Berbincang Moderasi Beragama Bersama Konjen RI Istanbul
Istanbul (Balitbang Diklat). Moderasi Beragama menjadi hal menarik dibicarakan ketika tim peneliti bertemu dengan Konsul Jenderal (Konjen) di Istanbul dan tim KJRI lainnya. Hal ini sesuai dengan tema yang diangkat dalam penelitian kali ini untuk wilayah Turki yang dilaksanakan oleh tim peneliti Puslitbang LKKMO Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Senin (16/12) setelah bertolak dari Konya, tim sampai di Istanbul pada siang hari. Begitu tiba di KJRI, tim disambut langsung oleh Konjen Iwan Wijaya Mulyanto, Jepri Edi, dan Nia.
Pada kesempatan ini, tim diwakili oleh Kabid Litbang Lektur Keagamaan, Bahari menyampaikan sambutan, maksud serta tujuan program yang dilakukan selama enam hari di Turki. Pengalaman yang diperoleh selama di Konya juga disampaikan oleh tim lainnya dan menjadi tema diskusi menarik dalam melihat moderasi di Turki.
Konjen menyampaikan bahwa Turki adalah negara sekuler. Dalam pembinaan agama tidak diberikan arahan-arahan tertentu, kecuali memberikan fasilitas seperti penggunaan listrik dibebaskan. Namun, dalam pelaksanaan ibadah dan sikap mereka terhadap agama tetap peduli. Masjid umpamanya pada umumnya ramai dikunjungi terutama waktu sholat.
Tidak ada pembatasan bagi orang yang hendak masuk masjid. Umat non-Muslim pun diperkenankan masuk masjid dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Kemudian, berdoa untuk membantu saudara-saudara di Palestina tidak ditutup-tutupi. Selain itu, berita-berita tentang radikalisme tidak dibombastiskan.
Selanjutnya, Konjen mengatakan bahwa terdapat penganyoman yang sempurna dari manyoritas ke minoritas, sehingga kaum yang minoritas merasa aman berada di negara ini. Ia mencontohkan Rumi dan pengikutnya dapat hidup berdampingan dengan kaum non-Muslim dan bahkan mengajari mereka ilmu-ilmu agama serta tasawuf yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Terlihat bahwa moderat di Turki tidak ada restriksi. Berbeda dengan Indonesia yang sesama antar agama terjadi friksi.
Menanggapi paparan Konjen, secara bergantian para peneliti menyampaikan hasil kunjungannya. Secara umum, menurut para peneliti kunjungan tersebut merupakan benchmarking pengelolaan benda cagar budaya.
Dalam hal ini, meskipun Rumi lebih dulu dua abad dari pada Walisongo, peninggalan Rumi lebih lengkap dan lebih terpelihara. Dengan demikian, ada nuansa tersendiri saat melihat benda-benda peninggalan Rumi tersebut. Hal ini diibaratkan seorang anak yang sangat mencintai ibunya yang sudah wafat. Sang anak jika dihadapkan dua buah pakaian yang sama bentuk, ukuran, dan warnanya, tapi yang satu masih baru dan yang satu sudah kumal, maka ia akan melihat hingga ingin memegang dan mendekatkannya ke hidung untuk mengekspresikan kecintaannya.[]
Teks/foto: Fakhriati
Editor: diad