Di Balik Kisah Pembuatan Film Tondok Solata Kerukunan Umat Beragama di Toraja (Selesai)

8 Mar 2019
Di Balik Kisah Pembuatan Film Tondok Solata Kerukunan Umat Beragama di Toraja (Selesai)

Oleh: Muh. Irfan Syuhudi (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)

Pesan Damai dari Toraja

SIANG itu, menjelang masuk waktu Jumat, seorang perempuan muda berjilbab terlihat tengah mengatur nasi bungkus di depan pintu lantai bawah Masjid Taqwa, Kampung Baru, Tana Toraja (Tator), Sulawesi Selatan. Dengan penuh semangat, perempuan muda ini bekerja bersama beberapa ibu, dan anak perempuan usia Sekolah Dasar.

Kedua tangan perempuan muda itu cukup terampil melakukan tugasnya; menerima nasi bungkus dari warga muslim yang datang memberi sumbangan, dan kemudian menyusun rapi di atas sebuah meja panjang. Ada yang memberikan nasi bungkus, kue tradisional, air gelas mineral kemasan dos, serta kopi dan teh siap minum yang ditaruh di dalam termos besar.

Nantinya, makanan, minuman, kue tradisional, serta kopi dan teh yang tersedia tadi, diperuntukkan buat jamaah yang Jumatan di masjid ini. Pemberi sumbangan ini umumnya jamaah Masjid Taqwa, yang tinggal di sekitar Jalan Mayor Rukka Andi Lolo, tempat lokasi masjid berada.

Seusai shalat Jumat, jamaah makan bareng di lantai bawah masjid. Namun, bagi yang tidak ingin makan di masjid, mereka bisa membawa pulang bungkusan nasi tersebut. Suasana makan bareng ini seperti buka puasa. Di sini terlihat jelas keakraban sesama jamaah.

Jamaah yang datang Jumatan tidak hanya warga sekitar, melainkan juga warga lain, seperti orang kantoran dan orang-orang yang sementara melintas, dan ingin shalat Jumat. Shalat Jumat di masjid ini baru terlaksana sejak September 2018. Dulunya, masjid ini nyaris tidak pernah digunakan Jumatan, lantaran kekurangan jamaah.

Warga sekitar masjid lebih sering Jumatan di masjid lain. Padahal, Masjid Taqwa ini telah berusia belasan tahun. Hanya saja, kondisi fisik masjid sekarang dengan dulu sudah terlihat berbeda. Kini, masjid yang dibangun atas swadaya umat muslim sekitar, sudah terlihat bagus. Meski terkesan tersembunyi, letaknya di pinggir jalan raya.

Umat muslim yang berdomisili di seputaran jalan ini, tidak seberapa. Ia bisa dihitung jari. Ia minoritas dibanding umat Kristiani, yang sejak dulu jumlah penduduknya tercatat paling banyak di Tator dan Toraja Utara.

Berdasarkan jumlah penganut agama, Tana Toraja termasuk wilayah yang jumlah penduduknya paling banyak beragama Kristen, yaitu 184.875, disusul Katolik (50.158), Islam (34.275), Hindu (10.214), dan Buddha, 19. Menurut beberapa informan, tidak semua penganut agama Hindu berasal dari Bali. Ada juga orang Toraja yang secara administratif (Kartu Tanda Penduduk) tertulis agama Hindu, tetapi sebenarnya mereka menganut Aluk Tudolo. Sedangkan di Toraja Utara, bila dipresentasikan, pemeluk Kristen sebanyak 72,46%, Katolik (20,97%), dan Islam, 6,57%

Imam Masjid Taqwa, Herman Tahir, mengaku banyak suka dukanya mengurus masjid dan jamaah. Meski begitu, ia bersyukur karena jamaah yang melaksanakan Shalat Jumat semakin bertambah, atau setidaknya, seluruh shaf selalu terisi penuh.

"Alhamdulillah. Padahal, kami dulu sangat khawatir memulai Shalat Jumat di sini. Saya sampai menyuruh anak laki-laki saya menghitung jumlah jamaah yang datang," kata Herman, yang juga Kepala Sekolah SMPN 1 Makale, yang ditemui di sekolah dan kediamannya.

Kami yang ikut Shalat Jumat melihat, masjid ini memang terisi penuh. Bahkan, ada juga anak-anak perempuan usia Sekolah Dasar. Anak-anak ini nantinya ikut membantu membagikan makanan dan minuman, serta mencuci piring. Semua tampak riang gembira melaksanakan tugasnya masing-masing.

Uniknya, letak masjid ini tak jauh dari kandang babi. Bahkan, kata Herman, saat bangunan masjid belum seperti sekarang ini, kotoran babi tersebut sempat masuk ke dalam masjid.

"Waktu itu hujan keras, dan kami kena banjir sampai sebetis. Nah, kotoran itu masuk juga ke dalam masjid, karena bangunan masjid saat itu memang rendah. Tapi, tidak apa-apa. Kami beramai-ramai membersihkannya dengan ikhlas," ujar Herman, yang juga menjabat Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Makale.

Tak bisa dipungkiri, Herman Tahir, adalah tokoh masyarakat, sekaligus tokoh agama, yang cukup disegani di Tator. Bersama istrinya, ia menjadi penggerak utama membangkitkan beragam kegiatan di Masjid Taqwa. Karena kepengurusan masjid belum berjalan seperti masjid-masjid pada umumnya, maka Herman untuk sementara ini, yang sering mengambil alih semuanya. Termasuk menjadi khatib Jumat dan imam masjid.

"Saya juga pelan-pelan lagi mengkader anak-anak muda di sini untuk menjadi protokol di masjid. Alhamdulillah, mereka yang awalnya tidak mau dan malu-malu, akhirnya mau juga," katanya.

Bukan itu saja. Untuk meramaikan masjid pada saat shalat Jumat, istri Herman, yang merupakan anak Tokoh Muhammadiyah Toraja, "memaksa" tukang ojek muslim yang sering mangkal di depan masjid, dan kebetulan berasal dari Gowa dan Jeneponto, untuk ikutan shalat di masjid.

"Istriku bilang, kalau kamu tidak mau masuk Shalat Jumat, jangan lagi cari muatan di dekat Masjid Taqwa. Haha. Alhamdulillah, mereka semua sekarang datang Jumatan tanpa disertai paksaan," kata Herman, yang telah menetap di Tator selama 27 tahun.

Selama berdomisili di Tator, ia mendapat banyak pengalaman berharga, terutama dalam menjalin keakraban, dan membangun relasi sosial dengan orang yang berbeda keyakinan. Herman tinggal di rumah mertuanya di sebuah lorong, di mana ia menjadi minoritas di situ. Hampir semua tetangganya memeluk Kristen. Bahkan, ada satu sumur umum, yang sebagian besar warganya melakukan aktivitas mandi dan mencuci di situ, sejak dulu sampai sekarang. Termasuk keluarga besar Herman.

Saat mertuanya masih hidup, ia sering menjadikan rumahnya tempat beragam aktivitas dan berkumpulnya orang-orang dari berlainan agama dan etnis. "Bahkan, pada saat Natal, banyak tetangga Kristen yang memasak di rumah untuk persiapan Natal. Kami selalu baku bantu-bantu sampai sekarang," katanya.

Karena itulah, Herman dan istrinya ingin melanjutkan tradisi orang tua mereka yang dipandang positif dalam melakukan interaksi dengan orang yang berbeda agama dengan mereka.

"Kami sejak dulu sudah hidup rukun dan akrab dengan tetangga dan orang-orang yang berbeda agama. Makanya juga, saya dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan tentang toleransi dan indahnya menjaga kerukunan antarumat beragama," katanya.

Dalam salah satu adegan, seorang tokoh adat Toraja, Cornelius Pasulu’, menyatakan, kerukunan antarumat beragama yang terbangun di Toraja adalah salah satu warisan dari leluhur mereka yang ingin melihat masyarakat Toraja hidup dalam kedamaian. Makanya, meski di antara mereka ada yang berbeda keyakinan, semua tetap dianggap bersaudara.

“Masih sering ditemui di Toraja ada tiga keluarga dengan tiga agama (Kristen, Islam, Aluk Todolo), tinggal dalam satu rumah, dan mereka rukun-rukun saja,” kata Cornelius.

Di Toraja, sejak dulu sampai sekarang, orang berbeda agama dan etnis, selalu hidup damai. Tak pernah sekalipun terdengar ada perkelahian, apalagi konflik, yang membawa-bawa nama agama maupun etnis. Jangankan relasi antartetangga yang berbeda keyakinan, relasi antar keluarga pun demikian. Mereka saling bantu, saling menyemangati, dan saling mendoakan satu sama lain.

Seorang pendeta di Tator bercerita, ayah kandungnya seorang muslim. Hubungan ia dan ayahnya tetap baik-baik saja hingga ayahnya meninggal. Ayahnya sering mengingatkan dan memarahi bila ia tidak pergi gereja. "Kalau memeluk agama itu harus total. Itu bentuk pertanggungjawaban kita nanti dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Beribadah itu salah satu ciri orang yang beragama," pesan ayahnya.

Kepala Bagian Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, Rudi Irwan Suhadi, yang hampir 20 tahun menetap di Tator, dan punya banyak keluarga Kristen dari istrinya, mengaku, relasi ia dan keluarga besar istrinya, tetap harmonis. "Justru, kami heran kalau misalnya ada orang yang ribut, dan lantas bawa-bawa nama agama. Di Toraja tidak berlaku seperti itu," kata Rudi, alumni Antropologi Universitas Hasanuddin.

Di samping rumah Rudi di Makale, ada sebuah tongkonan besar peninggalan mertuanya. Setiap kali ada acara keluarga penting, termasuk perayaan keagamaan, Idul Fitri dan Natal, tempat itu sering dijadikan ajang ngumpul-ngumpul keluarga.

Bukan sebuah pemandangan aneh melihat seorang muslim menjadi panitia Natalan dan pembangunan rumah ibadat di Toraja. Yunus Tajuddin, seorang muslim, sering dipercaya menjadi panitia perayaan Natal di kampungnya. Kebetulan, keluarga dan kerabat Yunus banyak yang memeluk Kristen. Demikian pula sebaliknya. Uparaca adat kematian Toraja, Rambu Solo, yang dilakukan umat Kristen, selalu dihadiri umat Islam.

Bagi orang Toraja, relasi antarumat beragama sudah melebur cair di sini. Nyaris tak ada sekat-sekat lagi. Itu adalah warisan berharga peninggalan leluhur mereka, yang terus dilanjutkan dan kemudian diwariskan oleh generasi berikutnya. Juga, hampir semua perumahan penduduk dan kompleks perumahan dihuni orang-orang berbeda identitas sosial.

Menurut Pendeta Daud Sangka Palisungang, kerukunan antarmasyarakat dan antarumat beragama di Toraja diambil juga dari filosofi Tongkonan. Dalam satu tongkonan misalnya, biasa tinggal lebih dari satu kepala keluarga, dan seringkali pula keluarga itu ada yang berbeda agama.

Meski hampir tidak ada lagi yang menetap di dalam Tongkonan, seperti dilakukan leluhurnya ratusan tahun lalu, namun orang Toraja tetap memperlakukan Tongkonan sebagai peninggalan leluhur yang mesti dijaga, dilestarikan, dan dirawat baik-baik.

Selain Tongkonan, ada juga yang namanya alang atau lumbung. Alang memiliki ukiran ayam dan matahari di atas bangunan, yang dimaknai lambang kemakmuran orang Toraja. Alang dibangun sesuai jumlah keturunan, dan difungsikan untuk menyimpan padi-padi dan (zaman dulu) barang berharga. Pada saat ini, orang Toraja masih sering menggunakan alang sering untuk tempat berkumpul keluarga dan kerabat, dan warga masyarakat.

Orang Toraja sebenarnya mengenal dua jenis rumah, yaituBanua Tongkonan yang berarti rumah adat, dan Banua Barung-Barung atau rumah pribadi dan rumah penduduk pada umumnya. Tongkonan berasal dari kata Tongkon, yang berarti duduk bersama-sama, menduduki, atau tempat duduk. Disebut demikian, karena pada awalnya Tongkonan dijadikan tempat berkumpul para bangsawan Toraja untuk mendiskusikan banyak hal menyangkut politik, agama, dan budaya, dan sosial kemasyarakatan.

Bagian dalam ruangan Tongkonan dijadikan tempat tidur, ruang berkumpul keluarga, dan dapur. Pada bagian dalam Tongkonan tanpa dinding pemisah (kamar atau ruangan khusus), sehingga tiap-tiap anggota keluarga bisa saling melihat aktivitas yang mereka lakukan. Namun, Tongkonan saat ini tidak lagi digunakan sebagai rumah tempat tinggal. Saat ini, Tongkonan cenderung dianggap sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja.

“Alang dan Tongkonan dibangun secara berhadapan arah utara dan selatan. Bagi kami orang Toraja, Tongkonan dan Alang disimbolkan orang tua (ibu dan ayah). Tongkonan itu ibu yang melindungi anak-anaknya, yaitu orang Toraja, sedangkan alang/lumbung adalah ayah yang menjadi tulang punggung,” kata Pendeta Daud.

Syuting selama sepekan ini, 25 Februari – 3 Maret 2019, dilakukan di perkampungan di Kecamatan Gandang Batu Sillanan Tana Toraja, Masjid Agung Rantepao, Kampus STAKN Toraja, Rumah adat Tongkonan, Masjid Taqwa Kampung Baru, SMPN 1 Makale, pasar, dan beberapa objek wisata di Toraja.(*/Selesai)

M. Irfan/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI