Hindari Tumpang Tindih, Regulasi Pendidikan Agama dan Keagamaan Perlu Diubah

8 Nov 2023
Hindari Tumpang Tindih, Regulasi Pendidikan Agama dan Keagamaan Perlu Diubah
Para peserta berpose bersama Kaban Litbang Diklat Prof Amin Suyitno (ketiga kiri) usai pembukaan. (Foto: Ova)

Jakarta (Balitbang Diklat)---Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Puslitbang Penda) menyoroti pentingnya perubahan regulasi PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan di Indonesia. Hal itu dilakukan untuk menghindari tumpeng tindih regulasi.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi penyusunan naskah urgensi yang diinisiasi Puslitbang Penda Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dalam fullday (kegiatan sehari) yang digelar di Jakarta, Selasa (7/11/2023).

Kepala Puslitbang Penda Mohsen Alaydrus dalam laporannya kepada Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kemenag Prof Amin Suyitno mengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memperbarui regulasi pendidikan agama yang mendukung moderasi beragama dan kesetaraan pendidikan keagamaan bagi semua agama.

“Kajian regulasi pendidikan agama dan keagamaan ini merupakan upaya serius Puslitbang Penda untuk mengevaluasi kerangka hukum yang mengatur pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Sebab, pendidikan agama lain perlu kesetaraan yang berkeadilan,” ujarnya.

Habib Mohsen, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa melalui kegiatan ini, pihaknya berusaha mengevaluasi apakah regulasi yang ada sudah sesuai perkembangan zaman dan apakah sudah cukup mewadahi keberagaman agama di negara kita.

Husen Hasan Basri selaku koordinator tim perumus mengatakan bahwa setidaknya ada tiga prinsip yang mendasari penyusunan naskah urgensi tentang perubahan PP No. 55 Tahun 2007. Pertama, peraturan lebih tinggi mengalahkan peraturan lebih rendah.

“Kedua, peraturan baru mengalahkan peraturan lama. Ketiga, peraturan yang mengatur masalah khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum,” kata Husen mengawali paparan.

Latar belakang penyusunan naskah urgensi itu, kata dia, menyusul terbitnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Untuk menghindari tumpang tindihnya hukum menyangkut pesantren, maka perlu dilakukan perubahan PP No. 55 Tahun 2007 yang juga mengatur tentang pesantren.

“Nah, UU 18/2019 ini kemudian menjadi peraturan khusus dari UU 20/2003 tentang Sisdiknas. Sayangnya di dalam UU tentang Pesantren itu tidak ditemukan pemberian kewenangan pelaksanaan lebih lanjut terhadap materi muatan tertentu kepada eksekutif/pemerintah, baik bersifat delegatif maupun atributif, melalui PP. Kecuali hanya melalui Perpres sebagaimana disebutkan pada Pasal 48 ayat (5) tentang Sumber Pendanaan Pesantren dan Pasal 49 ayat (2) tentang Dana Abadi Pesantren,” paparnya.

Peneliti BRIN eks Puslitbang Penda ini mengatakan bahwa perlunya perubahan regulasi itu setidaknya terdapat 2 masalah yang teridentifikasi. Pertama, fenomena dampak sosial yang secara empiris menggambarkan secara ringkas permasalahan yang muncul dari penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di semua agama, yang pelaksanaannya berdasarkan PP 55/2007.

“Merujuk hal tersebut, naskah urgensi ini akan memfokuskan pada penerjemahan pembaharuan pengaturan lebih lanjut, khususnya pada misalnya penyesuaian kurikulum madrasah dan peningkatan kapasitas tenaga pendidik agama,” kata Husen.

Ia menambahkan bahwa naskah urgensi ini disusun dalam kerangka perubahan kebijakan oleh pemerintah menyangkut dinamika perkembangan hukum tentang pesantren dan dinamika sosial lainnya terkait penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan berdasarkan PP 55/2007.

Diskusi tersebut mengundang para peneliti BRIN, beberapa pemangku kepentingan, dan undangan dari berbagai ormas Islam di sekitar Jabodetabek. Kegiatan digelar di Tamarin Hotel Jakarta Jl KH Wahid Hasyim No. 77 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. (Ova/bas/sri)

Penulis: Ova
Sumber:
Editor: Abas/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI