Kurikulum Cinta: Nafas Baru Moderasi Beragama, Bisakah?

29 Jul 2025
Kurikulum Cinta: Nafas Baru Moderasi Beragama, Bisakah?
Kepala Balai Litbang Agama Makassar, Pepi Albayqunie.

Moderasi Beragama telah menjadi kerangka strategis Kementerian Agama dalam merawat keberagaman dan mencegah polarisasi ekstrem dalam kehidupan keagamaan di Indonesia selama lima tahun terakhir. Kebijakan ini dirancang sebagai upaya serius negara untuk menjaga kerukunan dan stabilitas sosial dalam konteks masyarakat yang majemuk dan rawan benturan.

 

Selama periode tersebut, Moderasi Beragama dijalankan melalui berbagai program terstruktur. Kementerian Agama menyusun modul pelatihan, menyelenggarakan workshop dan penguatan kapasitas, membentuk jejaring fasilitator, serta mengintegrasikan nilai-nilai moderasi dalam sistem pendidikan keagamaan.

 

Kerja-kerja ini menunjukkan bahwa Moderasi Beragama bukan sekadar narasi, melainkan telah menjadi instrumen kebijakan yang hadir di tengah masyarakat. Ia memperkuat kesadaran kolektif bahwa hidup berdampingan dalam perbedaan membutuhkan sikap adil, saling menghargai, dan berpikir terbuka.

 

Empat indikator utamanya—komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta penerimaan terhadap tradisi lokal—telah dikembangkan melalui berbagai pelatihan, penguatan kapasitas, dan pendekatan berbasis komunitas.

 

Sejak pertama kali diluncurkan, Moderasi Beragama telah menjangkau berbagai kelompok masyarakat, mulai dari ASN, tokoh agama, dosen, penyuluh, guru, hingga pemuda lintas iman.

 

Investasi negara dalam pelatihan Moderasi Beragama tidaklah kecil. Ribuan fasilitator telah disiapkan. Para alumni pelatihan kini tersebar sebagai penggerak yang memahami pentingnya keberagamaan yang adil, seimbang, dan kontekstual. Ini adalah kekuatan sosial dan institusional yang perlu dimaksimalkan potensinya.

 

Saat ini, Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar memperkenalkan satu gagasan besar Kurikulum Cinta. Gagasan ini lahir sebagai respons atas kebutuhan pendekatan yang lebih menyentuh dimensi batiniah manusia. Cinta, dalam pengertian yang ditawarkan, adalah prinsip universal yang melampaui batas agama, sekat identitas, bahkan perbedaan ideologis. Cinta adalah bahasa kemanusiaan yang paling hakiki.

 

Sebagian publik menilai bahwa kehadiran gagasan kurikulum cinta dimunculkan sebagai pengganti gagasan moderasi beragama. Menurut saya tidak. Kurikulum cinta bisa menjadi perluasan rohaniah dan pendekatan batiniah dari kerangka kerja yang telah dibangun oleh gerakan moderasi beragama. Ia menghadirkan kedalaman rasa pada struktur berpikir yang selama ini dibangun melalui Moderasi Beragama. Dengan demikian, Kurikulum Cinta dapat digerakkan secara langsung melalui modul, pendekatan, dan jaringan pelatihan Moderasi Beragama yang telah mapan.

 

 

Secara substantif, empat indikator Moderasi Beragama dapat ditransformasikan ke dalam dimensi Kurikulum Cinta sebagai berikut:

Cinta Tanah Air – Merupakan perluasan dari komitmen kebangsaan. Cinta tanah air bukan hanya sikap politik atau legal-formal, tetapi kesadaran batin untuk menjaga tanah sebagai ruang hidup bersama. Ia mencakup penghormatan pada simbol-simbol negara, partisipasi aktif dalam menjaga keutuhan bangsa, serta komitmen membangun peradaban yang adil dan berkeadaban.

 

1.      Cinta Sesama Manusia – Diturunkan dari indikator toleransi. Cinta kepada sesama mengandaikan kemampuan untuk hadir dalam ruang yang plural, mendengar yang berbeda, dan berbagi ruang secara adil. Cinta ini menjadi fondasi dalam membangun relasi antariman, antarbudaya, dan antarwarga bangsa.

 

 

2.      Cinta akan Hidup Damai – Berakar dari prinsip penolakan terhadap kekerasan. Dalam Kurikulum Cinta, hidup damai bukan sekadar kondisi sosial, tetapi juga sikap spiritual. Ia mengajarkan bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, adalah bentuk kegagalan mencintai. Oleh karena itu, cinta menjadi basis dalam membangun resolusi konflik, pendidikan perdamaian, dan keberagaman yang sehat.

 

 

3.      Cinta Lingkungan – Merupakan pembaruan dari semangat menerima tradisi lokal dan memperluasnya ke dalam konteks ekologi. Lingkungan dalam Kurikulum Cinta tidak hanya merujuk pada alam, tetapi juga pada budaya. Menjaga lingkungan berarti merawat alam sekaligus menghormati kearifan lokal sebagai warisan nilai dan identitas bersama.

 

 

Gagasan Kurikulum Cinta justru memberikan nafas baru bagi gerakan Moderasi Beragama. Ia mengajak semua pihak untuk melihat kerja-kerja moderasi tidak hanya dari sisi legal-formal atau wacana, tetapi juga dari sisi batiniah yang lebih halus dan mendalam. Dalam dunia yang semakin kompleks, cinta menjadi jembatan yang bisa menyatukan nalar, rasa, dan tindakan.

 

Moderasi Beragama telah membangun kerangka berpikir, tetapi penguatan sisi afektif dan spiritual menjadi tantangan selanjutnya. Di titik ini, gagasan Kurikulum Cinta relevan untuk dikembangkan. Cinta memperluas makna moderasi, menjadikannya bukan sekadar kerangka berpikir, tetapi juga sikap hidup yang berakar pada kasih, kepedulian, dan tanggung jawab antarmanusia.

 

Integrasi antara Moderasi Beragama dan Kurikulum Cinta dapat menjadi agenda strategis Kementerian Agama. Dengan memanfaatkan jaringan fasilitator yang telah terbentuk, Kurikulum Cinta dapat diterapkan dalam kegiatan pendidikan keagamaan, pelatihan ASN, penyuluhan masyarakat, dan penguatan narasi-narasi publik keagamaan. Transformasi ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin—agama yang menghadirkan rahmat, kasih sayang, dan cinta.

 

(Pepi Albayqunie)

Penulis: Pepi Albayqunie
Sumber: Pepi Albayqunie
Editor: Dewi Indah Ayu D.
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI