Inti Moderasi Beragama: Melindungi Martabat Kemanusiaan dan Membangun Kemaslahatan Umum

26 Mei 2023
Inti Moderasi Beragama: Melindungi Martabat Kemanusiaan dan Membangun Kemaslahatan Umum
Review Penyusunan Buku Saku Moderasi Beragama bagi Generasi Z di Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Jakarta (Balitbang Diklat)--- Inti dari Moderasi Beragama adalah beragama dengan membawa nilai melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum. Pesan ini lebih konkrit dibanding narasi beragama jalan tengah atau tidak ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Menurut Tim Pokja Moderasi Beragama Kemenag RI Alissa Wahid, pesan ini belum muncul di Buku Saku Moderasi Beragama bagi Generasi Z. “Jadi kalau kamu diajak beragama dan beribadah tapi ibadahmu merusak kemaslahatan umum, ya jangan mau,” ujar Alissa pada Review Penyusunan Buku Saku Moderasi Beragama bagi Generasi Z di Jakarta, Kamis (25/5/2023).

“Maka akan lebih mudah dipahami dengan kalimat sederhana, bahwa ketika beragama, kita kembali ke nilai atau prinsip paling dasar ajaran agama. Pertama, melindungi martabat manusia. Kedua, beragama kita untuk memperbaiki kondisi kemaslahatan umum,” lanjutnya.

Setelah ini memahami ini, tutur Alissa, baru make sense jika membahas poin beragama harus toleran, anti kekerasan, atau menghargai tradisi. Karena semua itu merupakan perwujudan dari prinsip dasar beragama.

“Ini sangat penting karena menjadi kerangka paling besar dari konsep Moderasi Beragama itu sendiri,” ujar Direktur Nasional Gusdurian Network Indonesia (GNI) ini.

Lebih lanjut, Alissa mengatakan bahwa pesan Moderasi Beragama perlu pula disampaikan dengan menampilkan rujukan keagaamaan yang berasal dari ayat kitab suci sebagai referensi.

 

Urgensi Moderasi Beragama

Moderasi Beragama menjadi program yang didorong sekuat ini karena Indonesia sedang mengalami perubahan sosial. Berdasarkan teori Prof. Syafii Anwar, sekarang ada dua arus utama praktik beragama.

Pertama, subtantif inklusif yakni kembali kepada prinsip dasar ajarannya dan memiliki ruang hidup bersama bagi orang dari berbagai latar belakang. Contoh teori subtantif inklusif adalah trilogi ukhuwah yang dicanangkan K.H. Achmad Shiddiq.

“Menurut K.H. Achmad Shiddiq, penerapan Ukhuwah Islamaiyah (persaudaraan sesama muslim), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan Ukhuwah Insaniyah atau Basyariyah (persudaraan sesama manusia) harus sejalan. Jika tidak sejalan, maka menjadi tidak berimbang,” ujar perempuan yang berprofesi sebagai psikolog keluarga ini.

Kedua, praktik beragama secara eksklusif legal formalistik yang marak berkembang di Indonesia belakangan ini. Maka diperlukan pesan-pesan yang menyadarkan Gen Z bahwa jangan sampai mudah tergiring praktik beragama yang demikian.

Selain itu, Alissa juga mengingatkan agar tim penulis memerhatikan wording karena ini akan mempengaruhi proses delivery pesan ke pembaca. “Jangan menggunakan kalimat yang bertendensi fear mongering karena justru sama saja menebar kebencian kepada golongan tertentu,” imbaunya.

“Narasi menentukan kecepatan orang untuk menerima pesan, karena menyentuh indra moral seseorang,” pungkasnya.

Diad/Sr

Penulis: Dewi Indah Ayu
Editor: Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI