Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Mayoritas Tergolong Kategori Ringan
Yogyakarta (Balitbang Diklat)---Mayoritas kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) tergolong kategori ringan, yakni sebesar 34,85% kekerasan seksual di kampus dalam bentuk cat calling dan body shaming. Meski demikian, kekerasan seksual ringan juga tetap perlu diwaspadai dan harus menjadi perhatian. Terjadinya kekerasan di kampus dikarenakan warga kampus kurang paham mengenai tindakan yang masuk dalam bentuk kekerasan seksual.
Hal tersebut disampaikan Siti Muawanah, narasumber dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Seminar Hasil Pengukuran Deteksi Dini dan Mitigasi Kekerasan Seksual di PTKN yang diselenggarakan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang di University Club Hotel UGM Yogyakarta, Senin (20/11/2023).
BLA Semarang sebelumnya telah melaksanakan kajian tentang kekerasan seksual di kampus menggunakan mix-metod dengan total responden dan informan berjumlah 2100 orang. Kajian utamanya melihat bagaimana implementasi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
“Dari 19 kampus, masih ada 9 kampus yang belum memiliki Satuan Tugas (Satgas) PPKS. Hal ini didasari oleh berbagai alasan, di antaranya Satgas dinilai belum diperlukan, kendala SDM, sarana dan prasarana yang belum memadai, dan minimnya alokasi anggaran,” ungkap Muawanah yang juga menjadi Ketua Tim Penelitian Pengukuran Deteksi Dini dan Mitigasi Kekerasan Seksual.
Muawanah juga menegaskan bahwa deteksi dan mitigasi kekerasan seksual di PTKN sudah berjalan tetapi masih perlu dioptimalkan lagi. Hal itu dikarenakan sosialisasi hingga penanganan kasus kekerasan seksual di beberapa kampus belum efektif.
Melihat beberapa temuan data tersebut, Mulyani Mudis Taruna, narasumber kedua yang juga merupakan Peneliti BRIN, membacakan beberapa rekomendasi yang telah dirumuskan bersama oleh tim BLA Semarang dan BRIN, terutama bagi direktorat jenderal yang membawahi perguruan tinggi di Kementerian Agama untuk menyusun regulasi turunan yang lebih operasional terhadap Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang PPKS di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, memberikan intervensi anggaran yang dialokasikan khusus untuk PPKS di kampus, memberikan perlindungan hukum terhadap petugas yang menangani PPKS, dan monitoring-evaluasi PPKS di kampus.
Menanggapi paparan narasumber tersebut, Aji Sofanudin selaku pembahas mengatakan bahwa fenomena kekerasan seksual dalam dunia pendidikan bagaikan gunung es, sedikit yang tampak padahal lebih banyak yang terjadi. Penyelesaian kasus kekerasan seksual sendiri lebih cenderung mendamaikan, melindungi nama baik, bukan menegakkan keadilan.
“Kasus-kasus kekerasan seksual di kampus cenderung diselesaikan secara ”kekeluargaan”, dihukum secara ringan seperti tidak boleh mengajar, dipindah fakultas, mendapat teguran lisan, dan seterusnya. Hal ini perlu dievaluai,” ungkap Aji Sofanudin, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN. (Fathurrozi/bas/sri)