Diseminasi Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Upaya Ciptakan Kampus Nyaman
Malang (Balitbang Diklat)--- Kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi harus diatasi. Tujuannya untuk mewujudkan kampus yang nyaman dan bebas dari kekerasan seksual.
Sekretaris Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Arskal Salim GP menyampaikan hal tersebut saat memberikan arahan pada Diseminasi Kajian Kebijakan Mitigasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Kegiatan merupakan kerja sama Balai Litbang Agama (BLA) Semarang dengan dengan LPPM UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
"Survei terkait kekerasan seksual di perguruan tinggi telah dilakukan di beberapa perguruan tinggi, hasilnya telah terjadi kondisi yang memprihatinkan,” ujar Arskal di Malang, Jumat (3/5/2024).
Lebih lanjut, Arskal menegaskan bahwa diseminasi tersebut tidak hanya dilaksanakan di UIN Malang saja, tetapi akan meluas ke kampus lainnya. "Hal ini bertujuan agar civitas akademika memperoleh pemahaman tentang kekerasan seksual di kampus, baik secara formal maupun informal,” ungkap Arskal.
Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Zainuddin menyatakan bahwa melalui LP2M, pihaknya telah melakukan upaya-upaya terkait kekerasan seksual. “Kondisi kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat cukup memprihatinkan, bahkan dari tahun ke tahun angkanya semakin meningkat,” tuturnya.
"Kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki bisa menjadi korban,” imbuhnya.
Zainuddin menegaskan bahwa persoalan sosial yang timbul di masyarakat akan menjadi fokus perhatian UIN Malang. Dalam upaya untuk berkontribusi, UIN Malang akan memberikan pendidikan mengenai pencegahan kekerasan seksual baik di masyarakat, maupun di lingkungan kampus.
Kekerasan Seksual di Kampus Perlu Perhatian Khusus
Kepala Balai Litbang Agama Semarang Moch. Muhaemin menyatakan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi merupakan masalah mendesak yang memerlukan perhatian serius dari seluruh komunitas akademik. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut melalui deteksi dini dan mitigasi sebagai dua pilar penting yang harus diperkuat.
"Kami telah melakukan kajian riset yang melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Komnas Perempuan, Direktorat Pendidikan Tinggi, dan akademisi ahli,” kata Muhaemin.
Dalam mencegah kekerasan seksual, deteksi dini memainkan peran kunci. Penting bagi seluruh anggota komunitas perguruan tinggi untuk membangun sistem peringatan.
"Basis pengetahuan kita harus mampu menilai potensi terjadinya kekerasan seksual, baik dari segi kebijakan yang mengatur ruang dan interaksi civitas akademik, maupun infrastruktur yang dapat memberikan perlindungan kepada semua pihak,” ungkap Muhaemin.
Ia menegaskan bahwa mitigasi memegang peran penting dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. Diperlukan sistem pendukung yang kuat bagi korban serta implementasi prosedur yang tepat dalam menangani kasus kekerasan seksual.
"Perguruan tinggi harus menyediakan sumber daya dan layanan konseling yang mudah diakses bagi korban. Selain itu, perlu menyusun prosedur yang jelas dalam penanganan kasus kekerasan seksual; termasuk prosedur pengaduan dan investigasi yang adil dan transparan,” tandas Muhaemin.
(Fathurozzi/diad)