Balitbang Diklat Merespon Perubahan, Ini Alasan Perlunya Analisis Kebutuhan Jabatan
Depok (Balitbang Diklat)---Widyaiswara adalah mesin roda organisasi pelatihan pada Balitbang Diklat. Maka perlu analisis kebutuhan jabatan agar tidak kekurangan widyaiswara (WI).
“Kita masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) widyaiswara. Oleh karena itu, kita perlu memetakan dan menganalisis data kebutuhan widyaiswara,” ungkap Plt. Sekretaris Balitbang Diklat Arskal Salim GP saat mengawali arahan pada kegiatan Penilaian Angka Kredit Widyaiswara Periode II tahun 2023 di Depok, Rabu (3/5/2023).
Menurut Arskal, pemetaan tersebut juga bertujuan agar SDM widyaiswara tetap terpenuhi secara proporsional dan seimbang mengingat kebutuhan diklat semakin besar. Selain itu, akan memudahkan dan membantu proses rekrutmen CPNS sesuai kebutuhan organisasi.
Terkait widyaiswara, Arskal juga mengimbau agar terus meningkatkan kompetensi formal dan non formal. “Kebutuhan diklat semakin bertambah dan berkembang, maka kualifikasi pendidikan widyaiswara perlu diperhatikan. Jangan sampai ada kecanggungan sebab pendidikan WI lebih rendah dibandingkan peserta diklatnya,” katanya.
Lebih lanjut, Arskal juga mengingatkan bahwa di Balitbang Diklat, bukan hanya widyaiswara yang menjadi pemeran utama. Terdapat pula berbagai jabatan fungsional yang berperan untuk menggerakkan roda organisasi.
“Selain widyaiswara, jabatan fungsional lainnya memiliki peran penting. Mumpung kita bersiap-siap masuk ke bahtera baru Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM), maka kita perlu memiliki data pemetaan jabatan fungsional untuk proyeksi kebutuhan SDM tersebut,” ujar pria kelahiran Makassar ini.
“SDM yang ada di Balitbang Diklat perlu penguatan yang tidak bisa dianggap remeh. Jangan hanya sekedar diskusi, tapi perlu langkah-langkah konkret untuk mewujudkannya,” tandasnya.
Merespon perubahan
Beberapa tahun ini, Balitbang Diklat mengalami banyak perubahan. Salah satunya perubahan jabatan dari struktural menjadi fungsional. Merespon hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah nyata agar perubahan berlangsung dengan baik tanpa kendala berarti.
“Kita merespon perubahan ini dengan hati-hati karena tidak ingin merugikan siapapun, khususnya Kementerian Agama. Proses transisi ini perlu dikawal dengan baik agar berjalan sesuai dengan kebutuhan organisasi,” kata Arskal.
Selain jabatan, perubahan terjadi pula pada sistem penilaian kinerja. Saat ini, penilaian bukan lagi menggunakan sistem angka kredit, tetapi melalui format SKP. Oleh karena itu, perlu diantisipasi agar tidak ada manipulasi data.
“Apakah pengusulan SKP tersebut perlu melampirkan berkas hasil pekerjaan. Ini bisa menjadi salah satu opsi, maka mekanisme agenda penilaian SKP bisa dibuat sebulan sekali. Jadi seleksi berkas dokumen menjadi dua tahap, misalnya memverifikasi berkas dan menilai kualitas hasil pekerjaan,” tuturnya.
Dengan demikian, SKP yang akan menjadi standar dalam penilaian bisa terjamin kualitasnya. “Ini perlu menjadi agenda untuk masuk rencana kerja anggaran 2024. Pada pertengahan tahun ini, penilaian sudah harus berbasis SKP, maka kita coba melakukan antisipasi agar jangan sampai terjadi manipulasi data,” tutupnya.
Diad/Sr