Badan Litbang dan Diklat Terima Kunjungan Perwakilan Pendeta
Jakarta (26 Februari 2015). “Saya rasa sudah ada titik kesepakatan dalam diskusi ini. Kita sama-sama menilai bahwa PBM ini perlu ditingkatkan menjadi undang-undang,” demikian ungkap Rohmat Mulyana, Sekretaris Badan Litbang dan Diklat. Pernyataan ini disampaikan saat menyimpulkan diskusi di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (25/2).
Diskusi diselenggarakan saat perwakilan pendeta Propinsi Jawa Barat, yang dipimpin oleh Yudi H. Tamara bertamu ke Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama. Dalam kesempatan ini, tamu undangan diterima oleh Sekretaris Badan Litbang dan Diklat , dan didampingi para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Yudi, yang juga merupakan anggota DPRD dari Fraksi Hanura, menyampaikan bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk sharing informasi terkait implementasi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Ia melihat dalam implementasinya, PBM seringkali disalah-artikan oleh oknum aparat di daerah. “Karena tidak mencantumkan ancaman sanksi hukum, seringkali PBM tidak dipatuhi oleh aparatur pemerintah di daerah,” demikian ujarnya.
Pernyataan ini dibenarkan oleh pendeta Serang, peserta diskusi yang turut hadir. Pendeta yang mewakili Persatuan Gereja dan Lembaga Injil Indonesia (PGLII) menyatakan, bahwa pihaknya sudah berusaha memenuhi berbagai persyaratan sebagaimana diatur oleh PBM, namun upaya itu akhirnya gagal hanya karena ada satu oknum tokoh ormas yang tidak setuju. Ketidaksetujuan ini membuat Kepala Kantor Kementerian Agama tidak berani mengeluarkan surat rekomendasi.
Menanggapi berbagai informasi yang disampaikan, Ibnu Hasan, Kepala Bidang Hubungan Antarumat Beragama/peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyatakan, bahwa apa yang disampaikan sejalan dengan temuan-temuan penelitian. Dalam implementasinya, memang aparatur di daerah seringkali tidak memahami dengan benar isi PBM. Pada dasarnya, tidak ada umat beragama yang tidak boleh mendirikan rumah ibadah. PBM ini hanya sekedar memberikan regulasi agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat,” demikian ujarnya.
Oleh karena itu, ia menyayangkan jika ada aparat pemerintah yang tidak bersedia mengeluarkan rekomendasi. Ibnu menambahkan, “jika secara administratif sudah dipenuhi persyaratannya, maka tidak ada alasan untuk tidak menerbitkan surat rekomendasi pendirian rumah ibadah.”
Akmal Salim, peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan menambahkan, bahwa apa yang dikeluhkan oleh para delegasi sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh lembaganya. Ia menyatakan memang terdapat permasalahan pemahaman aparatur pemerintah terhadap isi dan makna PBM. Ia juga menambahkan, bahwa permasalahan lain adalah tidak adanya sanksi hukum yang diatur dalam PBM ini. Akibatnya ada beberapa oknum yang tidak merasa bersalah jika tidak menjalankan amanah PBM. “Untuk itu, kami mendorong agar PBM dapat ditingkatkan menjadi undang-undang agar memuat ancaman sanksi bagi yang melanggarnya,” demikian ujarnya.
Diakhir diskusi, salah satu perwakilan pendeta menyatakan, bahwa pihaknya bersedia bekerjasama untuk mensosialisasikan PBM kepada aparatur di daerah. “Kami siap bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bandung untuk menghimpun para camat dan lurah. Dalam forum ini, saya berharap tim dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan dapat menyampaikan isi dan pesan PBM kepada mereka,” ujarnya.
Tawaran ini tentu disambut dengan baik. Kustini, salah satu pejabat eselon III di Puslitbang Kehidupan Keagamaan menyampaikan, “Saya kira jarak antara Jakarta-Bandung tdaklah jauh. Tentu kami sangat senang jika kerjasama ini bisa direalisasikan. Semoga hal ini bisa segera terwujud” []
Ags/viks/ags