DAMPAK SOSIAL DARI PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN DI INDONESIA OTONOMI VERSUS ETATISME; Studi Kasus Sejarah Lahirnya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa
DAMPAK SOSIAL DARI PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN DI INDONESIA OTONOMI VERSUS ETATISME;
Studi Kasus Sejarah Lahirnya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa
Oleh: Tim Peneliti
21 halaman
Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan
1985-1986
Kegiatan missi Katolik benar-benar terhenti ketika VOC mulai menduduki Minahasa pada tahun 1657. Dan sejak saat ini dimulai perkabaran Injil oleh Gereja Protestan. Pendeta Belanda pertama kali datang ke Minahasa pada tahun 1662. Selain itu beberapa pendeta yang berkedudukan di Ternate sesekali datang mengunjungi Minahasa. Keadaan perkabaran Injil yang tidak mapan itu berlangsung cukup lama hingga tahun 1800-an. Sejak itu perkabaran Injil berjalan agak lebih intensif. Beberapa pendeta datang mengunjungi Minahasa, seperti pendeta J. Kam dari Ambon (1817), pendeta D.Lenting dari Semarang (1819) dan pendeta J.Chr. Jungmichel dari Ternate (1821). Dua orang pendeta yang dikirim oleh Nederlandse Zendelinggemootschap (NZG) bekerja di Minahasa dengan gaji dari Pemerintah.
Dengan kedatangan pekabaran Injil J.F. Riedel dan J.G. Schwarz pada tahun 1831 perkabaran Injil di Minahasa beralih kepada dan ditangani oleh NZG, sebuah organisasi zending yang berpusat di Rotterdam, Negeri Belanda. Kedua orang ini sangat berjasa dalam meletakkan landasan yang kukuh bagi penyebaran agama Kristen yang lebih merata di Minahasa. Beberapa tahun kemudian NZG menempatkan beberapa pekabar Injil ke beberapa daerah di Minahasa. Selain kegiatan penyebaran agama Kristen NZG juga mendirikan Sekolah Guru dan Sekolah Pembantu Pekabar Injil. Pendeta NZG yang terakhir ditempatkan di Minahasa, yakni di Talawaan, terjadi pada tahun 1864. Dengan penempatan pendeta tersebut, M. Van Der Wal, di Talawaan tersebut, praktis seluruh daerah Minahasa telah dijangkaui Pekabaran Injil.
Sejarah berdirinya KGPM menggambarkan perpaduan antara komitmen agamawi dan kesadaran nasional di kalangan umat Kristen di Minahasa. Perpaduan ini telah melahirkan suatu dinamika patriotik sebagaimana terlihat dalam pergumulan antara cita-cita kemandirian dan praktek birokratisasi etatistik dalam pembinaan kehidupan gereja di Minahasa. Oleh karena itu kelahiran KGPM bukan sekedar peristiwa keagamaan akan tetapi juga merupakan peristiwa politik.
Tindakan pemerintah kolonial yang mengubah Indische Kerk di Minahasa menjadi Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) satu setengah tahun setelah berdirinya KGPM merupakan usaha Pemerintah Kolonial untuk membatasi pengaruh KGPM. Namun tak terhindari dinamika patriotik lambat laun juga memasuki GMIM. Hal ini dengan sendirinya tidak menguntungkan perkembangan KGPM. KGPM menjadi gereja minoritas di kalangan umat Kristen di Minahasa. Jumlah anggota KGPM jauh lebih sedikit di banding jumlah anggota GMIM. ***