LHS Ungkap Strategi Menghindari Ekstremisme dalam Beragama

14 Mei 2024
LHS Ungkap Strategi Menghindari Ekstremisme dalam Beragama
Mantan Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifudin (LHS) pada Seminar Penguatan Moderasi Beragama bagi Guru SMA dan SMK, kerja sama Balai Litbang Agama Semarang dan Disdikpora, Daerah Istimewa Yogyakarta di Yogyakarta, Selasa (14/5/2024).

Yogyakarta (Balitbang Diklat)---Moderasi beragama sesungguhnya telah ada dan tumbuh di Indonesia sejak lama, melintasi berbagai agama, tradisi budaya, dan kepercayaan lokal. Hal ini ditegaskan dalam Seminar Penguatan Moderasi Beragama bagi Guru SMA dan SMK, kerja sama Balai Litbang Agama Semarang dan Disdikpora, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Selasa, 14 Mei 2024. 

 

Mantan Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifudin (LHS), yang juga dikenal sebagai Bapak Moderasi Beragama, menjelaskan pentingnya konsep moderasi beragama terutama bagi para pendidik. "Moderasi beragama bukan moderasi agama, agama tidak perlu dimoderasi karena datang dari Yang Maha Benar. Kita tidak perlu lagi mempersoalkannya," ujar LHS.

 

LHS menjelaskan bahwa yang perlu dimoderasi adalah cara kita beragama, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama. "Paham dan ajaran-ajaran yang dari paham itu yang kemudian membentuk keyakinan iman, menjadi manifest, dan harus teraktualisasikan dalam bentuk amal," katanya.

 

Ia juga menyoroti pentingnya moderasi dalam memahami ajaran agama untuk menghindari ekstremisme. "Yang ingin dihindari dalam proses moderasi beragama adalah ekstremisme, berlebih-lebihan dan melampaui batas. Dua hal ini ada pada diri sebagian kita ketika ingin memahami ajaran-ajaran agama," tambah Lukman.

 

LHS memberikan analogi tentang pentingnya keseimbangan. "Segala sesuatu kalau berlebihan itu menjadi tidak baik, kebaikan sekalipun kalau berlebihan menjadi tidak baik padahal itu kebaikan. Ibarat makan, dasarnya baik, menjaga metabolisme tubuh, membentuk energi. Tetapi kalau makan itu berlebihan menjadi tidak baik," jelasnya.

 

LHS menyoroti dua potensi kesalahan dalam memahami ajaran agama. Terlalu tekstualis atau terlalu bebas. "Terlalu tekstualis hanya bertumpu pada teks semata dan mengabaikan konteks. Ingat, setiap teks memiliki konteksnya, dengan mengabaikan itu ia bisa mengingkari inti pokok dari ajaran agama itu sendiri. Sebaliknya, yang terlalu bebas, longgar dalam menyikapi teks-teks keagamaan itu, mendewakan nalar dan akal pikiran sehingga tercerabut dari teksnya itu sendiri," paparnya.

 

Seminar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang moderasi beragama bagi para guru, sehingga dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan untuk menciptakan suasana yang harmonis dan inklusif. (Barjah/bas/sri)

   

 

Penulis: Barjah
Sumber: Barjah
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI