Kaban: Kita Mesti Fair dalam Pengambilan Sampel dan Pemilihan Responden
Ciputat (Balitbang Diklat)---Seminar evaluasi akan dilihat, pertama profil responden dari aspek pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Misalkan, yang menjadi responden kebanyakan dari kalangan lulusan madrasah akan kelihatan nanti jawabannya seperti apa. Kita sudah bisa menebak. Profil responden belum menggambarkan se-ideal itu.
Hal ini disampaikan Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Dr. Suyitno, saat membuka Seminar Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Agama dan Keagamaan yang diselenggarakan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, di Wisma Syahida Inn Ciputat, Selasa(22/11/2022)
Selanjutnya, Kaban mengatakan dilihat dari laporan yang sudah ditulis peneliti, bisa jadi yang dominan itu orang dari lulusan madrasah atau kalangan madrasah. “Dalam penelitian ini kita mesti fair dalam pengambilan sampel dan pemilihan responden, karena itu paling baik dan berimbang. Artinya, responden itu terdiri dari lulusan umum dan lulusan madrasah. Nanti akan kelihatan hasilnya, background tentu berbeda,” ujarnya.
Terkait representasi ormas Islam, harus berimbang, agar ada keseimbangan data. “Seperti halnya yang tadi, kalau kita banyak datanya diambil dari kalangan NU tentu hasilnya sudah kelihatan, mengingat yang mempunyai madrasah kebanyakan dari kalangan NU dan hasilnya sudah bisa ditebak, jawabannya tentu tidak setuju kalau madrasah disatuatapkan,” ungkap Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang itu.
Menurut Kaban, perlu juga memotret wali siswa yang dijadikan responden. Penting dilakukan pengklasifikasian agar berimbang wali siswa yang dijadikan responden. “Kita ingin mendapatkan data yang genuin, yang nantinya kita ambil tidak sepihak dan data tersebut dihasilkan dalam bentuk utuh dan bisa dibilang obyektif,” ujarnya.
“Bisa dimungkinkan profil responden yang ideal dari kalangan alumni PTKIN yang alumni madrasah dan non madrasah dan komparasi madrasah dan sekolah. Begitu pula dengan afiliasi ormas. Kalau perlu mengambil responden yang menjadi kontrol, artinya afiliasinya dari luar itu semua,” imbuh Kaban.
Kedua, lanjut Kaban, adalah sumber pembiayaan. Dalam penelitian ini, aspek sumber pendanaan sering disebut-sebut. “Sumber pembiayaan dianggap ada disparitas, lalu kemudian sumber pendanaan di sekolah dianggap banyak, lalu dari mana saja sumbernya? Data yang penting. Disparitasnya dimana?,” tanya Kaban.
Di Kemendikbud, kata Kaban, ada Klaster untuk SD s.d. SMP di tingkatan pemerintah kota/kabupten, sedangkan klaster SMA di wilayah pemprov. Dengan adanya klaster di Kemendikbud ternyata menjadi perbincangan di kalangan Kemendikbud karena tidak dapat menjangkau langsung sekolahnya. “Pertanyaannya, adanya klaster seperti itu menjadi kelebihan atau kekurangan? Menteri terdistorsi untuk menjangkau sekolahnya sendiri, karena terkooptasi dengan walikota, pemda, dan pemprov,” tutur Kaban.
Di akhir pembukaan, Kaban menegaskan “data belum menunjukkan bahwa sumber biaya dianggap berbeda jauh. Belum terbaca datanya yang menunjukkan sumber pembiayaan itu jauh,” pungkasnya. (Tim Puslitbang Penda/sri/bas)