil (BMT) yang relatif baru (Hal Hill, 2001). LKM Syariah, misalnya, tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tapi juga mengajarkan nilai-nilai moral agama, seperti tidak malas, larangan terhadap bunga (riba), menjunjung tinggi kejujuran (amanah) dan kedermawanan (mengeluarkan zakat, infak dan shodaqoh). Oleh karena itu, peranan LKM Syariah tidak hanya meningkatkan ekonomi kecil tapi juga menanamkan moralitas agama dalam transaksi kegiatan ekonomi mikro di tingkat desa.
Tentunya, upaya pemberdayaan masyarakat miskin tidak akan efektif tanpa membangun modal sosial (social capital) yang kuat. Dalam studi tentang sosiologi ekonomi, persoalan modal sosial (social capital) menjadi penting untuk menjelaskan hubungan-hubungan ekonomi yang menghasilkan produk-prouduk ekonomi dan non-ekonomi (Putnam 2000). Salah satu modal sosial adalah komitmen atau trust. Yang lain adalah kewajiban, norma dan sanksi. Dalam Islam, ajaran agama menjadi landasan dalam kegiatan ekonomi sebagian besar kaum Muslim. Misalnya, Konsep tentang amanah (kejujuran) dan kedermawanan menjadi komitmen para pelaku ekonomi. Dari itu, trust dalam Islam juga diajarkan dalam pengertiannya yang berbeda, yaitu bahwa trust sebagai modal spiritual (spiritual capital), sebagai sebuah analogi modal manusia (human capital) dalam sistem konvensional (Robert J. Barro, 2004). Modal spiritual melihat segala kegiatan ekonomi berdasarkan pada prinsip amanah yang telah diberikan oleh Allah dan mencari keuntungan untuk kepntingan diri dan keluarganya dan untuk kemaslahatan umat secara keseluruhan.
Berbeda dengan kebanyakan ekonom yang melihat bahwa tindakan manusia secara ekonomi adalah semata-mata tindakan rasional, dan melulu berdasarkan kepentingan materialis, sebaliknya studi ini melihat bahwa tindakan manusia tidak selamanya bersifat rasional, tapi juga tradisional dan efektual. Meskipun ada aspek rasionalnya, studi ini menekankan rasionalitas yang substantif, dan bukan formalistik seperti yang disimpulkan kebanyakan ekonom.
Sistem ekonomi dunia sangat dipengaruhi oleh Adam Smith melalui bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar "Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang," sambung kata Smith lagi:
"Akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka" (Robert L. Heilbroner; 1986).
Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme ini kemudian yang melahirkan sistem ekonomi pasar bebas pada akhirnya melahirkan ekonomi Kapitalis di setiap belahan dunia termasuk Indonesia.
Pengaruh agama, dan sistem budaya ketimuran, yang semakin nyata dalam kehidupan ekonomi telah meruntuhkan paradigma positivisme yang telah digunakan oleh para sarjana klasik (Nelson, 2001). Konsekuensinya, hal ini juga berpengaruh pada penggunaan metodologi baru, dari yang sebelumnya kuantitatif, komparatif-historikal menjadi kualitatif-ethnografis. Dengan metode baru ini, studi tentang agama dan kehidupan ekonomi ini lebih menggambarkan budaya (culture), praktek-praktek sosial (social practices), pelaku (agency), pengkonstruksian (constructedness) dan ketertancapan/keterbumian (embeddedness) (Robert Wuthnow, 2005: 603-607). Untuk menggambarkan kegiatan ekonomi di dunia berkembang maka konsep social embededdness (keterbumian sosial) yang menekankan pada hubungan sosial dan nilai moral harus dikedepankan. Melalui konsep ini, tindakan ekonomi manusia tidak selamanya didasarkan pada pasar atau struktur ekonomi yang besar, tapi dipengaruhi oleh adanya hubungan-hubungan sosial atau jaringan-jaringan sosial yang ada, atau disebut juga dengan ekonomi substantif.
Kesimpulan
Ekonomi sebagaimana yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Barat didasarkan pada pendekatan empirik yang mendesak ekonomi tersebut untuk hanya tergantung pada nilai-nilai yang bersifat positive dan mengabaikan nilai normative. Padahal, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normative diantara ilmu-ilmu sosial lainnya. Model dan teorinya akan selalu didasarkan pada sistem nilai tertentu, yaitu pada pandangan tentang hakikat manusia. Dengan demikian, ilmu ekonomi sudah seharusnya mengintegrasikan positivisme dan normativisme, antara pertimbangan rasional dan nilai atau moral.
