Konflik Masyarakat Skala Besar Akibat dari Faktor Non Keagamaan
Jakarta (25 Agustus 2015). Secara umum, konflik yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor keagamaan dan faktor non keagamaan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat (Kabalitbangdiklat) Kementerian Agama, Abd. Rahman Masud saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) di Jakarta (25/8).
FGD diikuti oleh staf ahli Menkopolhukam, perwakilan dari Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Hadir pula dalam kegiatan ini perwakilan dari aparat keamanan TNI dan Polri serta perwakilan dari ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan KWI.
Dalam paparannya, Kabalitbangdiklat menegaskan bahwa faktor keagamaan bukan berarti sumber konflik yang disebabkan oleh ajaran-ajaran agama. "Mohon dipahami disini agama berbeda dengan faktor keagamaan. Faktor keagamaan tidak selamanya mewakili ajaran agama. Karena kalau kita berbicara agama, semua pasti damai." ujarnya.
Faktor keagamaan yang diinventarisir berdasarkan penelitian oleh Balitbangdiklat dapat dikategorikan dalam 12 aspek yaitu aspek penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar agama, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, pengurusan jenazah, penodaan agama, kelompok keagamaan bermasalah, transparansi informasi keagamaan, pendirian rumah ibadah dan tafsir keagamaan.
Sementara itu, faktor non keagamaan yang memicu konflik di masyarakat diantaranya disebabkan oleh aspek kesenjangan ekonomi, kepentingan politik serta permasalahan sosial dan budaya.
Temuan yang menarik disampaikan oleh Kabalitbangdiklat. Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya, konflik-konflik besar yang berlangsung lama sering menjadikan agama sebagai faktor antara yang digunakan sebagai pemicu konflik. "Konflik-konflik berskala besar sebenarnya dipicu oleh faktor non keagamaan terutama faktor ekonomi dan politik. Namun dibungkus dengan isu agama" tegasnya.
Ia menambahkan bahwa secara faktual konflik yang memang disebabkan oleh faktor agama biasanya berskala kecil dan tidak berlangsung lama. "Konflik keagamaan biasanya disebabkan kurangnya komunikasi di tingkat grassroot" terangnya.
Di akhir paparannya, Kabalitbangdiklat mengajak kepada seluruh stakeholder, khususnya Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk meningkatkan sinergi dan kerja sama. Selain itu, ia juga mengajak kepada K/L terkait untuk meningkatkan sosialisasi peraturan peundangan, khususnya Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 kepada masyarakat dan juga aparatur di daerah.[]
ags/rin/ags