Aku Islam, Aku Toraja, dan Aku Bangga
Oleh Ammy Sudarmin
Tenaga Pendidik Kementerian Agama Kabupaten Tana Toraja di SMK Negeri 1 Tana Toraja.
Tana Toraja (Balitbang Diklat)---Toleransi adalah sebuah kata yang menjadi menu wajib untuk diperdengarkan dan didengungkan di tengah kemajemukan agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di negara kita tercinta.
Berbagai ulasan, seminar, dialog, bahkan regulasi yang dibuat sebagai upaya untuk tetap menjaga kondusifnya kehidupan berbangsa dan bernegara di Bumi Pertiwi.
Pun, semua usaha yang telah dilakukan, tak pernah bisa dipungkiri bahwa masih banyak ketimpangan yang terjadi dimana-mana. Bahasa mayoritas-minoritas masih masif dalam praktek hidup walau sekali lagi dalam teorinya selalu disanggah.
Berbagai peristiwa dan kejadian oleh pihak-pihak yang selalu merasa benar dengan keyakinannya sendiri, menampar kita untuk tersadar bahwa wacana ini belum sepenuhnya berhasil.
Aku yang lahir dan besar di sini. Di Tana Toraja, terkadang merasa risih, jika menyaksikan berbagai peristiwa di luar sana yang sangat berpotensi untuk merusak tatanan kedamaian yang terajut indah dari dulu di Tana Para Raja ini.
Tapi ketakutan itu hanya ketakutan. Bagaimanapun, sebagian besar masyarakat masih bijak dalam menyikapinya. Hal tersebut tidak memiliki pengaruh besar dalam menciptakan keharmonisan hidup.
Sangat manusiawi ketika ada muncul riak, gelombang, lontaran kata-kata emosional sebagai reaksi normal. Namun, itu pelan-pelan akan kembali teredam dengan advice bijak yang tidak mengeneralkan peristiwa tersebut untuk semua kalangan.
Aku bersyukur sebagai umat Muslim yang lahir dari keluarga dengan keyakinan majemuk, masih ingin hidup penuh dinamika dengan keluarga, rekan, sahabat yang sekali lagi walau tidak sekeyakinan, namun menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghargai dan menghormati.
Toleransi bukan hanya sebuah kata abstrak. Toleransi benar-benar terintegrasi dalam pola hidup dan bermasyarakat. Tak pernah ada saling membandingkan, tak ada pula saling hujat, maupun bahasa-bahasa penolakan. Kehidupan mengalir seiring sejalan dengan keyakinan masing-masing. Saling memberi ruang, saling mengerti bahkan saling tolong. Ya, "tolong-menolong" tanpa melihat latar belakang.
Hanya di Toraja kita akan menyaksikan pengecoran masjid dilakukan secara gotong-royong oleh jemaah masjid bersama warga gereja. Aku mengatakan bersama, karena jumlah jemaah dari masjid dan jemaah dari gereja kadang berbanding lurus. Bukan hanya sekedar pencitraan dengan mengutus beberapa orang atau beberapa perwakilan. Mereka bekerja bersama. Sama-sama mengangkat bahan bangunan, sama-sama kotor, sama-sama tertawa, dan sama-sama lelah.
Kegiatan membangun rumah ibadah ini pun terjadi sebaliknya, sangat indah pemandangan kerukunan di Toraja. Damai hati saat menjalani rutinitas hidup penuh gotong-royong tanpa sekat.
Dalam hajatan-hajatan besar di kabupaten, selalu ada ruang yang dibuka untuk warga Muslim, bahkan untuk menandai sebuah moment penting, maka bunyi beduk akan disandingkan dengan bunyi lonceng dan gong. Simfoni yang indah bukan?
Pernah suatu ketika, lomba Hifdzil Qur'an digemakan dalam sebuah aula Gereja Katolik. Lomba lain dalam hajatan itu dilaksanakan pula di aula ruang Gereja Toraja.
Salat Maghrib bagi para peserta dan juri dilaksankan di lokasi gereja dengan menyiapkan sebuah ruangan yang sekiranya sangat nyaman untuk beribadah. Luar biasa bukan?
Pada perayaan hari besar keagamaan, ruang publik yang sekiranya akan digunakan, diberi akses seluas-luasnya lengkap dengan para pemuda-pemuda himpunan gereja yang bersiap mengamankan. Tugas ini tanpa komando, tanpa diminta. Semua berjalan layaknya memang sudah semestinya begitu. Benar-benar membuat segala kecemasan dan kekhawatiran sirna tak berbekas.
Lalu, bagaimana dengan kuliner yang selalu menjadi tanda tanya besar bagi warga Muslim dari luar Toraja?
Tak perlu khawatir, dalam hajatan Rambu Tuka' (acara suka cita) dan Rambu Solo' (acara dukacita) selalu ada pihak dari sesama jemaah yang diberi kepercayaan untuk mengelola dan menjaga masakan agar tidak bercampur dengan makanan "non halal". Setelah itu, makanan didistribusikan lengkap dengan peralatan steril dan dipersiapkan khusus untuk umat Muslim. Jadi, tak ada keragu untuk menikmati hidangan itu.
Warung makan dan jajanan pun ada yang berlabel halal dengan tulisan Arab sebagai penanda atau simbol bagi yang ingin mencicipi kuliner. Meski demikian, tetap dibutuhkan literasi dan kehati-hatian saat memilih tempat makan demi menuntaskan dahaga dan lapar.
Karena ini Toraja, maka berbagai warung makan dan jajanan juga menyiapkan menu-menu khusus khas lokasl. Menurutku itu sah-sah saja. Tapi ini bukan masalah, bagi kami yang lahir dan besar di sini sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Sebab untuk bisa hidup di suatu wilayah, kita wajib beradaptasi dengan kebiasaan di sana. Dan, Alhamdulillah sampai sekarang aku belum pernah salah makan atau salah diberi makan.
Inilah Toraja
Negeri elok dengan kultur budaya unik serta kemajemukan yang tetap harmonis.
Ini Toraja dengan rumah Tongkonan sebagai simbol tempat berkumpulnya seluruh keluarga dan di atasnya kadang-kadang ditemukan patung Yesus, kaligrafi Al-Qur'an, kalung Rosario, bahkan sesajen bagi pemeluk kepercayaan leluhur.
Ini Toraja, yang sampai saat ini hidup tentram, saling berdampingan dan berpegangan tangan.
Dan ini Aku, seorang Muslim yang lahir, besar, dan Insyaallah hingga tutup usia sebagai Islam. Merdeka dalam beribadah, bebas mengembangkan bakat serta minat, diberi peluang yang sama dalam berkarir, dan tak pernah risih dengan busana yang mengidentikkan keislamanku.
Untuk itulah aku bangga dan bersyukur hidup bumi ini. Bahkan jika ada pertanyaan dimana aku akan dilahirkan kembali, tanpa ragu aku akan memilih di sini, di Land Of The King. Tana Toraja.[]
Ammy Sudarmin/diad