KLARIFIKASI ISU RADIKAL PADA LEMBAGA PENDIDIKAN DI PROVINSI MALUKU
Isu adanya indikasi penanaman ajaran radikal pada lembaga pendidikan, khususnya pesantren kembali hangat diberitakan dan ditanggapi secara ramai dan serius oleh lembaga pendidikan dan pemerintah yang berkaitan dengan institusi pendidikan keagamaan. Kementerian Agama sebagai lembaga yang menaungi pondok pesantren merasa perlu melakukan klarifikasi, verifikasi, dan penelitian mendalam untuk melihat kondisi obyektif dan menganalisis kadar potensi radikal pada lembaga pendidikan keagamaan yang ada. Seperti diberitakan berbagai media dan dapat dilihat pada situs CNN Indonesia, disebutkan beberapa nama pondok pesantren yang mendapat label ‘terindikasi mengajarkan ajaran radikal’. Salah satudaerah yang disebut adalah pondok pesantren di kota Ambon.
Dalam kesempatan penelitian di kota Ambon, secara koinsidental saya mengikuti diskusi terfokus (FGD) sekaligus mengumpulkan data yang relevan terkait posisi dan status lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pondok pesantren di kota Ambon. Hari itu, Kamis tanggal 31 Maret 2016, merupakan momentum istimewa bagi lembaga pendidikan di provinsi Maluku untuk mengklarifikasi label radikal yang melekat pada dirinya. Acara tersebut (focus group discussion) menghadirkan narasumber Direktur Perlindungan, Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Bapak Herwan Chaidir, Brigadir Jenderal Polisi. Hadir pula narasumber dari IAIN Ambon Dr. Abidin Wakano, Kakanwil Kemenag provinsi Maluku, Drs. Fesal Musaad, M.Pd. Sebagai peserta, hadir para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan,dan petinggi TNI / POLRI provinsi Maluku. Diskusi berlangsung di aula kantor wilayah kementerian agama Provinsi Ambon.
Kegiatan tersebut difasilitasi oleh Kementerian Sekretariat Negara, DeputiBidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, Dalam pengantarnya, Setyo Saptonegoro menyatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan dilatarbelakangi oleh berbagai pengaduan masyarakat yang diajukan kepada Bapak Presiden RI terkait dengan isu, tuduhan dan label radikal pada lembaga pendidikan keagamaan di Provinsi Maluku. Melalui acara tersebut, diharapkan pengaduan masyarakat Ambon terkait isu dan label radikal pada lembaga pendidikan keagamaan khususnya pondok pesantren, telah terjawab, dan melegakan semua pihak.
Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Maluku menyatakan dalam paparannya bahwa dirinya menerima surat Direktur Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI No. DT.I.III/HM.01/371/2016 tentang Permintaan Klarifikasi Pesantren yang terindikasi berafiliasi dengankelompok radikal. Surat tersebut menguatkan informasi sebelumnya yang telah diperoleh Kanwil Agama Maluku melalui media bahwa berdasarkan laporan BNPT, salah satu pondok pesantren ditetapkan sebagai pesantren yang terindikasi mengajarkan paham radikal.
Berdasarkan informasi tersebut Kanwil Kementerian Agama Provinsi Maluku telah melakukan langkah-langkah klarifikasi, investigasi, peninjauan lapangan, dan meminta keterangan kepada pihak pesantren. Hasilnya menunjukkan bahwa pesantren tersebut sangat terbuka kepada masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari dukungan keuangan yang diberikan oleh masyarakat. Pesantren menggunakan Kurikulum Nasional yang dikombinasikan dengan kurikulum diniyah dari Kementerian Agama.Kegiatan unggulan di pesantren ini adalah tahfizul Qur’an (hafal Qur’an).
Secara faktual, pesantren tersebut adalah pesantren yang normal yang menjalankan sistem pendidikan sebagaimana pesantren di Indonesia pada umumnya.Pemandangan yang sedikit berbeda adalah busana dan penampilan fisik pimpinan pondok pesantren yang berjenggot tebal dan anak istrinya menggunakan cadar. Akan tetapi pengurus pesantren sendiri tidak mewajibkan kepada santri dan guru-guru yang mengajar di pesantren untuk mengikuti cara berpakaiannya.
