Desa, Surga Semua Umat: Tafsir Sosial Kerukunan di Pabuaran

Bogor (BMBPSDM)---Surga, dalam pelbagai kitab suci, kerap ditafsirkan sebagai janji kehidupan abadi setelah kematian. Ia adalah imaji tempat penuh kedamaian, tanpa konflik, tanpa kebencian, tempat segala kebajikan dihargai. Namun, selama ini tafsir surga lebih banyak diposisikan dalam kerangka teologis, bukan sosial. Surga menjadi milik eksklusif agama tertentu, lengkap dengan dogma dan ritus yang spesifik. Pembacaan seperti ini menyempitkan ruang sosial antar pemeluk iman, apalagi dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.
Padahal, jika merujuk pada teori sosiolog agama seperti yang dikemukakan Robert Bellah tentang "agama sipil", surga bisa dilihat secara lebih universal. Dalam agama sipil, nilai-nilai keagamaan tak hanya berhenti pada ajaran masing-masing agama, tapi juga menjelma sebagai nilai sosial yang disepakati bersama. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, cinta kasih, dan perdamaian bisa menjadi perekat sosial lintas iman.
Di sinilah relevansi untuk menafsirkan surga sebagai realitas sosial, bukan sekadar realitas eskatologis. Surga bisa dihadirkan di bumi, di tengah kehidupan masyarakat, manakala kerukunan, keadilan, dan kebersamaan menjadi praktik hidup sehari-hari. Dan Desa Pabuaran di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, adalah contoh nyata dari tafsir sosial tersebut.
Desa Pabuaran: Ruang Hidup yang Menghidupi
Pabuaran bukanlah desa dengan sejarah besar yang melegenda, bukan pula lokasi yang sering menjadi pusat perhatian nasional. Namun, pada 12 Juli 2025, desa ini menjadi sorotan karena merayakan sebuah peristiwa penting: Festival Kerukunan.
Apa yang membuat festival ini menarik? Ia bukan sekadar parade budaya atau acara seremonial. Festival ini mencerminkan keberhasilan masyarakat desa dalam membangun integrasi sosial yang melampaui sekat agama, etnis, dan budaya. Dalam teori Emile Durkheim, masyarakat seperti ini disebut sebagai masyarakat yang berhasil membangun solidaritas organik --yakni solidaritas yang muncul dari perbedaan namun saling melengkapi.
Durkheim menegaskan bahwa agama memiliki fungsi sosial untuk memperkuat solidaritas dan stabilitas masyarakat. Namun, Pabuaran melangkah lebih jauh, dengan keragaman komunitas iman (Islam, Konghucu, Sikh, Budha, Kristen, Katolik). Agama bukan hanya fungsi sosial, tetapi juga menjadi dasar untuk membangun perjumpaan. Agama hadir bukan untuk membatasi, tapi membuka. Bukan untuk mengkotak-kotakkan, tapi menyatukan.
Harmoni Lintas Tradisi: Dari Sunda ke Betawi
Secara geografis, Pabuaran berada di wilayah yang identik dengan kultur Sunda. Namun, dalam Festival Kerukunan, justru atraksi budaya khas Betawi seperti "buka palang pintu" menjadi bagian penting. Ini menunjukkan bahwa identitas budaya di desa ini bersifat inklusif.
Menurut teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead, budaya adalah simbol. Ketika simbol budaya bisa diterima dan dihayati bersama, maka di situ terjadi proses pertukaran makna sosial. Di Pabuaran, budaya tidak dibakukan dalam identitas etnik, melainkan menjadi alat komunikasi antar kelompok.
Ritual buka palang pintu dalam konteks ini bukan hanya seremoni adat pernikahan, tapi simbol keterbukaan. Pintu bukan untuk ditutup, tapi dibuka bagi siapa saja, apapun latar belakang agamanya.
