Kaban Suyitno: Intoleransi Dilakukan Umat Mayoritas. Benarkah?
Denpasar (Balitbang Diklat)---Umat mayoritas bisa menjadi intoleran jika merasa lebih powerful dibanding umat lainnya. Intoleransi ini bisa salah dipahami oleh penganutnya.
Hal ini disampaikan Kepala Balitbang Diklat Kementerian Agama Prof. Suyitno saat menyampaikan arahan pada Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama Angkatan XIV dan XV Kantor Kementerian Agama Prov. Bali, NTB, dan NTT di BDK Denpasar. Kegiatan berlangsung pada 31 Oktober s.d. 5 November 2022 dengan diikuti oleh unsur kepala madrasah, pengawas, dan lainnya.
“Hasil riset Mark Woodward mengenai studi perbandingan agama menyatakan intoleransi bukan hanya marak pada agama tertentu. Di India dengan mayoritas Hindu, intoleransi dilakukan oleh Hindu terhadap penganut agama minoritas. Begitupun Buddha di Myanmar yang intoleran terhadap etnis Muslim Rohingya,” ujar Kaban Suyitno di Denpasar, Senin (01/11/2022).
Menurut Kaban Suyitno, dari penelitian ini diketahui intoleransi justru dilakukan oleh penganut agamanya sendiri terhadap penganut agama minoritas. Oleh karena itu, Kementerian Agama menggiatkan pengarusutamaan Moderasi Beragama.
“Artinya yang dimoderasi bukan agamanya, melainkan tata cara beragamanya. Beragama ini berkaitan dengan seseorang atau penganutnya, bukan ajaran agamanya,” katanya.
Lebih lanjut, Kaban Suyitno mengatakan ajaran agama sesungguhnya sudah moderat. Setiap agama mengajarkan kemanusiaan dan kebaikan, ini merupakan nilai-nilai universalisme.
“Nilai universal berlaku pada setiap agama, seperti saling menolong, saling menghargai, dan saling menghormati. Maka titik temu keberagamaan adalah humanity (kemanusiaan) dan membangun kehidupan bersama yang harmonis,” papar Guru Besar UIN Raden Fatah ini.
Sikap keberagamaan tertinggi, ujar Kaban Suyitno, yakni menjaga kehidupan. “Sebab kehidupan bukan milik manusia, tetapi kepunyaan Sang Maha Pemberi Hidup. Maka agama apapun melarang menghilangkan nyawa seseorang, baik diri sendiri maupun orang lain,” ungkapnya.
Jangan sampai seseorang rajin beribadah tapi masih mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika ini yang terjadi maka umat belum beragama secara substansial.
Life is not our choice, but it’s a given
Dilahirkan sebagai orang Indonesia yang beragam bukanlah pilihan kita. Ini adalah kehidupan yang sepenuhnya diberikan oleh Tuhan YME.
“Indonesia ditakdirkan menjadi negara yang multietnis, multisuku, dan multikeyakinan Tuhan menciptakan kehidupan yang heterogen tersebut dengan tujuan agar manusia bisa saling menyayangi, menghargai, dan menghormati,” kata pria asal Tulungagung ini.
Menurut Kaban Suyitno, substansi moderasi beragama ada tiga yakni li taaruf (saling mengenal), tasamuh (membangun toleransi), dan tahabbu (saling mencintai dan menyayangi).
“Hal ini sejalan dengan sejarah pembangunan bangsa Indonesia yang terikat dalam Sumpah Pemuda. Jika hal ini bisa diwujudkan, Indonesia akan senantiasa damai,” ujarnya.
Menutup arahannya Kaban Suyitno mengimbau agar ASN Kemenag menjaga kedamaian Indonesia dengan mencegah provokasi atas nama agama. “Jadilah agen perdamaian yang tidak mudah terprovokasi mengatasnamakan agama. Sebab agama bisa ditumpangi kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya,” tandasnya.
Hadir dalam kegiatan ini, Kepala BDK Denpasar Suyatno, Kasubag TU BDK Denpasar Ngapirin, widyaiswara, dan pejabat fungsional di lingkungan BDK Denpasar.[]
Diad/AR