Indonesia Darurat Manuskrip, Konservasi dan Digitalisasi Terpadu Solusinya

25 Jun 2024
Indonesia Darurat Manuskrip, Konservasi dan Digitalisasi Terpadu Solusinya
Kapuslitbang LKKMO Moh. Isom pada Meeting Proyek Perubahan di Jakarta, Selasa (25/6/2024).

Jakarta (Balitbang Diklat)---Indonesia saat ini darurat manuskrip keagamaan. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, banyak manuskrip yang sudah punah, rusak, atau hilang.

 

Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Moh. Isom menegaskan faktor tersebut sebagai dasar dari rancangan proyek perubahan ‘Kebijakan Kolaboratif Mewujudkan Konservasi dan Digitalisasi Manuskrip dan Khazanah Keagamaan di Indonesia Melalui Sistem Informasi Pelayanan Terpadu’ yang diusung olehnya.

 

“Kondisi manuskrip keagamaan di Indonesia sangat memprihatinkan. Selain itu, belum ada kolaborasi dan koordinasi yang terkoneksi secara nasional,” ungkap Isom saat memberikan arahan pada Meeting Proyek Perubahan di Jakarta, Selasa (25/6/2024).

 

Menurut Isom, hal itu yang melatarbelakangi proyek perubahan pada Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I tersebut. Dia berharap proyek perubahan bisa menjadi legasi yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

 

“Kami berfokus pada manuskrip keagamaan. Oleh karena itu, perlu kolaborasi antar instansi yang melibatkan internal Kementerian Agama, Perpustakaan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional,” ujarnya.

 

“Lembaga tersebut yang memiliki manuskrip, cagar budaya, dan riset,” imbuhnya.

 

Isom menekankan perlu ada sinergi dan kolaborasi dalam bentuk kerja sama yang terpadu. Sebab jika tidak terintegrasi, manuskrip keagamaan berserakan di berbagai tempat.

 

Digitalisasi Manuskrip

Berdasarkan penelitian, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) memiliki 121.688 manuskrip. Baru sekitar 1,64% naskah yang sudah digitalisasi, sedangkan sisanya masih dalam bentuk asli.

 

Isom berpendapat, tantangan yang dihadapi adalah optimalisasi akses dan pelestarian manuskrip. Sementara saat ini, manuskrip hanya difoto, dikonversi, dan digitalisasi.

 

“Proses pelestarian manuskrip baru sampai digitalisasi, padahal kita perlu mengoptimalkan akses bagi masyarakat, khususnya para peneliti. Hal ini belum tersosialisasikan dengan masif,” tutur pria asal Jawa Timur itu.

 

Lebih lanjut, Isom menyinggung keberadaan manuskrip yang tersebar di luar negeri. Menurutnya, kondisi tersebut merugikan sehingga perlu ada kebijakan yang sinergis dan kolaboratif.

 

“Perlu ada perlindungan heuristik dari eksploitasi manuskrip yang merupakan warisan budaya bangsa di luar negeri. Kalau semuanya dibawa ke sana, tidak ada yang memerhatikan atau menjaga. Bisa-bisa kita tidak punya khazanah intelektual dan khazanah keagamaan,” katanya.

 

Terakhir, Isom memaparkan pentingnya digitalisasi manuskrip berbasis sistem informasi agar bisa diakses secara luas. “Jangan sampai manuskrip yang telah diteliti dan dikumpulkan, hilang begitu saja,” pungkasnya.

 

Kegiatan dihadiri berbagai unsur pendukung proyek perubahan yang berasal dari Kementerian Agama, Perpustakaan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional.

 

(diad/Sr)

Penulis: Dewi Indah Ayu D
Sumber: Puslitbang LKKMO
Editor: Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI