Halaqah Ulama ASEAN Hasilkan Tiga Rekomendasi

19 Okt 2017
Halaqah Ulama ASEAN Hasilkan Tiga Rekomendasi

Jakarta (19 Oktober 2017). Halaqah Ulama ASEAN (HUA) 2017 menghasilkan sejumlah rekomendasi yang terangkum dalam tiga rencana aksi. Hal tersebut disampaikan Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag Prof. Amsal Bachtiar dalam upacara penutupan HUA di Jakarta, Kamis (19/10).

Tiga aksi tersebut, kata dia, merupakan perasan dari 17 poin hasil kesepakatan 130 peserta halaqah yang terbagi dalam empat komisi. Empat komisi tersebut yaitu Komisi Ekonomi dan Wirausaha (33 orang), Komisi Wasathiyah (33 orang), Komisi Pendidikan Islam (32 orang), dan Komisi Sosial Politik dan Budaya (32 orang).

Agar lebih fokus, lanjut Amsal, pihaknya akan mengeksekusi tiga hal. Pertama, riset kolaboratif antarpeneliti ASEAN tentang Islam Wasathiyah dan kearifan lokal di Asia Tenggara. Kedua, melakukan pemetaan (mapping) terhadap pesantren yang memiliki daya saing tinggi dalam hal ekonomi, akademik, dan output-nya untuk menjadi role model.

“Ketiga, pertukaran guru antarnegara ASEAN. Tiga ini yang menjadi poin pokok. Sebab, kalau 17 poin tadi terlalu banyak. Nah, ini saya rasa bisa kita lakukan dalam waktu cepat,” ujar Amsal.

Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berharap, tiga aksi tersebut bisa direalisasikan dalam waktu dekat. “Tidak hanya konsep dan gambaran umum saja. Yang penting ada aksinya. Karena kita terbatas anggaran dan tenaganya. Tapi, kalau kita fokus kepada tiga hal saja kita bisa back up dan cek perencanaannya,” tandas Amsal.

Ia menambahkan, rencana aksi ini merupakan tindak lanjut sekaligus pembeda dari Halaqah Ulama ASEAN 2016 yang melahirkan Komitmen Bogor. Pelibatan peneliti ASEAN untuk meriset kearifan lokal tentang agama wasathiyah, moderasi agama di kawasan ini merupakan hal penting. Karena kita sadar, bahwa di ASEAN ini ada tiga agama besar: Islam, Budha, dan Katolik.

“Masing-masing mayoritas di satu tempat, namun minoritas di tempat lain. Nah, kalau kita tidak punya satu komitmen kuat tentang moderasi agama di kawasan, rasa-rasanya kita akan sulit untuk hidup bersama. Katakanlah ada peristiwa di  Myanmar, di Filipina, yang minoritas tertindas,” terangnya.

Mantan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendis Kemenag ini bersyukur di Indonesia yang minoritas tidak tertindas. Di republik ini kita bisa hidup damai berdampingan. Bahkan, kita hargai semuanya. Ada libur untuk Hindu, ada libur untuk Budha, ada libur untuk Kristen-Katolik. “Bahkan, untuk Konghucu pun ikut diresmikan juga. Nah, saya kira Indonesia bisa jadi role model untuk moderasi agama di ASEAN,” tandasnya.

Menurut dia, wasathiyah (moderasi) dan kearifan lokal yang ada di masing-masing negara terkait erat. Semua agama, bagi dia, memiliki kearifan lokal. “Jadi, apakah mereka itu memang punya sifat yang selalu membenci agama orang lain. Apakah mereka nggak punya respek ke agama lain. Itu kan harus kita teliti,” sergahnya.

Pria asal Padang ini menambahkan, alasan itulah yang menjadikan para peneliti ingin melihat dari dekat. Apakah berita yang ada di koran dan media online itu benar semua bahwa di Myanmar, misalnya, tidak ada toleransi sama sekali.

“Itu yang kita gali. Tentu saja, menggali informasi tersebut harus melalui penelitian mendalam. Begitu juga di Laos dan Vietnam sebagai negara sekuler yang tidak mengurus agama kendati mayoritas penduduknya beragama Budha,”pungkas Amsal. (Musthofa Asrori/bas)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI