Buka Diklat Tiga Angkatan, Kepala Badan Tegaskan Pentingnya Pemahaman Agama yang Moderat
Ciputat (7 November 2017). Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan kembali menggelar tiga angkatan diklat, yaitu Diklat Teknis Substantif Mata Pelajaran (Mapel) Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MTs, Diklat Teknis Substantif Edukasi Kerukunan Umat Beragama (KUB) Angkatan II, dan Diklat Fungsional Pembentukan Jabatan Pengawas (Calon Pengawas) Angkatan III. Diklat Mapel SKI diikuti oleh 30 orang guru MTs, Diklat KUB diikuti oleh 30 orang guru pondok pesantren, dan Diklat Calon Pengawas diikuti oleh guru yang akan menduduki jabatan pengawas. Seluruh peserta merupakan utusan Kanwil Kementerian Agama Provinsi.
Kepala Badan Litbang dan Diklat (Kaban) Kementerian Agama, Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D., membuka diklat tersebut secara resmi pada Selasa, 7 November 2017 di Kampus Diklat Kementerian Agama, Ciputat, Tangerang Selatan. Menyertai Kaban, hadir pula Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Dr. Mahsusi, MM., Pejabat Eselon III dan IV, serta sejumlah Widyaiswara. Berbeda dengan diklat sebelumnya, diklat tiga angkatan kali ini memiliki corak tersendiri dengan hadirnya para kyai dan ustaz dari pondok pesantren yang siap menerima materi edukasi KUB.
Dalam arahannya, Kaban pertama kali mengajak guru SKI untuk mengkreasi pembelajaran yang menarik. Problem utama pembelajaran SKI adalah rendahnya daya tarik dan minat siswa mempelajari SKI. “Guru harus mampu menstimulasi siswa agar mencintai dan menyenangi pelajaran sejarah. Kitab suci umat Islam, Al-Qur’an, juga banyak mengandung pesan-pesan sejarah dalam bentuk kisah”. Mengutip kitab tafsir karya Syaikh Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M), Marah Labid, Kaban menjelaskan kandungan sejarah dalam surat pertama Al-Qur’an, al-Fatihah. “Dalam ayat ketujuh surat al-Fatihah, terdapat tiga kelompok pelaku sejarah, yaitu pertama orang-orang yang diberi nikmat, kedua orang-orang yang dibenci, dan ketiga orang-orang yang tersesat. Bila dielaborasi dalam konteks sejarah, ketiga kelompok tersebut jelas merupakan bagian dari peristiwa masa lalu. Dengan demikian, mempelajari dan mencintai sejarah adalah sebuah keniscayaan”, tegas Kaban.
“Tokoh-tokoh terdahulu, sebut misalnya Imam Syafi’i, yang lebih populer sebagai ahli fikih, ternyata juga mempelajari sejarah. Tidak kurang dari 12 tahun Imam Syafi’i membaca buku-buku sejarah. Demikian juga tokoh-tokoh besar lainnya seperti al-Thabari, al-Masduki, dan lain-lain, mereka bukan hanya menulis sejarah, tetapi juga melakoni babak sejarah pada masanya dengan bersafari ke berbagai tempat. Dalam konteks inilah guru harus menanamkan minat membaca buku-buku sejarah pada diri anak. Problem kurangnya minat belajar sejarah salah satunya disebabkan pendekatan pembelajaran sejarah yang mendominankan memorisasi atau menghapal. Pembelajaran sejarah jangan hanya menghapal kapan dan dimana sebuah peristiwa terjadi, melainkan harus sampai kepada pertanyaan limadza? Why?”, ungkap Guru Besar UIN Walisongo Semarang ini.
Terkait diklat kerukunan, Kaban mengajak peserta untuk bersyukur karena Indonesia termasuk negara yang relatif rukun, tidak seperti negara-negara lain yang kerap dilanda konflik. Hal ini dipertegas oleh hasil survei indeks kerukunan tahun 2016 berada pada posisi 75,47. Indeks tersebut menunjukkan bahwa Indonesai adalah negara yang cukup harmonis. Meski demikian, harus diakui masih ada gejala-gejala disharmoni terutama disebabkan kontestasi politik. Inilah yang harus diantisipasi oleh para pemuka agama termasuk pimpinan dan guru pondok pesantren. Pesantren merupakan benteng penjaga kerukunan, bahkan keutuhan NKRI. Dengan mengutip hasil survei Alvara Research Center, Kaban mengingatkan bayaha radikalisme ibarat kanker yang sudah masuk ke sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. “Jangan sampai radikalisme masuk ke pondok pesantren”, tukas Kaban.
Melanjutkan arahannya, Kaban menekankan pentingnya pondok pesanten sebagaimainstream pemahaman agama yang moderat. “Dalam rangka menangkal radikalisme inilah, pondok pesantren harus mengembangkan dakwah yang santun, uswatun hasanah, qaulan layyina, dan ummatan wasatha. Radikalisme agama berkembang karena pemahaman agama yang dangkal, parsial, dan cenderung tekstual. Pemahaman keagamaan radikal sebenarnya bukan tipikal orang Indonesia. Muslim Indonesia sesungguhnya adalah muslim yang moderat. Muslim Indonesia adalah muslim yang mengembangkan ukhuwah basyariyah, ukhuwwah wathoniyyah, dan ukhuwwah Islamiyyah”, ungkap Kaban.
Terkait Diklat Calon Pengawas, Kaban menekankan pentingnya mengembangkan sikap persahabatan antara pengawas dan yang diawasi, yaitu sebuah sikap empati dari pengawas kepada yang diawasi. “Pengawas dan yang diawasi ibarat saudara, bukan seperti antara dua pihak yang bermusuhan. Peran pengawas selain sebagai supervisor, pada saat yang sama ia juga sebagai problem solver (pemecah masalah) atas masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. Dalam hal ini, pengawas juga berperan sebagai motivator dalam rangka mengubah nasib seseorang yang diawasi dari tidak baik menjadi lebih baik”, pungkas Kaban. (efa_af/bas)