Insiden Tolikara, Balitbangdiklat Respon Cepat Kirim Peneliti ke Lokasi
Jakarta (22 Juli 2015). Di hari pertama Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, keceriaan umat Islam dalam merayakannya sedikit terusik dengan terjadinya insiden pembakaran kios dan Musholla yang digunakan oleh umat Islam di Tolikara, Papua.
Untuk menanggapi insiden tersebut, tim redaksi mewawancarai Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D selaku Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Wawancara dilakukan di ruang Kepala Badan Litbang dan Diklat, Jakata (22/7). Berikut hasil wawancara.
Bagaimana tanggapan Bapak atas kerusuhan yang terjadi di Tolikara?
Tentu kami, sebagai bagian dari aparatur negara menyesalkan kejadian ini. Seharusnya insiden semacam ini tidak boleh terjadi. Tetapi (faktanya) sudah terjadi. Jadi kami menyesalkan kejadian ini.
Terlebih, hasil studi dan kajian yang telah kami lakukan, sesungguhnya potensi harmoni di tanah Papua jauh lebih besar daripada potensi disharmoni. Di Papua, dalam satu keluarga ada pemeluk agama yang berbeda itu biasa. Dalam acara-acara keagamaan, MC dari umat beda agama di Papua sudah biasa. Di Papua juga terkenal dengan semboyan satu tungku tiga tiang, yang artinya ada tiga pilar utama yakni pemerintah, adat, dan agama. Itu yang memperkuat betul kerukunan di sana. Adalagi semboyan tanah Papua tanah damai.
Jadi kasus ini kita sayangkan terjadi dan itu sekaligus sebagai pembelajaran bagi kita, supaya bagaimana (kejadian ini) tidak menyebar dan supaya kedepan tidak terjadi lagi, dan supaya yang sudah terjadi ini juga ada lesson learned karena Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI.
Menurut Bapak, bagaimana sikap yang harus ditunjukkan, terutama oleh Umat Islam di Indonesia?
Menyikapi masalah ini, kita harus bisa menahan diri, tetap sabar dan arif, tidak emosional tetapi at the same time, kita harus keep monitoring, memonitor terus ada kesiap siagaan tanpa mengedepankan kekuatan fisik.
Masyarakat luas juga diharapkan meskipun harus kritis, tidak mudah terprovokasi oleh siapapun termasuk oleh media maupun pihak-pihak lainnya. Sikap seperti inilah yang lebih konstruktif.
Di media sosial, saat ini muncul ajakan untuk berjihad ke Papua oleh sebagian elemen umat Islam. Bagaimana tanggapan Bapak?
Tentu kita tidak setuju dengan hal seperti itu yang terlalu kontraproduktif. Kita bersyukur para tokoh agama tidak menyerukan jihad. Yang paling gampang saja, apakah ada seruan dari MUI, NU, dan Muhammadiyah untuk jihad seperti ini? Jelas tidak.
Bagi kita, yang paling merepresentasikan umat Islam ya itu, apa kata MUI, NU dan Muhammadiyah. Maka kita tidak perlu merespon ajakan jihad oleh sebagian kecil dari elemen umat Islam. Justru harus kita luruskan.
Jihad kita saat ini yang terbaik ya jihad akbar, jihad menahan diri seperti itu. Apalagi kejadian ini terjadi sesaat setelah kita melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, substansi Ramadhan itu dalam bahasa asingnya dimaknai sebagai self-restrain, menahan diri. Apalagi kita sebagai bangsa yang besar, pembelajaran pengendalian diri merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, tanpa sikap ini kita bisa jadi bangsa yang kecil.
Di sisi yang lain, ada sebagian umat Islam yang melakukan penggalangan dana untuk membangun kembali Musholla dan rumah yang terbakar di Tolikara, bagaimana menurut pendapat Bapak?
Itu baik, tapi harus hati-hati. Peneliti kita yang sudah diterjunkan sejak hari Minggu kemarin, mengirimkan laporan kepada kami bahwa upaya pembangunan Musholla dan rumah kemungkinan besar tidak dapat segera dibangun kembali. Hal ini karena berdasarkan wawancara peneliti kami dengan tokoh setempat, bupati, dan tokoh adat, status tanah dimana Musholla dibangun merupakan tanah milik kelompok-kelompok adat/suku. Oleh karenanya butuh perizinan yang tidak mudah. Apalagi kebiasaan masyarakat adat setempat, tanah adat tidak dapat diperjualbelikan.
Peneliti kami, Dr. Zainuddin Daulay yang turun langsung ke lapangan, menyampaikan laporan agar pembangunan kembali Musholla dilaksanakan setelah ada kesepakatan damai dan ijin tertulis dari berbagai pihak.
Sekali lagi, menurut saya bantuan perlu kita galang, tetapi kita juga harus berhati-hati agar tidak salah menyalurkan bantuan.
Apa upaya dari Kementerian Agama dalam menangani masalah ini?
Berkaitan dengan pembangunan kembali property yang terbakar, Kementerian Agama melalui Dirjen Bimas Islam telah mengalokasikan anggaran untuk merekonstruksi bangunan-bangunan yang terbakar.
Selain itu, Bapak Menteri Agama sudah menginstruksikan Badan Litbang dan Diklat dan Dirjen Bimas Kristen untuk berangkat ke Tolikara, untuk melihat on the spot, secara langsung apa yang terjadi di sana serta merumuskan langkah-langkah strategis kedepan.
Apa yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat terhadap permasalahan ini?
Banyak yang sudah kami lakukan. Saya sendiri, sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat alhamdulillah terus memonitor dan berkomunikasi ke berbagai pihak, terutama terus lapor Pak Menteri terkait kasus ini. Dapat dikatakan, lebaran pun kita mengurusi ini.
Sehari setelah kejadian, saya juga langsung instruksikan untuk mengirim empat peneliti kita untuk datang langsung ke Tolikara. Kami kirim Dr. Adlin Sila, Dr. Zainuddin Daulay, Kyai Faroji (peneliti eksternal) dan Peneliti dari Balai Litbang Agama Makassar untuk berangkat kesana.
Para peneliti kami berangkatkan di hari Minggu. Selain bertugas untuk menggali fakta, baik secara historis maupun sosiologis, peneliti yang terjun ke lapangan juga bertugas untuk melakukan mediasi agar kasus ini tidak meluas. Berdasarkan laporan, peneliti kami, termasuk Kyai Faroji langsung berdialog dengan elemen terkait agar masalah ini tidak meluas.
Arahan sementara saya dan ini sudah saya laporkan ke Pak Menteri, terkait kasus ini berdasarkan laporan para peneliti adalah pertama, terimakasih kepada para peneliti yang di hari Lebaran ini sigap dalam menjalankan tugas negara atausacred duty, tugas suci; kedua, hasil penelitian ini akan kami sampaikan kepada Menteri Agama segera setelah para peneliti kembali ke Jakarta; ketiga, penelitian ini saya harap bisa menjawab “why” dalam arti roots, akar-akar masalah konflik serta kemudian pemicu konflik sampai pecah terjadi. Peneliti perlu mendalami dalam perspektif historis dan normaif seperti aturan, perda, dll; keempat, peneliti diharapkan dapat menggali pola relasi sosial, faktor harmoni dan disharmoni yang dapat membantu penyelesaian konflik ini; dan kelima,penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat.[]
ags/bas/Abd.R