Harmonisnya Kaum Santri dan Abangan di Kota Surakarta

20 Agt 2015
Harmonisnya Kaum Santri dan Abangan di Kota Surakarta

Jakarta (20 Agustus 2015). Cliffort Geertz dalam disertasi yang diterbitkan dengan judul The Religion of Java (1961), telah membagi tipologi masyarakat Jawa, khususnya Islam, ke dalam tiga golongan.Pertama, golongan priyayi.  Golongan ini mencakup kalangan masyarakat kelas atas yang terdiri dari para pejabat dan tokoh desa.

Kedua, golongan santri, yaitu kelompok masyarakat yang memegang teguh agama Islam dan mengamalkannya dengan penuh kesungguhan dan ketundukan terhadap ajaran-ajaran Islam. Mereka ini biasanya terdiri dari masyarakat yang menimba ilmu agama dari lembaga-lembaga non formal,  seperti pesarntren.

Ketiga, golongan abangan, yaitu kelompok masyarakat yang dinilai hanya sekedar menganut agama Islam tanpa mau menjalankan berbagai kewajiban-kewajiban agama, seperti salat, puasa, dan lain sebagainya. Kelompok masyarakat ini meskipun beragama Islam, namun dalam praktek kesehariannya lebih memilih mempraktekkan amalan-amalan yang sudah lebih dulu eksis dan telah membudaya di kalangan masyarakat. Oleh Koentjaraningrat kelompok ini disebut sebagai penganut Agama Jawa (Javanese Religion).

Keberadaan kelompok-kelompok tersebut, khususnya antara santri dan abangan, sering diwarnai dengan konflik dan permussuhan. Kaum santri, yang sering juga diidentifikasi sebagai “kelompok hijau” dalam fakta sejarah, seringkali mengalami benturan fisik dan pemikiran dengan kaum abangan yang sering diidentifikasi sebagai “kelompok merah”.

Pertentangan yang paling dahsyat diantara kedua kelompok itu terjadi ketika pecahnya pemberontakan yang dipelopori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat pemberontakan yang dipelopori oleh PKI yang diidentifikasi sebagai “kelompok merah”, kaum santri-lah yang berada pada garda terdepan bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan perlawanan. Luka sejarah ini, dalam beberapa kasus masih membekas sampai saat ini.

Namun demikian, ternyata keberadaan kaum santri dan kaum abangan tidak selalu berada pada posisi yang bertentangan secara diametral. Zaenal Abidin Eko Putro menemukan realitas bahwa tenyata antara santri dan abangan juga dapat hidup berdampingan secara rukun. Ia mengambil lokasi masyarakat sekitar Masjid Laweyan Surakarta sebagai lokus penelitian.

Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2009, ia menemukan bahwa ternyata masyarakat sekitar Masjid Laweyan yang notabene berasal dari beraneka karakter, termasuk  kelompok santri dan abangan, mampu hidup penuh toleransi.

Faktor apa sajakah yang mendukung harmonisasi antara kedua kelompok tersebut, silahkan disimak hasil penelitiannya yang berjudul “Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta”. Artikel ini dimuat dalam Jurnal Harmoni vol 14, No. 1, januari-April 2015 halaman 80-95. Artikel lengkapnya silahkan di download di sini.[]

ags/

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI