Belajar Bela Negara dari KH Raden Asnawi Kudus
Makassar (7 Juni 2017). Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. sangat terinspirasi atas ketokohan KH Raden Asnawi (1816-1959), ulama Kudus yang sangat disegani. Dalam aktivitas kesehariannya, Kiai Asnawi selalu istiqamah dalam mengembangkan dakwah dan penanaman rasa nasionalisme yang tinggi.
Hal tersebut diceritakannya saat didaulat membuka resmi dua lokakarya (workshop) yang diinisiasi Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan di Makassar, Rabu (7/6) malam. Acara yang digelar di hotel Grand Clarion, Makassar, Sulawesi Selatan ini dijadwalkan selama tiga hari, Rabu-Jumat, 7-9 Juni 2017.
“Tokoh ini pernah menjadi pengurus Sarekat Dagang Islam (SDI). Tidak pernah menjadi pengurus NU meski ikut mendirikannya. Karya-karya beliau yang paling banyak dibaca adalah dalam bentuk kitab fikih berbahasa Jawa,” tutur pria kelahiran Kudus ini.
Karena terinspirasi atas ketokohan KH Raden Asnawi, Mas’ud lalu mengangkatnya dalam disertasi doktoral yang ia selesaikan pada 1997 di kampus University of California Los Angeles (UCLA), AS. Lebih lanjut, bapak empat anak ini menyampaikan bahwa sosok Kiai Raden Asnawi merupakan representasi dari perjuangan dan keterlibatan ulama dan santri yang terlibat dalam memperjuangkan keutuhan NKRI.
“Saya kira banyak hal yang bisa dikaji dari tema Pemikiran Bela Negara. Artinya, sudah tidak diragukan lagi keterlibatan ulama dan santri ikut dalam membela negara. Hal ini sekaligus menjawab kritik dan tuduhan kepada pesantren yang mengatakan bahwa pendidikannya kurang memperhatikan nasionalisme dan cinta Tanah Air,” tandas Mas’ud.
Guru Besar UIN Walisongo Semarang ini menilai, dengan digelarnya lokakarya Pendidikan Bela Negara (PBN) di Pesantren bisa menumbuhkembangkan informasi kepada publik bahwa pesantren sejak zaman penjajahan hingga sekarang terus mencintai Tanah Air. Kiai Raden Asnawi Kudus bisa menjadi sosok dai nasionalis, pendakwah yang sangat membela negaranya.
Kabid Litbang Pendidikan Pesantren, Muhammad Murtadlo, dalam laporannya menyatakan, naskah akademik tidak sekedar hasil yang tertulis. Akan tetapi, lebih teraplikasikan dalam dunia nyata. “Bela negara, representasi berbangsa dan bertanah air artinya dimulai dari pesantren untuk pesantren, bangsa dan negara,” tandasnya.
Murtadlo menambahkan, lokakarya Bela Negara merupakan workshop terakhir yang sebelumnya telah digelar di Bogor pada April 2017, dan di Solo pada bulan berikutnya. “Workshop di Makassar ini menjadi finalisasi penyusunan naskah akademik. Kami berharap naskah akademik ini akan maksimal karena pokok pikiran yang ada dalam naskah ini merupakan representasi usulan dari para ulama akademisi,” paparnya.
Sementara itu, Kabid Litbang Pendidikan Agama dan Pendidikan Tinggi Keagamaan, Nurudin Sulaiman, mengatakan penyusunan bahan ajar Laboratorium Dakwah di Perguruan Tinggi Keagamaan juga merupakan lokakarya kedua setelah pada April lalu dilaksanakan di Yogyakarta.
“Diharapkan setelah workshop ini akan tersusun bahan ajar yang lebih baik dan lengkap agar bisa digunakan oleh PTKI di seluruh Indonesia,” harap Nurudin.
Kepala Balai Litbang Agama (BLA) Makassar, Hamzah Harun, yang hadir dalam acara tersebut menyatakan yang bisa membangun jiwa raga kita adalah pesantren. “Pesantren merupakan garda terdepan dalam membela negara,” tandas Hamzah.
Kasubbag TU Puslitbang Penda, Rizal Rangkuti, sebelumnya menginformasikan bahwa pihaknya sedang menggelar dua lokakarya (workshop) sekaligus, yakni ‘Pendidikan Bela Negara (PBN) di Pesantren’ dan ‘Penyusunan Bahan Ajar Laboratorium Dakwah di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)’.
“Untuk peserta workshop PBN di Pesantren, setidaknya ada 50 pimpinan pesantren se-Sulsel. Sedangkan Penyusunan Bahan Ajar Laboratorium Dakwah di PTKI pesertanya 75 orang terdiri dari para praktisi pendidikan, dosen sejumlah kampus di Makassar,” kata Rizal melalui telepon. (Musthofa Asrori/bas)