Konfigurasi Kerukunan Hidup Beragama Pasca Orde Baru; Analisis Potensi Konflik Bagi Masyarakat Lokal di Kabupaten Lampung Selatan
Konfigurasi Kerukunan Hidup Beragama Pasca Orde Baru;
Analisis Potensi Konflik Bagi Masyarakat Lokal di Kabupaten Lampung SelatanTim Puslitbang Kehidupan Beragama
2006
Karakteristik potensi konflik sosial keagamaan, faktualnya tidak saja terdapat dalam interaksi sosial, melainkan juga terkandung dalam berbagai faktor internal ummat beragama itu sendiri, dan bahkan tidak selalu bersifat horisontal dan lokal, pada saat yang bersamaan juga dapat bersifat vertikal, lintas lokal dan antar personal. Pada sisi lain, Karakteristik potensi konflik sosial keagamaan tidaklah semata bersumber pada faktor motif keagamaan itu sendiri, akan tetapi kerap kali juga bersumber pada motif non keagamaan
Pada tingkat masyarakat lokal, realitas kerukunan hidup beragama dalam prilaku dan dalam integrasi sosial masih terbatas pada sikap toleransi. Dalam artian, bahwa masing-masing komunitas ummat beragama dalam hal pelaksanaan kegiatan keagamaan hanya bersikap tidak saling mengganggu satu sama lainnya. Karena faktualnya, kegiatan Keagamaan selain Islam memang tidak terlalu banyak ragam dan volumenya.
Secara spesifik spectrum konfigurasi kualitas kerukunan hidup beragama dan potensi konflik keagamaan dalam yuridiksi pemerintahan wilayah daerah lampung Selatan, yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini hanya difokuskan pada lingkup permasalahan berikut. Bagaimana sesungguhnya konfigurasi kerukunan hidup beragama pasca orde baru, dan apa saja bentuk empirisnya yang senyatanya ada dalam wilayah daerah Kabupaten Lampung Selatan? Bagaimana potensi konflik sosial keagamaan, dan apa saja bentuk empirisnya yang menjadi faktor penyebab terjadinya dalam wilayah daerah Kabupaten Lampung Selatan?
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan diantaranya karakteristik potensial konflik sosial keagamaan, tidak saja terdapat dalam interaksi sosial dan dalam berbagai faktor internal ummat beragama, serta tidak selalu bersifat horizontal dan lokal, pada saat yang bersamaan juga dapat bersifat vertikal, lintas lokal, dan antar personal. Pada sisi lain, karakteristik potensi konflik sosial keagamaan tidaklah semata bersumber pada faktor motif keagamaan, dan bahkan dapat bersumber pada instrumen regulasi kebijakan.
Dalam faktor internal ummat beragama, potensi konflik senantiasa melekat pada berbedaan faham keagamaan di setiap komunitas keagamaan, yang dalam konteks ini dipresentasikan dalam bentuk gerakan sempalan terorganisir. Adapun potensi konflik sosial keagamaan dalam interaksi sosial senantiasa melekat pada kepentingan tiap komunitas keagamaan untuk lebih eksis, yang dipresentasikan dalam bentuk reaksi spontan, baik yang semata-mata bersifat internal maupun lintas agama.
Penelitian ini merekomendasikan, karena karakteristik potensi konflik berbasis keragaman primordial etnik, sosial politik, dan sosial ekonomi, tidak secara apriori dapat diabaikan, maka untuk analisis keterkaitannya dengan konflik sosial keagamaan perlu dilakukan studi yang lebih spesifik dan mendalam.***