Festival Kerukunan: Agama, Negara, dan Masyarakat
Festival ini digelar oleh Lembaga Kerukunan Umat Beragama (LKUB) Desa Pabuaran dan didukung unsur pemerintahan setempat. Kehadiran lembaga ini sendiri menunjukkan bahwa kerukunan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Ia diorganisir, dirawat, dan direncanakan. Sosiolog Anthony Giddens menyebut proses ini sebagai strukturasi, di mana struktur sosial tidak hanya membatasi, tapi juga memberi daya kepada aktor untuk menciptakan perubahan.
Hadir dalam festival ini sejumlah tokoh penting, termasuk Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), Kepala Biro Ortala Kemenag, Sesdirjen Bimas Kristen serta representasi Pusat Konghucu dan Kankemenag Bogor. Hal ini menunjukkan sinergi antara masyarakat, negara, dan agama dalam membangun perdamaian.
Dalam arahan Menteri Agama Kabinet Merah Putih, Nasaruddin Umar, kerukunan tidak bisa dibangun hanya dengan retorika. Ia harus nyata dalam tindakan, dalam ruang publik, dan dalam kebijakan. Festival ini adalah perwujudan nyata dari arahan tersebut.
Kerukunan sangat penting karena ia merupakan modal sosial dalam lanskap kebhinnekaan di Indonesia. Menurut Pierre Bourdieu, modal sosial adalah jaringan, hubungan timbal balik, dan kepercayaan yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Desa Pabuaran telah membangun modal sosial ini secara konsisten. Mereka tidak hanya hidup berdampingan, tapi hidup bersama.
Dalam konteks Indonesia yang sering diwarnai oleh konflik berbasis agama dan identitas, Pabuaran menjadi semacam "laboratorium sosial" yang membuktikan bahwa kerukunan bisa diciptakan dari bawah. Bukan melalui narasi elite, tapi melalui praktik masyarakat sehari-hari.
Kerukunan umat beragama, dari sudut pandang sosiologi, bukanlah sekadar absennya konflik, melainkan suatu kondisi dinamis di mana pelbagai kelompok agama hidup berdampingan secara harmonis, saling menghormati, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam masyarakat. Ini melibatkan interaksi sosial yang kompleks, norma-norma yang disepakati, dan struktur sosial yang mendukung koeksistensi damai.
Surga dalam Perspektif Sosiologis
Jika surga adalah tempat di mana tidak ada lagi kebencian, maka Pabuaran telah memilikinya. Jika surga adalah tempat di mana semua orang dihargai dan hidup dalam damai, maka Pabuaran telah menciptakannya. Ini sejalan dengan gagasan Talcott Parsons bahwa sistem sosial yang sehat adalah sistem yang mampu menjaga integrasi, adaptasi, dan stabilitas.
Parsons menyebut agama sebagai subsistem dari sistem sosial yang lebih besar. Namun, ketika agama mampu bersinergi dengan subsistem lain --seperti budaya dan negara--, maka ia menjadi kekuatan integratif. Itulah yang terjadi di Pabuaran.
Dari Desa ke Dunia: Mewujudkan Agama yang Berdampak
Festival Kerukunan di Pabuaran tidak hanya penting untuk masyarakat lokal. Ia seyogianya memberi inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia. Bahkan bisa menjadi model dunia tentang bagaimana masyarakat plural bisa hidup damai.
Dalam banyak pidatonya, Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan bahwa agama harus berdampak. Agama tidak boleh hanya mengurus urusan akhirat, tapi juga harus membawa kedamaian di dunia. Pabuaran menunjukkan bahwa ajaran ini bisa diwujudkan.
Surga tidak harus menunggu datangnya hari akhir. Ia bisa dihadirkan hari ini, di sini, di tengah masyarakat. Tapi surga sosial bukan hadiah. Ia adalah hasil dari kerja sama, pengorbanan, dan kesediaan untuk saling memahami.
Pabuaran telah menunjukkan itu. Kini tugas kita bersama merawat surrga, bukan hanya untuk satu umat, tapi untuk semua umat. (Firman Nugraha, widyaiswara Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung)