DINAMIKA KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT YOGYAKARTA
DINAMIKA KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT YOGYAKARTA;
(Studi Tentang Konflik dan Kerukunan Antar Umat Beragama Di DIY)
Tim Puslitbang Kehidupan Beragama
2006
Wilayah penelitian ini adalah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dengan mengambil lokasi di beberapa kawasan perumahan, yaitu 2 perumahan di Kota Yogyakarta, 4 perumahan di Kabupaten Sleman dan 2 perumahan di Kabupaten Bantul. Dipilihnya kawasan perumahan ini didasari pertimbangan, antara lain bahwa kawasan perumahan tersebut relatif lebih merepresentasikan pluralisme keberagamaan penghuninya, sehingga lebih mudah untuk dipetakan relasi-relasi sosial keagamaan yang ada, baik relasi internal warga perumahan, maupun hubungannya dengan warga setempat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus. Dalam hal ini, yang menjadi informan kunci adalah para tokoh agama dari kelompok Islam (setempat dan pendatang), kelompok Nashrani (Katholik dan Kristen), kepala desa dan seperangkatnya, beberapa pejabat terkait, warga masyarakat dan lain-lain. Ada 3 (tiga) teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni: (a) wawancara mendalam (in-depth interview), (b) observasi partisipasi (participant observation), dan (c) Studi dokumentasi.
Dari beberapa data yang terkumpul menunjukan bahwa keberadaan umat Islam di semua perumahan yang menjadi sampel penelitian ini selalu berada paling banyak dari segi jumlahnya. Terkait dengan aspek keberagamaan, umat Islam perumahan relatif lebih heterogen daripada umat Islam setempat dilihat dari segi pengetahuan agama yang dimiliki, pengamalan dan praktek ritual kegamaannya. Adapun dilihat dari afiliasi faham dan praktek ritual keagamaannya, dapat dikelompokan menjadi tiga kecenderungan, yaitu ada yang cenderung mengikuti tatacara Muhammadiyah, NU dan praktek ibadah yang dijalankan oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai kelompok Salafi. Meskipun terdapat kecenderungan pengamalan keagamaan yang berbeda, tetapi praktek-praktek keagamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa-Islam pada umumnya juga dapat disaksikan di perumahan, seperti selamatan, tahlilan dan lain-lain.
Pandangan sebagian besar umat Islam terhadap keberadaan umat agama lain relatif toleran. Hal ini disebabkan karena mereka terlibat secara intens dengan umat agama lain dalam kehidupan sehari-hari sebagai tetangga, sehingga mereka merasa bisa bekerjasama dengan umat lain. Memang ada sebagian umat Islam perumahan yang menghindari bergaul dengan umat agama lain, tetapi jumlah mereka relatif sedikit, terutama dari kelompok yang cenderung mengikuti faham Salafi.
Sementara, keberadaan umat Nashrani di perumaham selalu menduduki rangking kedua setelah umat Islam dilihat dari jumlah pemeluknya. Sedikitnya jumlah mereka, menyebabkan orang luar kurang mengetahui secara persis, apakah mereka berafiliasi pada agama Katholik atau Kristen. Tetapi, berdasarkan pengakuan para warganya, baik pemeluk Katholik maupun Kristen, mereka bersama-sama menganggap diri mereka sebagai pemeluk Nashrani. Ini dibuktikan dengan adanya perkumpulan yang diberi nama Persekutuan Warga Nashrani Bukit Sion, sebagai wadah bersama pemeluk Katholik dan Kristen di perumahan Bumi Trimulyo Permai Bantul. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan penting diantaranya beberapa bentuk nyata kerukunan beragama, baik yang bersifat internal agama maupun antar agama, pada dasarnya terbina dan terpelihara dengan baik, karena adanya beberapa faktor yaitu; Pertama, adalah kesamaan tempat tinggal.
Kesamaan tempat tinggal membuat penghuni perumahan yang berasal dari berbagai daerah, menjadi tergabung dalam satuan wilayah administrasi yang sama, semisal RT dan RW. Faktor kedua adalah faktor budaya Jawa. Meskipun para penghuni perumahan berasal dari berbagai suku bangsa, namun harus diakui bahwa suku Jawa lah yang paling dominan, apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan warga setempat. Faktor yang ketiga adalah kesamaan politik.Keberadaan partai politik peserta pemilu juga bisa menjadi perekat sosial di antara umat beragama yang ada di perumahan. Faktor keempat adalah pendidikan. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kerukunan beragama yang ada di perumahan adalah tingkat pendidikan yang tinggi. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung berpikir ulang untuk melakukan hal-hal yang bisa menggangu keharmonisan sosial yang selama ini telah terbangun. Faktor kelima adalah kepentingan ekonomi. Aktifitas perdagangan juga menjadi sarana integrasi atau kerukunan sosial yang cukup efektif diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di perumahan transaksi perdagangan yang terjadi sama sekali terlepas dari kepentingan agama, tetapi semata-mata karena kepentingan bisnis-ekonomi. Faktor keenam adalah kebutuhan akan rasa keamanan bersama. Pengamanan lingkungan (siskamling) bisa menjadi perekat sosial terutama di kalangan warga perumahan.
Penelitian ini merekomendasikan perlunya diperkenalkan konsep multi kultural terhadap masyarakat. Sasaran utama pembinaan kerukunan beragama terutama diarahkan kepada tokoh-tokoh lintas agama yang merupakan simbol-simbol masa. Peran aktif FKUB bersama-sama dengan aparat pemerintah setempat dan Departemen Agama memegang peran yang signifikan dalam mengantisipasi dan menyelesaikan konflik antar umat beragama di DIY.