Bedah Buku Gerakan Green Islam: Dari Gempita Seremoni ke Implementasi Nyata

Jakarta (BMBPSDM)---Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama kembali menggelar kegiatan literasi keilmuan melalui Bedah Buku Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi, dan Jaringan. Diskusi menghadirkan narasumber Testriono sebagai salah satu penulis buku, Sekretaris BMBPSDM Kemenag Ahmad Inung selaku pembahas, dan peneliti BRIN Raudatul Ulum sebagai moderator.
Buku tersebut merupakan hasil penelitian kolaboratif antara Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Testriono mengatakan bahwa gerakan Green Islam adalah organisasi atau komunitas lingkungan yang bergerak berdasarkan identitas kolektif Islam, baik formal maupun informal. Terdapat beberapa organisasi keagamaan yang terlibat di dalam gerakan tersebut.
”Gerakan Green Islam di Indonesia meliputi Organisasi Masyarakat (Ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, Komunitas (Save Ake Gaale), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Koalisi,“ ujar Testriono di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Menurut Testriono, dalam implementasinya gerakan tersebut tidak hanya menjadi prioritas umat Islam melainkan seluruh umat beragama di Indonesia sebagai kebijakan kolabortaif lintas agama.
”Kami tidak hanya memotret aktivisme lingkungan oleh organisasi besar, tetapi juga berbagai inisiatif yang tumbuh di banyak komunitas Muslim lain, baik skala lokal maupun nasional,“ katanya.
“Buku ini menjadi pondasi penting dalam pengembangan kebijakan Ekoteologi yang kini menjadi bagian dari Asta Protas Kementerian Agama,“ imbuhnya.
Sekretaris BMBPSDM Ahmad Inung mengapresiasi keberadaan buku setebal 306 halaman tersebut sebagai studi yang komprehensif, sekaligus membuka ruang untuk riset lanjutan.
Pada kesempatan tersebut, Sesban Ahmad Inung menyoroti tiga pendekatan yang digunakan dalam Green Islam yaitu Antroposentrism, Ecosentrism, dan Teosentrism. Ia mengingatkan akan konsekuensi kritis dari pendekatan tersebut, khususnya terhadap dominasi perspektif antroposentris.
Ia menambahkan bahwa peran manusia sebagai khalifah seringkali dipahami secara bias, yang justru dapat berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
“Sejak awal, manusia cenderung merusak alam. Maka perlu ada kajian yang memosisikan manusia dengan lebih adil,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Sesban Ahmad Inung juga mengungkapkan bahwa saat ini Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) tengah mengembangkan tafsir Ecotheological Quranic sebagai respons atas kebutuhan mendesak akan perspektif teologis yang pro-lingkungan.
“Kita harus membangun perspektif yang tepat tentang status khalifah manusia, terutama yang terkait dengan isu-isu ekologis,” tandasnya.
Menutup bahasannya, Sesban menekankan bahwa gerakan Green Islam masih berada pada tahap seremoni simbolik, dan belum sepenuhnya menyentuh aspek implementasi dalam perilaku publik.
“Misalnya, ketimbang gegap gempita dalam narasi penanaman sejuta pohon matoa, bagaimana jika seremoni itu diubah menjadi perilaku nyata seperti gerakan bersama membatasi penggunaan plastik atau alat berbahan yang merusak lingkungan,” pungkasnya.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Bagian Umum dan Perpustakaan BMBPSDM Rizki Riyadu Taufiq menyampaikan bahwa prinsip menjaga lingkungan adalah nilai universal lintas agama.
“Di Eropa ada gerakan Kristen Hijau, umat Buddha dengan Buddhisme Hijau, dan di India dengan Sikhisme Hijau,” ujarnya, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas iman dalam gerakan pelestarian lingkungan.
Diskusi berlangsung secara hybrid dari Studio Mini Theater Perpustakaan Kemenag dan disiarkan melalui Zoom serta kanal YouTube Perpustakaan Kemenag RI. Kegiatan dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan.
(Sri Hendriani)