Studi di Desa Sukakarya ini membuktikan bahwa sistem perbankan, salah satu aspek sistem kapitalisme, dimana pragmatisme dan rasionalisme menjadi motornya, belum membuat perilaku-perilaku sosial ekonomi (social actions) sebagian kaum Muslim di desa ini mengalami sekularisasi. Selain budaya perbankan yang belum tumbuh, tradisi keagamaan masyarakat lebih bersesuaian dengan sistem ekonomi yang bersifat mikro, karena lebih substantif dan membumi (social embededdness). Sistem koperasi, misalnya, yang mengutamakan nilai-nilai humanis dan moral (shared altruistic values) lebih bisa diterima oleh masyarakat yang masih memegang solidaritas sosial yang bersifat mekanik.
Selain itu, Islam yang menjadi pedoman hidup warga desa, telah memberikan jalan tengah yang adil. Terdapat keseimbangan yang adil untuk berbagai: Antara dunia dan akhirat, akal dan hati, rasio dan norma, idealisme dan fakta, individu dan masyarakat, dan seterusnya. Sebagai tuntunan hidup, Islam diturunkan untuk menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam skala mikro maupun makro, termasuk persoalan kehidupan yang bernama ekonomi itu.
Saran
1. Walaupun penelitian ini dilakukan di salah satu desa di Bogor, Jawa Barat. Tapi, beberapa temuan lapangan bisa dianggap sebagai cerminan pola umum karakteristik desa di banyak tempat di Indonesia, seperti homogen dari segi agama dan budaya serta solidaritas sosial yang masih tinggi.
2. Sistem pembangunan ekonomi yang selalu menomorsatukan pasar dan cenderung liberal perlu ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya masih tinggal di desa dan masih memegang nilai-nilai budaya dan agama.
3. Sistem ekonomi yang menekankan nilai-nilai humanis dan moralitas agama dianggap lebih cocok dan lebih subtantif untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat Indonesia.
Daftar Referensi:
Alatas, Syed Farid. (2006). Alternative Discourses in Asian Social Science: Responses to Eurocentrism. California: Sage Publication, Inc.
Antonio, Muhammad Syafii (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, cetakan ke-3.
Barro, Robert J. (2004). "Spirit of Capitalism: Religion and Economic Development." In Religion, Harvard International Review, Vol. 25 (4) Winter 2004.
Beckert, Jens (2006). "Interpenetration Versus Embededdness: The Premature Dismissal of Talcott Parsons in the New Economic Sociology," in American Journal of Economics and Sociology, Vol. 65, No. 1 (January 2006).
Chapra, M. Umer (2000a) "Is it necessary to have Islamic economics ?" In The Journal of Socio-Economics. 29 (2000) 21-37.
_____________ (2000b). The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester, UK: The Islamic Foundations.
Chowdhury, A. Mushtaque and P. Mosley. (2004). "The Social Impact of Microfinance," in Journal of International Development, 16, 291-300 (2004).
Choudhury, Masudul Alam and Md. Mostaque Hussain (2005). "A Paradigm of Islamic Money and Banking," in International Journal of Social Economics, Vol, 32, No. 3, 2005.
Choudhury, Masudul Alam, (2006). "Islamic Macroeconomics?" in International Journal of Social Economics, Vol, 33, No. 2, 2006.
Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. (2nd Edition) California: Sage Publications, Inc.
Eldines, Achyar (2007). Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam ,Posted by girat purwadi at 7:02 PMhttp://www2.blogger.com/postedit.g?blogID=4959698292342146413&postID=4980720529571690998, April 8, 2007.Hefner, Robert W (2001). "Public Islam and the problem of democratization." Dalam, HYPERLINK "http://proquest.umi.com/pqdweb?RQT=318&pmid=26351&TS=1103940355&clientId=45625&VType=PQD&VName=PQD&VInst=PROD" Sociology of Religion. Washington: Vol.62, Iss. 4; pg. 491, 24 pgs.
__________ (2003). "Islamizing Capitalisme: On the Founding of Indonesia’s First Islamic Bank". In Arskal Salim and Azyumardi Azra (eds), Shari’a and Politics in Modern Indonesia. ISEAS. Singapore: 148-167.
Hill, Hal (2001). "Small and Medium Enterprises in Indonesia." In Asian Survey, 41 (2): 248-70.
Heilbroner, Robert L. (2000), Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press.
Neil J. Smelser and Richard Swedberg, (eds). (2005). Handbook of Economic Sociology. Russel Sage Foundation: Princeton University Press.
Nelson, Robert (2001). Economics As Religion. University Park PA, The Pennsylvania State University Press.
Neuman, W. Lawrence (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Ap