Secara resmi, pengelola pesantren tersebut telah membuka diri untuk diinvestigasi atas indikasi sebagai pengajar pahama radikal.Pengelola juga telah membuat klarifikasi tertulis dan melakukan audensi dengan gubernur Maluku, Kanwil Agama, Polres Pulau Ambon serta Pemerintah Kota Ambon.Bagi pengelola, stigma sebagai “pesantren radikal”, sangat merugikan, sebab bisa menyebabkan para dermawan yang menjadi donatur akan menghentikan sumbangannya.
Bapak Herwan Chaidir dari BNPT dalam paparannya menyatakan rasa apresiasi yang tinggi terhadap momentum dan acara diskusi tersebut. Selanjutnya beliau menyatakan tentang posisi BNPTsebagai parent institution dengan tugas mengordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme yang salah satu tugasnya untuk mengikis bentuk pemikiran yang salah (logical fallacy) yang bermuara pada kepentingan kelompok/non kelompoktertentu. Pada intinya untuk menanggulangi gerakan terorisme, tidak bisa hanya mengandalkan tindakan represif aparat kepolisian. Tetapi harus diserta tindakan preventif seperti dengan menggalang komunikasi lintas agama secara efektif dan konkret.
Penyebab radikalisme menurut beliau antara lain adalah: pengetahuan agama dan keagamaan yang dangkal; pemahaman yang keliru terhadap makna jihad,hijrah,takfiri, dan syahid yg disimpangkan dari ajaran Islam yang sebenarnya; lemahnya pengawasan orang tua, guru dan dosen terhadap remaja, sehingga cenderung mencari jati diri dengan mengikuti apa yang dianggap memenuhi keinginan untuk perubahan yang cepat dan instan; pengaruh dari orang tua yang berasal dari kelompok yang ingin menegakkan khilafah/daulah Islamiah secara radikal. Ada pula yang belajar paham radikalisme dan tindakan terorisme secara otodidak melalui sosial media. Adanya publikasi melalui media yang menumbuhkan rasa permusuhan, kebencian, isu sara, serta publikasi ceramah yang mengandung ajaran radikalisme dan ajaran takfiri yang menyesatkan; masa depan yang tidak jelas, miskin ilmu, miskin keterampilan dan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang dangkal; tingginya angka pengangguran kalangan terdidik di kalangan pemuda, kesenjangan sosial dan adanya kebijakanpemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat.
Pada kesempatan tersebut salah satu pimpinan pondok pesantren di kota Ambon, Ustadz Abu Imam Abdur Rahim Rumbara, meminta kepada Direktur Perlindungan Deputi I BNPT untuk memutihkan citra lembaga pendidikan khususnya pesantren di kota Ambon, dan menarik label radikal yang disematkan dan telah dipublikasikan oleh media. Beliau menambahkan, bahwa label negatif tersebut akan mencoreng kredibilitas lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pesantren yang selama ini hidup dan menjalankan aktivitas pendidikan berdasarkan kebaikan hati para dermawan. Dikhawatirkan, stigma dan label negatif tersebut akan membuat para dermawan menghentikan bantuannya. Jika itu yang terjadi, maka anak-anak pondok, para santri yang sedang belajar dan berstatus dhuafa atau yatim-piatu, akan terganggu pendidikan dan kehidupannya.
Setelah acara diskusi, Direktur PerlindunganDeputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), berkenan untuk mengunjungi salah satu pondok pesantren di kota Ambon, yakni Pondok Pesantren TahfidhulQur’an Al-Anshor di Airbes Batu Merah Ambon. Beliau menyempatkan untuk sholat Ashar berjamaah di Pontren Al-Anshar. Pada saat itu beliau diminta untuk menjadi imam, membacakan doa, dan memotivasipara santri dan jamaah yang hadir agar senantiasa bersabar, ulet, dan rajin belajar untuk merealisasikan cita-citanya. (Hayadin/bas)