Harmoni Bukan Hanya Mimpi: Menjaga Stabilitas Sosial melalui Moderasi Beragama
Palembang (Balitbang Diklat)--- Moderasi beragama adalah solusi yang efektif untuk menjaga stabilitas sosial. Ini memberikan kebebasan pada setiap individu untuk mengamalkan agamanya tanpa mengancam harmoni dalam masyarakat.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Suyitno menggarisbawahi pentingnya edukasi kebangsaan dan inklusivitas masyarakat sebagai kunci untuk mencegah penggunaan agama sebagai alat politik. Ia menyampaikan hal tersebut saat memberikan arahan pada FGD Resolusi Konflik Bernuansa Agama yang diselenggarakan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK).
"Edukasi adalah kunci untuk membuka pemahaman yang lebih luas tentang nilai-nilai kebangsaan dan pentingnya saling menghormati perbedaan," ungkap Kaban Suyitno di Palembang, Minggu (12/11/2023).
Menurut Suyitno, pendekatan ini dapat menjadi landasan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keberagaman, menghindarkan masyarakat dari gesekan politik yang dapat merusak kohesi sosial.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Puslitbang BALK M. Arfi Hatim menekankan perlunya fokus pada penanganan konflik berdimensi agama. Ia menyebutkan beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian serius, termasuk konflik sosial antarumat beragama, penolakan terhadap rumah ibadah atau aktivitas keagamaan, dan masalah ujaran kebencian.
"Dalam masyarakat yang plural dan multikultural, kontribusi para narasumber dan penemuan solusi merupakan hal yang sangat penting," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Kapus Arfi menyoroti perlunya melibatkan berbagai pihak dalam mengelola konflik agar dapat mencapai pemahaman bersama dan menghindari polarisasi yang dapat merugikan masyarakat.
“Dari FGD ini akan menjadi sumber inspirasi bagi para peserta, betapa pentingnya mengedepankan pendekatan inklusif dan pendidikan kebangsaan terlihat dalam upaya merawat kerukunan antarumat beragama,” katanya.
Pendekatan inklusif, lanjutnya, memastikan bahwa setiap individu dihormati dan diakui dalam keberagaman mereka, menciptakan lingkungan yang mendukung toleransi. Sementara itu, pendidikan kebangsaan menjadi landasan bagi pemahaman bersama nilai-nilai kebangsaan, memperkuat rasa solidaritas di antara masyarakat yang beragam.
“Dengan demikian, kedua pendekatan ini tidak hanya membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang perbedaan, tetapi juga membentuk dasar untuk memelihara harmoni dan keberagaman di tengah masyarakat yang kompleks,” tuturnya.
FGD Resolusi Konflik Bernuansa Agama menghadirkan narasumber Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Prof. Alfitri, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sumatra Selatan KH. Dr. Mal’an Abdullah, dan Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang Prof. Sirozi, Ph.D.
Hadir pada acara tersebut, perwakilan FKUB Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel), Pengurus MUI Provinsi Sumsel, Kepala Bakesbangpol Provinsi Sumsel, Walubi Provinsi Sumsel, PGIW Provinsi Sumsel, Pemuda PGIW Provinsi Sumsel, GBI Provinsi Sumsel, PHDI Provinsi Sumsel, MATAKIN Provinsi Sumsel, Keuskupan Provinsi Sumsel, Mudika Katolik Provinsi Sumsel, Persis Provinsi Sumsel, PW Muhammadiyah Provinsi Sumsel, ITS NU Sriwijaya Sumsel, UIN Raden Fatah Palembang, PW Nasyiatul Aisiyah Provinsi Sumsel, Pimpinan PW Fatayat NU Provinsi Sumsel, PWNU Provinsi Sumsel, Pimpinan Lakpesdam PCNU Kota Palembang, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumsel, Kantor Kementerian Agama Kota Palembang, BDK Palembang, Ketua Pokjaluh Kantor Kementerian Agama Provinsi Sumsel (Islam) dan Ketua Pokjaluh Kantor Kementerian Agama Sumatra Selatan (Kristen).
Agus Mulyono/diad